Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Pemuda kekar Desa Mola-Mola
Matahari belum benar-benar tinggi, cahaya hangatnya merayap perlahan di celah-celah pepohonan, menyentuh permukaan batu gua yang tertutup lumut tipis. Di dalam sana, dua pria dengan literatur berbeda saling berhadapan. Waktu yang berjalan terasa begitu berat di antara mereka.
Satrio tahu bahwa posisinya saat ini berada dalam situasi yang sulit. Sedikit kesalahan saja bisa membawanya pada masalah yang lebih besar. Namun satu yang pasti, pemuda kekar di depannya saat ini sedang menunggunya memberi jawaban.
"Siapa kau!" Pria kekar itu berteriak, suaranya tegas dan menggema di antara dinding gua. Raut wajahnya penuh ancaman, dan amarah terpancar jelas.
Pertanyaan sederhana seperti itu pun, membuat Satrio harus berpikir keras. Ia tahu, mungkin literasi pemuda yang berdiri di depannya itu, tak seluas dirinya. Setiap kata harus ia susun dengan hati-hati, agar mudah dipahami, dan tentunya terdengar masuk akal. Dalam situasi ini, salah bicara bisa berujung malapetaka.
Satrio melirik pada batu prasasti, sebelum akhirnya menjawab. "Aku hanya seorang penjelajah," nadanya pelan, matanya tak berani meninggalkan wajah Pria itu. "Aku sedang melakukan perjalanan, dari Timur ke Barat, dan tersesat hingga akhirnya sampai di gua ini."
Suasana masih terasa tegang dan kaku, menyelimuti ruang di sekitar mereka.
Pria itu melirik ke arah barang bawaan Satrio yang tergeletak di tanah, lalu menatap tajam ke arah Satrio. "Lancang sekali kau di tempat kami. Ini tempat leluhur kami!"
Satrio menghela napas, berusaha menenangkan situasi. "Aku, aku minta maaf, aku tidak bermaksud seperti itu."
Pria kekar itu tiba-tiba terdiam, seolah sedang menimbang kata-kata "Jangan-jangan, semua ini adalah kesalahanmu!" Nadanya keras, penuh tekanan. Ia maju satu langkah. "Kami telah berusaha keras untuk memenuhi syarat leluhur kami, dan sekarang, kau datang dan merusak semuanya!"
Mereka perlahan bergerak, saling bertukar posisi di dalam gua yang sempit. Langkah pria itu mantap, penuh keyakinan. Ia berhenti sejenak, lalu dengan gerakan cepat mencabut tombak yang tertancap di dinding gua. Suara gesekan logam memenuhi ruangan, membuat Satrio semakin waspada. Tombak itu kini berada di tangannya, menggantung rendah namun siap digunakan kapan saja. Satrio tahu, satu gerakan salah bisa menjadi akhir baginya.
"Tidak-tidak. Aku bersumpah, aku tidak merusak apapun di sini. Aku tidak seperti yang kau pikirkan. Kumohon dengarkan penjelasku!" Satrio mencoba bertahan, tetapi pria itu tetap pada keyakinannya.
"Semua yang terjadi adalah akibat ulahmu! Gara-gara kau, semua yang kami lakukan menjadi sia-sia!" Pekik pria itu, gerakannya cepat, mengarahkan ujung tombaknya ke arah Satrio. Satrio mundur beberapa langkah, dengan tangan di depan, berusaha melindungi diri.
"Kau Ikut denganku!" pria itu mengeraskan suaranya.
Satrio merasakan ketegangan di udara, menyadari bahwa pria itu tidak akan mendengarkan penjelasannya. Dengan satu gerakan cepat, pria itu meraih lengan Satrio dan menariknya keluar dari gua.
"Ke mana kau akan membawaku?" Satrio bertanya, suaranya bergetar antara ketakutan dan kebingungan.
"Ke desa," jawabnya, nada penuh penekanan. "Kau harus menjelaskan ini kepada ketua desa. Jika tidak, kita semua akan menderita akibat perbuatanmu."
Dalam langkah cepat, pria itu menarik Satrio menjauh dari gua, menuju jalan setapak yang akan membawa mereka kembali ke desa. Di dalam hati Satrio, rasa cemas dan ketidakpastian menyelimuti pikirannya. Bagaimana caranya untuk meyakinkan mereka bahwa kehadirannya di desa ini hanya untuk mencari kebenaran, bukan membawa malapetaka?
Dalam perjalanan menuju desa yang pemuda itu maksud, Satrio berusaha mencari celah untuk berbicara. Ia ingin menyampaikan sesuatu, apalagi setelah perlakuan yang ia terima.
"Boleh aku bertanya?" Satrio mencoba memecah ketegangan.
Pria itu menoleh dengan tajam, seolah memperingatkan Satrio untuk tidak bersikap sembarangan. "Tutup mulutmu! Jelaskan itu di hadapan Kepala Desa."
Suasana di sekitar mereka terasa tegang. Pria itu terus mendesak Satrio agar terus melangkah, seolah tidak ingin mendengarkan penjelasan sedikit pun. Dalam pikirannya, ia ingin sekali menjelaskan sedikit tentang dirinya, tentang tujuan kedatangannya, dan betapa ia hanya seorang pencari kebenaran yang tidak berbahaya. Namun, pria itu tidak memberinya kesempatan sedikit pun.
Satrio mempercepat langkahnya, berusaha meredakan ketegangan di dalam dirinya. "Tapi, kau harus mendengarkan. Aku tidak datang untuk..."
"Sebaiknya kau Diam!" Pria itu memotong, suaranya semakin tinggi, "Kau tidak di sini untuk berbicara. Kau di sini untuk menjelaskan perbuatanmu di hadapan Ketua Desa. Itu saja yang perlu kau tahu."
