NovelToon NovelToon
My Teacher My Husband

My Teacher My Husband

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Beda Usia
Popularitas:9.7k
Nilai: 5
Nama Author: Kaikia

Azzalea menyukai gurunya, Pak Dimas. Namun, pria itu menolaknya, bagaimana bisa?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kaikia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 21

Langit sore semakin menghitam. Gumpalan awan hitam semakin banyak terlihat. Kilatan kecil mulai bermunculan. Angin semakin kencang berhembus. Azzalea menggayuh sepeda tua itu dengan kekuatan penuh seraya melawan arah angin yang kencang.

Air terjun yang berada di desa itu ada beberapa jumlah, sekitar 4 air terjun dengan keindahannya masing-masing. Ia memikirkan beberapa kemungkinan air terjun yang akan dikunjungi sang guru. Ia menghitung jarak terdekat yang bisa mendapatkan air terjun langsung.

“Tidak mungkin air terjun putih.. Pak Dimas suka keheningan. Jangan-jangan air terjun biru?” ocehnya selama perjalanan.

Sekitar 15 menit mengendarai sepeda, ia sampai ke jalan pintas menuju air terjun biru yang ia tebak itu. Ia tidak bisa membawa sepedanya lagi, tempat itu hanya bisa dituju dengan jalan setapak yang licin dan curam.

***

“Akh!”

Dimas berhenti berjalan, dikarenakan luka ditelapak kakinya. Ia tidak sengaja menginjak tumbuhan tajam yang tak terlihat akibat cuaca yang semakin gelap. Ia terpaksa mencari tempat berteduh.

Ia baru saja kembali dari beberapa air terjun yang ia kunjungi. Ini adalah air terjun ketiga yang ia kunjungi, tersisa satu lagi. Namun, perjalanan tidak dapat ia lanjutkan karena langit yang mulai menggelap. Ia berteduh pada sebuah tempat duduk kecil dengan atap yang disediakan, seperti tempat persinggahan pejalan kaki sekitar.

Tempat itu menjadi pelindungnya dari hujan yang mulai turun. Udara disana semakin lembab. Ia segera mengeluarkan beberapa barang darurat dari tas ranselnya dan plaster untuk kakinya.

Tempat itu cukup jauh dari pemukiman warga, kecil kemungkinan orang akan datang ke tempat tersebut jika langit gelap. Suara serangga mulai terdengar. Dimas mengeluarkan alat perekamnya, kejadian langka yang tidak dapat ia ulangi lagi.

“PAK DIMAS!!!”

“PAK DIMAS!!”

Samar-samar Dimas mendengar suara dari kejauhan. Perlahan suara itu semakin jelas, seakan menghantam lebatnya hujan yang turun. Ia menatap ke depan, dari kejauhan sosok tubuh terlihat berjalan dengan melihat ke kanan dan ke kiri. Ia mengenali bayangan tubuh itu.

“AZZALEA!!” teriaknya bangkit ketika penglihatannya melihat jelas sosok tersebut.

“PAK DIMAS!!” sahut gadis itu berlari melewati hujan yang lebat.

“Pak Dim..mas” ucap sang gadis yang tiba di tempatnya dengan suara bergetar.

Gadis itu basah kuyup. Bibirnya pucat. Jari-jarinya mulai berkeriput akibat dinginnya air hujan yang menerpa. Dimas menebak bahwa gadis itu sudah lama berada dibawah hujan.

“Kamu.. kenapa kesini?” tanyanya khawatir seraya melepas jaketnya lalu memakaikannya pada tubuh gadis yang menggigil itu.

Gadis itu masih bisa tersenyum cerah. “Mau ketemu, Pak Dimas. Kan saya udah bilang kemarin, sampai jumpa besok. Tadi saya cari di vila, Pak Dimas engga ada. Katanya Pak Dimas ke air terjun” jawab Azza seraya menahan bibirnya bergetar lebih banyak.

“Saya takut Pak Dimas tersesat. Jadi, saya datang kesini” lanjutnya.

Dimas meraih tangan sang gadis seraya menuntunnya untuk duduk. “Kamu tahu saya disini darimana? Bukankah ada 4 air terjun disini?”

“Hanya menebak, Pak”

“Yang bener? Kamu gak kunjungi semua air terjun, kan?” tanya Dimas menatap serius gadis itu. Sifat nekad yang dimiliki gadis itu cukup mengkhawatirkan.

Azzalea menggeleng pelan. “Hanya insting kuat saya, Pak”

Dimas hanya bisa menggeleng.

“Saya takut Pak Dimas tersesat. Jadi saya mau nolongin”

“Sekarang, saya yang nolongi kamu” ucapnya membenarkan jaket yang menghangatkan tubuh sang gadis.

