Lastri selalu di injak harga dirinya oleh keluarga sang suami. Lastri yang hanya seorang wanita kampung selalu menurut apa kata suami dan para saudaranya serta ibu mertuanya.
Wanita yang selalu melayani keluarga itu sudah seperti pembantu bagi mereka, dan di cerai ketika sang suami menemukan penggantinya yang jauh berbeda dari Lastri.
Namun suatu hari Lastri merasa tidak tahan lagi dan akhir mulai berontak setelah ia bercerai dengan sang suami.
Bagaimana cara Lastri membalas mereka?
Yuk simak kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Mendadak Kaya
Bab 18. Mendadak Kaya
POV Lastri
Sekujur tubuhku mendadak kaku. Tubuhku seakan hilang tenaga sehingga membuat aku lemas dan sesak napas. Bagaimana orang tua ku mengetahui kehidupan ku yang tersiksa selama ini? Siapa yang sudah memberi tahu mereka?
Tanpa sadar mataku mulai mengembun di kelopak mata. Bulir-bulir bening perlahan jatuh tanpa di minta.
"Bu..."
Air mataku menetes perlahan di pipi.
"Pasti berat ya Las, kasihan anak Ibu..."
Ibu meraih tubuhku dan mendekapnya erat. Begitu pula aku yang tidak dapat membendung lagi segala rasa sakit yang selama ini aku tahan.
Aku menangis dalam pelukan ibuku. Menangis menumpahkan apa yang selama ini aku pendam sendiri. Segala rasa dan emosi meluap dalam dada ini dan tertuang lewat air mata.
Perasaan ini campur aduk. Sampai-sampai aku tak bisa berkata apa-apa. Hanya tangis sesunggukan yang keluar dari mulutku.
"Kamu pasti sudah berusaha menahannya selama ini. Tidak apa-apa Nak, luap kan saja. Kamu tidak perlu bercerita. Dari tangis mu ini sudah menguatkan keyakinan kami, bahwa kamu tidak baik-baik saja di sana selama ini. Itu sudah cukup, kamu tidak perlu bercerita, ibu paham dan mengerti semua perasaan mu... "
Lagi-lagi derai air mataku berjatuhan mendengar penuturan ibuku.
"Maafkan Lastri Bu... Huuwuuu..."
"Tidak apa nak, tidak apa. Ibu tidak marah padamu. Ibu dan Bapak yang salah, karena menuntut pertanggung jawaban Hendra dulu. Ibu dan Bapak yang harusnya minta maaf padamu..."
Suara ibu ku bergetar. Aku tahu ibuku pun menahan rasa yang sama seperti ku. Kami berdua saling berpelukan, saling tangis melepas ke piluan.
Sebagai anak aku merasa bersalah telah menyakiti perasaan orang tuaku. Tapi sungguh, tidak ada keinginan ku sampai terjadi hal-hal seperti ini dalam hidupku.
Sampai perasaan kami sudah mulai tenang, aku memberanikan diri bertanya pada Ibu.
"Bu, bagaimana Ibu dan Bapak bisa tahu tentang permasalahan rumah tangga yang aku hadapi?"
Ibuku menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.
"Dulu itu, Bapak mu sangat rindu dengan Diah. Jadi Bapak di antar Pak Lek mu, pergi ke rumah kalian. Belum sempat Bapakmu bertanya pada orang di mana rumah mu, Bapak mendengar seorang ibu-ibu dan anak gadis memarahi wanita seperti binatang. Dan begitu terkejutnya Bapak ketika tahu kalau yang di marahi itu adalah kamu. Di tambah lagi, ibu-ibu di sekitar rumah itu membicarakan bagaimana kehidupan mu setiap harinya. Dari ghibahan mereka, Bapak mu jadi tahu keadaan mu yang sebenarnya. Bapak mu langsung meminta Darmo pulang saat itu juga."
Sudah tidak heran bagiku aku di ghibahkan oleh para tetangga di tempat tinggalku. Wajar saja mereka membicarakan ku karena setiap hari suara Ibu mertua juga saudari-saudari Mas Hendra begitu nyaring terdengar, dan tidak memikirkan tetangga yang mendengarkannya.