Satrio terdiam, merasakan perasaan putus asa. Ia hanya bisa berharap bahwa Ketua Desa akan mendengar penjelasannya dan memahami niat baiknya. Namun, bayangan tentang hukuman yang mungkin akan dijatuhkan kepadanya membuatnya semakin gelisah.
Mereka melanjutkan perjalanan di tengah hutan, setiap langkah semakin mendekatkan Satrio pada takdir yang tidak pasti.
Hingga tiba di sebuah bukit, Satrio tertegun, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Di bawah bukit, terhampar rumah-rumah kayu tradisional, masing-masing dengan arsitektur yang unik dan menarik. Beberapa orang terlihat beraktivitas di depan gerbang desa.
Namun, ada yang aneh dengan warga desa ini. Meskipun tempat ini terisolasi dari modernitas, cara berinteraksi mereka tampak lebih mirip dengan penduduk desa pada umumnya, jauh dari kesan primitif yang ia duga sebelumnya. Satrio memperhatikan mereka, dari cara berpakaian hingga gaya komunikasi. Mereka mengenakan pakaian sederhana, tetapi tidak terlihat kumuh atau kotor. Beberapa dari mereka bahkan mengenakan aksesoris yang tampak seperti hasil kerajinan tangan yang rapi dan terampil.
Satrio teringat suku-suku pedalaman yang pernah ia temui bersama timnya. Mereka yang masih menggunakan pakaian khas pedalaman dan mematuhi tradisi yang sangat ketat. Berbeda dengan warga desa ini yang tampak lebih terbuka dan adaptif. Meski begitu, ada nuansa ketegangan yang menyelimuti suasana, seolah-olah semua yang terjadi di sini menyimpan rahasia besar yang belum terungkap.
Pria kekar di sampingnya mengatupkan rahang, mengamati reaksi Satrio dengan ekspresi curiga. "Apa yang kau lihat! Cepat jalan!" katanya tegas, seolah memperingatkan Satrio. Satrio hanya mengangguk, menyimpan rasa kagum dibalik kecemasannya.
"Mola-Mola?" gumam Satrio, melihat papan yang telah usang saat mereka mendekati gerbang desa.
"Jangan berlebihan," tambah pemuda itu, menuntunnya menuruni bukit. "Sebelum berbicara, kau harus menjelaskan semua ini kepada Kepala Desa."
Satrio bisa merasakan mata-mata curiga dari para penduduk yang sedang berlalu-lalang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, Mungkin sebuah hukuman, atau bahkan bisa lebih buruk lagi dari itu.
Tak lama mereka melewati gerbang, terlihat dua pria menghampiri mereka dengan raut wajah panik.
"Ekot!" sapa seorang pria, suaranya bergetar penuh ketakutan. "Apa kau sudah mendengar tentang Pak Purrok dan Daiva?"
Pada akhirnya, Satrio pun tahu siapa nama pemuda yang membawanya ke desa. Ekot terdiam sejenak, matanya membara, seolah merasakan gejolak amarah yang kian memuncak di dalam hatinya. Ada sesuatu yang salah di desa ini, dan Satrio dapat merasakannya.
Salah satu dari pria itu menyadari kehadiran Satrio, lalu bertanya, "Siapa orang asing ini?" Raut wajahnya menunjukkan kebingungan.
Ekot menarik tangan Satrio dengan kasar, membuatnya terpaksa maju ke depan. "Balewa, Empong. Bawa dia menemui Ayahku. Setelah aku melihat kondisi keluarga Pak Purrok, aku segera menyusul ke sana," ucapnya dengan nada yang tegas, namun di balik itu tersimpan ketidakpastian.
Pemuda bernama Balewa pun segera menarik lengan Satrio, memintanya untuk segera mengikutinya. Satrio merasa terombang-ambing, terjerat dalam situasi yang semakin membingungkan. Rasa ingin tahunya tertekan oleh perasaan cemas yang semakin menggelayuti suasana.
Sekejap, Satrio merasakan ada sesuatu yang sedang terjadi di desa ini. Semua wajah penduduknya tampak dirundung kecemasan, seolah bayangan kelam menggantung di atas mereka. Terlebih lagi, raut wajah Ekot dan Balewa yang sempat terlihat panik dan marah, membuat Satrio merasa seolah ia terjebak dalam badai kelam yang tidak ia mengerti.
Satrio tak banyak bicara, ia tahu saat ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Ia memilih untuk diam, menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam benaknya, tak ingin membuat suasana semakin buruk.
Mereka melangkah cepat melalui jalan setapak yang diapit oleh rumah-rumah kayu tradisional. Suasana semakin mendekati pusat desa, ketegangan di udara semakin terasa, seakan setiap langkah mereka menghentakkan kekhawatiran yang melingkupi setiap sudut.
Di ujung jalan, sebuah rumah sederhana, namun berbeda dari yang lain, muncul di depan mereka. Rumah itu berdiri kokoh di atas tiang, dengan atap rumbia yang melindungi dari terik matahari, tetapi aura di sekitarnya menambah kesan misterius.
Balewa melirik tajam ke arah Satrio, memberikan isyarat untuk menaiki anak tangga. Rumah di desa ini seluruhnya berbentuk panggung, walau tidak tinggi, namun memiliki beberapa anak tangga yang mengarah ke pintu masuk.
Dengan perasaan campur aduk, Satrio mulai menaiki anak tangga satu per satu. Rasa cemas dan was-was kian menumpuk di dalam hatinya. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada beban tak terlihat yang menghalangi. Ia duduk di halaman depan rumah, menatap Balewa yang berdiri di sampingnya dengan ekspresi serius. Dalam benaknya, terbayang berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi.
lanjut nanti yah