“Berarti kita impas, Pak” celetuk gadis itu senang.

Dimas melihat cuaca. Hujan belum berhenti. Langit juga sudah menggelap. Jalanan juga akan semakin licin dan tidak terlihat, tidak memungkinkan bagi mereka untuk pergi dari tempat tersebut, pilihan terakhir yang bisa diambil ialah berteduh hingga esok hari.

Dimas menghidupkan senter yang ia bawa sebagai penerangan mereka. Ia menggantungkan senter tersebut di kayu tiang tempat itu.

“Ada apa, Azza?” tanyanya yang mendapati gadis itu tersenyum senang kepadanya setelah ia meletakkan senter tersebut.

“Apa Pak Dimas masih mau menghindari saya lagi?”

Dimas diam sejenak. Berusaha mengontrol dirinya. Ia kembali duduk di sebelah sang gadis. “Tidak. Saya tidak pernah menghindari kamu”

“Bohong. Kemarin Pak Dimas sangat ingin pergi cepat dari saya dan seakan tak ingin bertemu dengan saya” ungkap gadis itu.

Dimas menatap gadis itu sejenak lalu mengalihkan pandangannya ke depan. “Maaf, Azza. Saya hanya terlalu sibuk, dan tidak menyangka kamu disini”

Azzalea menggeleng. “Pak Dimas gak perlu minta maaf. Seharusnya saya yang sadar diri, mungkin kehadiran saya bisa mengganggu, saya maklumi.. tapi yah, bagaimana pun juga, saya merasa sedih kalau Pak Dimas menghindar tanpa sebab”

***

Suara nyanyian jangrik terdengar mengisi kekosongan disela percakapan mereka yang terkadang terhenti. Walau udara sekitar begitu lembab dan dingin, ia bersyukur hatinya merasa hangat berada dekat dengan sang guru.

“Bagaimana perjalanan Pak Dimas tadi? Apa menyenangkan?”

Pak Dimas mengangguk pelan. “Menyenangkan, tapi masih ada satu air terjun lagi yang belum saya kunjungi”

“Pak Dimas harus mengajak saya kesana, jaga-jaga biar gak tersesat” usulnya.

Mereka kembali diam.

“Pak Dimas..”

“Iya?”

“Apa ada yang ingin Pak Dimas tanyakan pada saya?”

“Mengenai?”

“Malam itu..”

Azzalea melihat Pak Dimas meremas tangan pelan, tampak gelisah, namun wajah pria itu tampak tenang.

“Apa mereka sering berkata kasar pada kamu?”

“Hm.. Jarang. Karena saya sebisa mungkin menghindari mereka berdua. Mereka selalu berkata kasar satu sama lain di rumah. Saya juga tidak mengerti alasan mereka melakukan hal seperti itu setiap hari. Tapi, anehnya saat diluar rumah, mereka tampak seperti pasangan umum pada biasanya”

Pak Dimas menatapnya. “Apa pria itu bersikap kasar padamu, Azza?”

Azzalea menatap bola mata madu yang masih menjadi decak kagumnya, sorot khawatir itu terlihat. Ia menunduk, tidak sanggup menatap bola mata itu. Ia mengatupkan kedua tangannya, berusaha mencari kehangatan sendiri.

Ia tersenyum getir. “Pernah. Tapi sejak saat itu, saya tidak ingin duduk berdua dengannya lagi”

Ia teringat kenangan masa kecilnya dulu bersama pria yang masih berstatus ayah tersebut. Masa kecilnya lebih banyak dihabiskan bersama sang nenek dan Rose, ia sangat jarang bertemu dengan sang ayahanda.

Pertemuan pertama setelah ia mulai bisa mengingat menjadi kesan buruknya. Malam itu, pria itu pulang ke rumah dengan keadaan mabuk, masuk ke ruang bermainnya yang dimana ia masih bermain dengan robot baru, hadiah yang pria itu berikan pada ulang tahunnya. Awalnya ia senang akan pertemuan itu, namun hal itu menjadi mimpi buruknya. Sang ayah memberi tamparan kuat pada pipi mungilnya.

Bayangan masalalu itu perlahan menghilang karena suara Pak Dimas yang menenangkan terdengar.

“Apa masih dingin?”

Azzalea menegakkan kepala. Ia berusaha menutupi kesedihannya. Lalu menggeleng.

“Setiap berada di dekat Pak Dimas, saya merasa hangat dan aman” ungkapnya.

Mereka bertatapan sejenak. Pak Dimas meraih kedua telapak tangan Azza. Tangan itu tampak mungil dalam dekapan tangan sang guru.

“Hangat?”

Azzalea tersenyum haru. “Hangat..”

***

1
Kia Kai
/Coffee//Cake/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!