“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Syanas menghela napas panjang, merasa sedikit lebih tenang setelah berhasil mengeluarkan racun dari tubuhnya. Ia melangkah santai ke kamar, seolah insiden tokek barusan tak pernah terjadi.
Begitu masuk matanya langsung menangkap sosok Kahfi yang sudah berbaring di atas kasur kayu, sibuk membaca buku dengan santai.
Kamar kecil itu tampak lebih sempit karena barang-barang mereka yang masih berada di dalam tas dan koper berserakan di lantai.
Syanas memilih untuk tidak banyak berkomentar. Dari pada mengeluh soal kondisi kamar ia lebih memikirkan satu hal ia perlu mencuci wajah sebelum tidur.
“Yang,” panggilnya.
“Hmm?”
“Alat mandi kita di mana?”
Kahfi menutup bukunya sebentar, menoleh ke arah Syanas. “Di dalam plastik hitam, di dalam koper,” jawabnya santai sebelum kembali membaca.
Syanas mengangguk lalu berjongkok untuk mencari plastik hitam yang dimaksud. Setelah menemukannya ia mengambil perlengkapannya lalu berjalan keluar kamar, kembali menuju kamar mandi.
Saat melewati dapur kecil yang hanya diterangi lampu redup, ia sempat melirik sekeliling, memastikan bahwa tidak ada hewan lainnya.
Rumah sederhana ini terasa begitu asing baginya, berbeda jauh dari tempat tinggalnya yang nyaman dan modern. Ada banyak hal yang ingin ditanyakan tentang rumah ini tapi mungkin nanti saja.
Begitu masuk ke kamar mandi, Syanas segera menutup kain penutupnya rapat-rapat, lalu menghela napas. Ia melepas hijabnya membiarkan rambutnya terurai.
Rasanya lega dan kepalanya tidak lagi terasa berat. Wajar ia belum terbiasa mengenakannya sepanjang hari.
Setelah memastikan wajahnya dan giginya bersih, Syanas mengambil handuk kecil mengeringkan sisa air di wajahnya.
Syanas tidak mengenakan hijabnya lagi karena di rumah itu hanya ada mereka berdua saja, sesuai petuah Kahfi. Udara disana ternyata begitu dingin. Ia mulai merasakan menggigil pada tubuhnya.
Syanas berjalan keluar dari kamar mandi menuju kamar, langkahnya sedikit terburu-buru karena ingin segera berlindung dari dinginnya udara malam.
Begitu masuk ke dalam kamar matanya langsung tertuju pada Kahfi yang tampak tertidur dengan buku tertutup di wajahnya.
Perlahan Syanas berjalan mendekat. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, mengintip di celah-celah buku itu. Mata Kahfi terpejam, napasnya teratur. Sepertinya benar-benar tidur.
Namun, Syanas tidak terlalu peduli dengan itu. Ia baru sadar bahwa sudah beberapa hari ini wajahnya tidak mendapatkan perawatan. Tanpa banyak berpikir ia segera merogoh tas, mengambil semua barang yang baru mereka beli.
Sambil berdiri di depan kaca kecil yang tergantung di dinding, Syanas membuka kemasan masker wajahnya. Ia mulai mengoleskannya perlahan ke seluruh wajahnya, meninggalkan bagian mata agar tetap terbuka.
Hasilnya wajahnya kini tampak begitu putih dengan lingkaran di sekitar matanya.
Setelah itu ia mengeluarkan masker bibir berwarna gold. Begitu ditempelkan di bibirnya ukurannya yang besar membuatnya tampak seperti habis di suntik filler.
Syanas merapikan masker-maskernya lalu mulai merasakan dingin semakin menusuk tubuhnya. Ia segera mencari kain yang bisa digunakan untuk menghangatkan diri.
Namun, setelah mencari-cari di tas satu-satunya yang ia temukan hanyalah telekung putihnya.
Mau meminjam sarung milik Kahfi, ia ragu. Bagaimana kalau lelaki itu marah? Akhirnya Syanas memutuskan untuk mengenakan telekungnya sendiri.
Begitu kain putih itu menyelimuti tubuhnya, rasa hangat mulai menjalar perlahan membuatnya lebih nyaman.
Syanas lalu melangkah menuju ranjang. Namun, saat hendak naik, ranjang kayu itu mengeluarkan suara berderit pelan. Ia langsung berhenti.
Ia maju sedikit.
Krekkk!
Mundur lagi.
Diam sejenak.
Maju lagi.
Krekkk!
Syanas menahan napas sambil menatap ranjang dengan penuh kecurigaan. Jangan-jangan kalau ia naik ranjangnya benar-benar roboh?
Tetapi saat ia melihat lantai, pikirannya langsung jalan. Bagaimana kalau ada tokek? Tikus? Atau lebih parah ular?!
Pilihan tidur di lantai otomatis dicoret. Ia harus bertahan di ranjang ini, meskipun deritannya bikin jantungnya lebih tegang.
Syanas akhirnya berhasil berbaring perlahan di ranjang kayu yang berderit setiap kali ia bergerak. Udara semakin dingin, membuatnya meringkuk sambil menggigil. Ia melirik ke arah Kahfi yang masih tertidur dengan buku di wajahnya.
Saat ia masih dalam mode jangan bergerak biar ranjang tidak ambruk, tiba-tiba Kahfi bergerak.
