Ijab qabul yang diucapkan calon suaminya, seketika terhenti saat dirinya pingsan. Pernikahan yang diimpikan, musnah saat dirinya dinyatakan hamil. Terusir, sedih, sepi, merana dan sendirian. Itulah yang dirasakan oleh Safira saat ini.
Dalam keputusasaan yang hampir merenggut nyawanya, Safira dipertemukan dengan sosok malaikat dalam wujud seorang pria paruh baya. Kelahiran anak yang tidak diharapkan, justru membuat kehidupan Safira berubah drastis. Setelah menghilang hampir 6 tahun, Safira beserta sepasang anak kembarnya kembali untuk membalas orang-orang yang telah membuatnya menderita.
Satu per satu, misteri di balik kehamilan dan penderitaan Safira mulai terkuak. Lalu, siapakah ayah dari si kembar jenius buah hati Safira?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Restviani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Tanpa Sengaja
Bik Cucum dan Kenzo sontak menoleh kepada Lara. Karena begitu terharu dengan pertemuan tanpa sengaja ini, mereka pun sampai melupakan sosok gadis kecil yang tengah berdiri di tengah-tengah mereka.
"Eh, Adek ... maaf, Nak. Ibu sampai lupa," sesal Bik Cucum. "Kenalin, ini namanya Tuan Kenzo," lanjut Bik Cucum, memperkenalkan anak asuhnya. "Nah, Tuan Ken ini orang yang Ibu asuh sedari kecil," imbuhnya.
"Anak angkat Ibu juga? Sama dong, kayak Lara," celoteh gadis remaja itu.
"Hehehe, bukan anak angkat, Nak. Dulu, Ibu pernah bekerja di luar negeri. Ya, jadi pengasuhnya Tuan Kenzo ini. Mamanya Tuan Kenzo itu seorang pengusaha perempuan yang sukses di Amerika, jadi ibu yang ngasuh Tuan Kenzo kalau mamanya sedang bekerja," papar Bik Cucum.
"Hmm ... sama aja, Bu. Mommy Lara juga kerja, karena itu Lara diurusin Ibu di rumah. Jadi Lara sama Tuan Kenzo ini adik kakak. Sama-sama diasuh Ibu. Benar, 'kan Tuan?" tanya Lara, mencari dukungan.
Kenzo hanya tersenyum mendengar celotehan si kecil yang begitu menarik perhatiannya. Entah kenapa, raut wajah gadis cilik yang sedang berdiri di hadapannya, seperti tidak pernah asing dalam benak Kenzo. Hanya saja, Kenzo tidak ingat di mana dia pernah melihat raut wajah seperti itu.
Kenzo berjongkok. Dia mulai mensejajarkan tubuhnya dengan Lara. Sesaat kemudian, Kenzo mengulurkan tangan kanannya.
"Halo gadis kecil, nama Uncle, Kenzo. Kamu bisa panggil Uncle Ken, not Tuan. Apa kamu mengerti?" ucap Kenzo.
Lara mengangguk. "Oke Uncle Ken, dan Uncle juga boleh panggil Lara, bukan gadis kecil!" tegas Lara seraya menyambut uluran tangan Kenzo.
"Jadi, apa sekarang kita teman?" tanya Kenzo.
"Hmm, tentu saja Uncle. Mulai sekarang, we are friends!" sambut Lara.
Hangat. Entah kenapa batin Kenzo terasa hangat saat berjabat tangan dengan gadis kecil itu. Padahal, dia tahu jika dirinya tidak bisa sembarangan disentuh.
"Lara, ayo!"
Panggilan seseorang seketika memutus jabat tangan mereka. Kenzo sempat melirik orang tersebut. Namun, riuhnya pengunjung pameran, membuat Kenzo kesulitan melihat pria tua yang memanggil teman barunya.
"Maaf Uncle Ken, Lara sudah dipanggil Opa. Lara permisi dulu, senang berteman dengan Uncle," ucap Lara seraya berlari.
"Eh, tunggu, Ra!"
Namun, gadis kecil itu sudah tidak bisa mendengar teriakkan Kenzo. Dia terlalu fokus mencari keberadaan sang kakek yang terhalang orang-orang tinggi, pengunjung pameran internasional.
Begitu pula dengan Bik Cucum. Merasa khawatir Lara hilang dalam kerumunan, akhirnya tanpa kata dia berlari mengejar anak asuhnya. Bahkan, Bik Cucum sendiri sampai lupa untuk berpamitan kepada Kenzo.
"Nanny," gumam Kenzo, menatap bengong ke arah pengasuhnya yang sudah semakin menjauh.
Kenzo membuang napas dengan kasar. Dia menyesali kebodohannya yang tidak langsung meminta nomor kontak pengasuhnya yang baru.
