Gloomy Wedding

"Kenapa kau memberi tahu Barra jika dia sudah punya anak? " A, Pria itu bertanya pada pria di hadapannya yang tidak lain adalah Liam. Pria itu terlihat menyesap minumannya lalu menghela nafas.

"Hanya tau tentang hal itu. Tidak masalah, bukan? Lagi pula dia masih harus berjuang menemukan Bella. " Jawabnya.

"Jika seperti ini, walaupun tanpa bantuan mu dia tetap akan dengan cukup mudah menemukan Bella. Kau sendiri yang bilang, sebelum dia benar - benar menyesali perbuatannya dia tak boleh menemukan Bella secepat itu. "

"Aku tau. Bella sudah pergi dari kehidupan Barra hampir 2 tahun lamanya, ku rasa memberi dia sedikit celah tak akan menjadi masalah. Karena yang akan menentukan dia berhasil tidaknya adalah Bella, bukan kita. "

"Aku tak yakin Bella akan menerima dia dengan mudah. Mengingat apa saja yang sudah pria bodoh itu lakukan padanya, apalagi Nyonya Rea. Dia pasti sangat membenci Barra. " A menyesap rokok di tangannya lalu menghembuskan asapnya ke udara dengan perlahan.

"Dia jadi bodoh karena kesalahpahaman yang terjadi 4 tahun yang lalu. "

"Kau kemana kan wanita itu? "

"Dia? Sudah pasti tak ku biarkan lepas begitu saja. Lalu anaknya? Apa dia masih di keluarga yang mengadopsinya? " Liam balik bertanya.

"Aku tidak yakin wanita itu bisa menjaga anaknya bahkan baru lahir pun sudah dia telantarkan. Anak itu di bawa oleh ayah biologisnya untuk dia rawat sendiri. "

"Ayah Biologisnya? Memangnya siapa Ayah dari anak itu? "

"George Brock. "

"Pria itu? " Liam terlihat kaget.

A mengangguk samar.

Melihat itu Liam berdecih lalu tersenyum sinis. "Pantas dia berhasil memperdaya Barra, Pria itu saja mampu dia perdaya. Wanita memang berbahaya. "

"Awalnya aku tidak percaya dan ragu jika anak itu adalah anaknya, namun setelah melakukan Tes DNA dengan sangat ketat akhirnya aku percaya karena DNA mereka sangat cocok satu sama lain. "

"Awalnya ada 4 pria yang datang ke Keluarga itu setelah mengetahui jika Jovita pernah hamil dan memiliki anak. Tentunya untuk mereka bawa ke keluarga mereka, dan George adalah salah satu dari ke 4 pria yang mengetahui tentang hal ini. " Jelas A.

"Itu berarti masih banyak yang belum tau? "

"Yah, karena ke 4 pria itu memiliki kekuasaan hampir setara dengan Barra, itu sebabnya mereka bisa mengetahui hal ini dengan cukup cepat. "

"Kau tidak khawatir mereka akan membocorkan rahasia mu? "

"Mereka tidak akan berani. Karena mereka sudah terikat janji dengan ku. "

Liam mengangguk lalu menyesap minumannya.

Tok

Tok..

Suara pintu di ketuk mengalihkan perhatian mereka. Seorang pria berdiri di depan pintu yang sudah terbuka.

"Ada apa, Jay? " Tanya A.

"Tuan, Tuan George ingin bertemu dengan anda. " Ucap pria itu.

"Wah, baru juga kita bicara kan. Suruh dia kemari. "

"Baik. "

Pria itu mengangguk lalu pergi dari sana.

"Kenapa dia ingin bertemu dengan mu? " Tanya Liam.

"Dia tidak ingin bertemu dengan ku, tapi dengan mu. "

"Aku? " Liam mengangkat alisnya bingung.

Tak lama, datang lah seorang pria ke dalam ruangan yang mereka tempati. Pria itu menatap Liam lalu beralih pada A.