Lelaki itu menghela napas lalu perlahan mengangkat buku yang menutupi wajahnya. Matanya terbuka setengah lalu menoleh ke samping.
Dalam cahaya remang-remang hal pertama yang dilihatnya adalah wajah putih pucat dengan mata melotot ke arahnya.
Kahfi membeku. Oksigen seolah hilang dari ruangan. Otaknya belum sepenuhnya sadar, tapi instingnya langsung aktif.
“HAAAAAHHHHHH!!!!”
Buku di tangannya terlempar ke udara. Ia langsung melompat dari ranjang.
Syanas yang ikut panik, spontan juga berteriak.
Kahfi masih berteriak sambil loncat-loncat ke sudut ruangan. Matanya sebesar kelereng, mulutnya megap-megap, tetapi ia tidak bisa berbicara apa-apa selain berteriak.
Syanas membeku. Matanya melebar, keringat dingin mulai keluar dari tengkuknya. Syanas berpikir dengan Kahfi menunjuk-nunjuk ke arahnya?
Jantung Syanas langsung dag-dig-dug tidak karuan. Syanas langsung melompat ke Kahfi dengan panik, seolah lari dari sesuatu yang tidak terlihat.
Kahfi semakin histeris dan semakin kuat teriak. Syanas pun ikut berteriak sambil melompat-lompat dan berpegangan erat ke Kahfi, menempel sekuat tenaga.
Kahfi semakin panik. Tanpa berpikir panjang ia langsung mengangkat tangan dan mulai membaca ayat kursi dengan napas terputus-putus.
“Allahu laa ilaaha illaa huwa...!!”
Syanas menempel makin erat.
Kahfi semakin panik. “Al-hayyul qayyum... la ta'khudzuhu sinatuw wala nauum...!!!”
Ia mengusapkan tangannya ke kepala Syanas dengan niat ruqyah dadakan, berharap ini bukan sejenis kuntilanak.
“Ya Allah, hantu ini nempel!!!”
Syanas yang masih membatu makin gemetar. Jangan-jangan Kahfi beneran melihat sesuatu di belakangnya?!
Kahfi hampir menyelesaikan bacaannya. Sementara itu Syanas sudah siap pasrah. Jika benar ada setan, ya sudahlah, Tuhan, ambil saja nyawa hamba.
Hingga akhirnya, Kahfi mulai sadar. Matanya menyipit, napasnya tersengal, tapi kali ini ia melihat lebih jelas.
Wajah putih pucat dengan lingkaran di sekitar mata, bibirnya gold menyala karena lip mask, dan telekung putih menjuntai seperti hantu syariah.
Seketika, “Sayang?!!!”
Syanas masih menempel kaku.
Kahfi megap-megap. “Astagfirullah.. Yang.”
Syanas kebingungan dengan tubuhnya menempel ke Kahfi yang sudah megap-megap kehabisan napas. Kedua tangan Kahfi masih dalam posisi siap ruqyah, sementara Syanas masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi.
“Yang... Aku kira kamu hantu!”
Syanas langsung membeku. Matanya melotot. “Apa?”
Kahfi mengangguk cepat masih berusaha menenangkan jantungnya yang nyaris copot. “Iya, aku kira tadi ada kuntilanak di sampingku! Mana mukamu putih pucat, matamu melotot, terus bibirmu kayak begini.”
Syanas langsung melepaskan pegangan eratnya, turun dari tubuh Kahfi dengan wajah penuh kesal. “Jadi kamu teriak-teriak tadi karena ngira aku hantu? Aku kira ada setan di belakangku!”
Kahfi mengusap wajahnya, berusaha mengatur napas dengan wajah yang tersenyum-senyum nyaris tertawa. “Aku nggak tau kalau itu kamu. Kamu juga ngapain berpenampilan kayak begini?”
Syanas mengernyit. “Penampilanku?”
Ia pun melirik ke arah cermin di belakang Kahfi. Begitu melihat bayangannya sendiri, ia langsung terdiam.
Wajah putih pucat dengan lingkaran di sekitar mata. Bibir gold akibat masker bibir. Ditambah telekung putih yang menjuntai panjang.
Syanas menahan napas. “Pffttt—”
Mulutnya bergetar, menahan tawa yang nyaris meledak. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, bahunya berguncang hebat.
Kahfi juga menahan tawa.
“Aku lagi pakek masker Yang. Terus aku kedinginan, jadi pakek mukena.”
Kahfi masih dalam mode tersenyum-senyum sambil mengusap kepalanya. “Istriku memang berbeda,” gumamnya.
Syanas kembali menahan tawa, tangannya menutup mulutnya erat. “Ternyata kamu takut juga ya?”
Kahfi menghela napas panjang lalu tersenyum kecil. “Bukan takut, tapi terkejut.”
Syanas melirik Kahfi dengan tatapan jahil. “Iya, iya, terkejut. Sampai menjerit?”
Kahfi tertawa kecil memainkan matanya yang masih mengantuk. “Udahlah. Kamu lebih baik tidur sana. Aku mau ke kamar mandi sebentar.”
Syanas masih terkekeh sambil menatap cermin. “Kamu ngompol ya sayang, sangking takutnya?”
Kahfi mendelik sekilas lalu berjalan keluar kamar. Syanas menatap pantulan wajahnya di kaca sekali lagi. Ia masih menahan tawa dengan pikiran, ternyata Kahfi bisa takut juga.
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..