Ya Tuhan... kenapa aku begitu bodoh. Seharusnya, aku meminta nomor kontak Nanny sebelum berbicara dengan gadis cilik itu," gumam Kenzo. "Huh, menyebalkan! Kapan lagi aku bisa bertemu dengan Nanny?"
Kenzo menggerutu kesal. Dia sudah menyia-nyiakan pertemuan tak terduga ini dengan tidak menanyakan nomor kontak pengasuhnya. Padahal, ada banyak hal yang ingin dia bagi dengan ibu keduanya itu.
"Bengong terus! Kapan bisa dapat jodohnya kalau cuma bengong seperti ini. Ayo, berbaurlah dengan yang lainnya, siapa tahu ada yang nyangkut," tegur Willy seraya menepuk pundak sahabatnya.
Kenzo terkejut. Dia hanya memutar kedua bola matanya mendengar teguran Willy yang tepatnya seperti sebuah sindiran.
"Ayolah, Wil ... lu tahu sendiri, 'kan kondisi gue? Lagi pula, gue belum bisa menemukan orang yang tepat untuk gue ajak melangkah bersama," tutur Kenzo.
"Gue pikir, lu butuh terapi buat nyembuhin penyakit lu, Sob," saran Willy.
"Sudahlah! Ayo kita keliling," pungkas Kenzo.
Pria bermata biru itu sepertinya enggan untuk membahas tentang dirinya. Dia mengajak sahabatnya untuk kembali menikmati suguhan epik dalam lukisan abstrak hasil karya para pelukis negeri Jiran.
🌷🌷🌷
Sementara itu, di salah satu pelosok kota Kuala lumpur Malaysia. Tampak Safira tengah duduk di kursi kebesaran yang disediakan pihak perusahaan anak cabang. Saat ini, dia sedang melakukan evaluasi terhadap salah satu cabang perusahaan Rafila Furniture.
"Jadi, kita bisa menghemat waktu. Harganya mungkin sedikit lebih mahal. Karena kualitas kayu yang ditawarkan juga tidak kalah bagusnya dengan kualitas kayu yang selama ini kita gunakan. Menurut saya, jika kita mengambil kerja sama yang ditawarkan oleh perkebunan negara, saya pikir tidak ada salahnya. Secara tidak langsung, kita sudah membantu untuk memperkuat perekonomian negara," tutur Pak Aziz, direktur cabang Rafila Furniture. "Bagaimana, Bu?" tanyanya kepada Safira.
Hening.
Safira memang terlihat menatap layar in fokus yang terpasang di hadapannya. Namun, entah ke mana pikirannya saat ini? Dia hanya menatap kosong layar putih yang sudah terisi dengan berbagai gambar jenis kayu jati yang sedang dipaparkan direktur perusahaan anak cabang.
"Ibu," bisik pelan Sarah di telinga Safira.
Kedua pundak Safira terangkat, karena merasa kaget mendengar bisikan sekretarisnya.
"Ada apa, Sar?" tanya Safira, seraya menoleh kepada orang yang sangat dipercayainya.
"Itu, Bu. Pak Aziz sudah selesai dengan persentasinya," jawab Sarah, yang dagunya langsung menunjuk ke arah layar infokus.
Safira kembali menoleh. Dia memang bisa melihat gambar-gambar di atas layar infokus. Namun, dia sama sekali tidak bisa mengingat apa yang dipaparkan direktur cabang perusahaannya.
Safira tidak ingin membuang waktu para bawahannya. Karena itu, dia mengakhiri rapat yang seharusnya berlanjut ke sesi diskusi.
"Sebelumnya, saya minta maaf jika pertemuan ini belum menghasilkan sebuah keputusan yang maksimal. Akan tetapi, saya berjanji, saya akan membawa dan menelaah kembali dokumen yang baru saja Bapak presentasikan. Untuk hasilnya, secepatnya saya akan memberi tahu Bapak melalui sekretaris saya," tutur Safira. "Untuk pertemuan hari ini, saya rasa cukup sampai di sini saja. Semoga lain hari kita bisa mengadakan pertemuan ini lagi secara maksimal," imbuhnya.
Semua orang mengangguk menanggapi ucapan CEO wanita itu. Tak ada satu pun orang yang bertanya. Atasannya memang terlihat lelah. Mungkin, karena itu juga sehingga beliau tidak bisa fokus terhadap pemaparan sang direktur perusahaan anak cabang.
Sarah mengemasi barang-barangnya. Sesekali, dia melihat Safira yang terlihat pucat. Tak lama kemudian, Rana yang selesai mendesain sebuah gambar mansion di ruangan ibunya, segera menghampiri kedua wanita dewasa itu di ruang meeting.
"Loh, Bunda kenapa?"