"Aku ingin bertemu dengan nya. " Ucap pria itu.

"Dia tidak di tangan ku, tapi di tangannya. " Tunjuk A pada Liam.

Tatapan pria itu kembali beralih pada Liam. "Dia ada pada mu? " Tanyanya.

Awalnya Liam tak mengerti, namun akhirnya pria itu menghela nafas dan mengangguk.

"Yah. Dia ada padaku. "

"Aku ingin bertemu dengannya. "

Liam berdiri dari duduknya lalu berjalan pergi dari sana.

"Ikuti aku. "

***

Di ruangan yang berbeda, Terlihat seorang wanita duduk di atas lantai yang terlihat kumuh dan kotor. Ruangan itu juga terlihat begitu tua dan usang. Cat dindingnya sudah mengelupas dan hampir di penuhi oleh lumut.

Jovita meringkuk kedinginan di atas lantai sembari berusaha menghangatkan tubuhnya yang terasa kaku karena kedinginan.

Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatiannya. Dia membulatkan kedua matanya saat melihat Liam lah yang masuk ke dalam.

"Kau! Lepaskan aku dari sini! Kau tidak ber hak mengurung ku disini! " Jerit wanita itu tidak terima.

"Aku kemari bukan untuk mendengarkan ocehan mu. Tapi ada seseorang yang ingin bertemu dengan mu. " Balas Liam menggeser tubuhnya hingga memperlihatkan seorang pria yang berdiri di belakang tubuhnya.

Melihat pria itu tiba - tiba saja tubuh Jovita bergetar ketakutan. Wanita itu memundurkan tubuhnya ke belakang hingga menempel ke dinding saat melihat George mendekat ke arahnya.

"Kau! Kenapa kau bisa ada disini! "

"Bagaimana Aku bisa ada disini? Mudah, untuk melenyapkan mu! "

George mencengkram erat dagu Jovita hingga wanita itu mendongak menatap wajahnya.

"Beraninya kau menelantarkan anakku, Sialan! "

"Anak apa?! Anak Siapa yang kau maksud! Lepaskan aku! " Balas Jovita dengan susah payah.

"Anak perempuan ku yang kau tinggalkan begitu saja di jalanan 6 tahun yang lalu! Jika kau memang tidak Sudi merawat nya, kau bisa membawa anak itu padaku! Aku bisa mengurus nya dan memberinya kasih sayang! Tapi kau dengan beraninya menelantarkan dia di jalanan! " Sergah pria itu dengan mata menyala.

Jovita membulatkan kedua matanya kaget. Dia ingat, anak perempuan nya dia tinggalkan di jalan dulu. Dia terpaksa meninggalkannya di sana karena tak punya pilihan lain. Dan lagi, waktu itu juga dia tidak tau siapa ayah Kandung anak nya.

"Ja-jadi.. Dia anak mu? " Pertanyaan itu membuat George tertawa dengan keras.

"Kau bahkan tidak tau siapa ayah dari anak yang kau kandung. Menjijikan! Aku benar - benar menyesali perbuatan ku dulu dan merutuki kebodohan ku! Bisa - bisanya aku terjebak pesona wanita seperti dirimu! "

"Dan sekarang itu terjadi pada Barra. " A menyambar sembari menyaksikan tontonan gratis di depannya.

"Kau memang pantas mendapatkan semua ini, karena kau wanita menjijikan! Aku bersyukur karena kau menelantarkan anakku waktu itu, jika tidak dia pasti sudah tersiksa karena memiliki ibu seperti dirimu! "

George menghempaskan tubuh Jovita dengan kuat ke arah tembok hingga membuat wanita itu meringis menahan sakit.

Pria itu bangkit dan pergi dari sana bersama dengan A dan Liam. Meninggalkan Jovita dengan segala renungannya.

"Maafkan Mama Rene.. Maafkan Mama.. " Lirih Jovita sembari menahan tangisannya.

***