Kembali aku meneteskan air mata. Membayangkan betapa hancurnya perasaan Bapak ku ketika itu. Aku semakin merasa bersalah. Bukan memberikan kebahagiaan kepada kedua orang tua ku, justru aku menorehkan luka di hati mereka. Bapak pasti malu kala itu, juga kecewa pada ku keluarga Mas Hendra.
"Selama dua tahun kami menunggu mu untuk berbicara sendiri tentang kesulitanmu. Tapi kamu masih tetap enggan bicara. Sampai pada akhirnya kemarin itu, Pak Lek mu mengantarkan seorang pengusaha kaya yang ingin membeli rumah dan tanah ini. Begitu mendengar harga yang di tawarkan, Bapak mu langsung kepikiran padamu Las. Bapak berpikir dengan menjual semua ini, uang yang di dapati bisa untuk mu modal usaha. Dan memewahkan hidup mu selama ini yang serba kekurangan."
Sungguh, hatiku pilu mendengar keinginan orang tuaku. Bahkan sampai memikirkan kehidupan ku yang serba kekurangan, padahal Ibu dan Bapak sendiri dalam kehidupan yang sederhana.
"Maaf aku yang tidak pernah mengirimkan apapun kepada Bapak dan Ibu. Benar, hidupku serba kekurangan disana. Mas Hendra hanya memberikan aku sedikit dari gajinya. Karena dia tulang punggung keluarganya, jadi dia juga membiayai kebutuhan Ibu dan Adiknya."
"Makanya Bapak meminta mu pulang untuk mengurus semuanya. Besok pengusaha itu akan datang lagi untuk meminta jawaban dari Bapak mu."
"Tapi Bu, apa benar rumah ini dan tanahnya yang tidak seberapa di hargai segitu banyaknya?"
"Oalah, siapa bilang tanah ini tidak seberapa. Batas tanah Bapak mu ini dari pagar depan itu lebar nya ke samping sampai sawah dan kebun di sana. Terus memanjang ke belakang. Luasnya hampir 6,5 hektar Nak."
"Apa?!"
Aku terkejut buka main mendengar penjelasan dari Ibu. Tidak mengira Bapak memiliki tanah sampai berhektar-hektar banyaknya. Yang ku kira tanah Bapak hanya lah sekeliling rumah ini, sesuai pagar bambu yang mengelilinginya.
"Tapi Bu, bukannya sawah itu milik Pak Jaka dan kebun-kebun itu milik Pak Leman?"
Ibu tersenyum, lalu meraih kedua tangan ku dan menggenggamnya.
"Tidak Nak, tanah itu milik Bapak mu yang di pinjam mereka untuk bercocok tanam. Dan kadang kalau panen, mereka memberikan sedikit kepada kami. Itu sebabnya Bapak dan Ibu disini tidak pernah kekurangan." Jelas Ibu.
Aku mengerti sekarang. Tapi...
"Kalau rumah dan tanah ini dijual, Ibu dan Bapak jadi tinggal di mana?" Tanya ku, bingung.
"Bapak mu dan Pak Lek mu sudah sepakat akan membeli sebidang tanah di samping rumah Pak Lek mu. Dan akan membangun rumah di sana. Bapak dan ibu sudah tua, kami ingin menikmati hari tua tanpa beban hati dan pikiran dari. Jadi Bapak mu memutuskan akan berkebun saja di belakang rumah nanti. Yang hasil jual tanah nanti bisa kamu manfaatkan untukmu dan Diah. Untuk sekolahnya di masa depan sampai kuliah, bahkan ia menikah kelak."
Aku terharu Bapak dan Ibu memikirkan diriku dan Diah sampai sejauh itu. Bahkan Mas Hendra sendiri pasti tidak pernah memikirkan masa depan Diah yang merupakan putri kandungnya sendiri. Dan aku pun kembali memeluk ibuku.
***
Keesokan harinya.
Sesuai dengan apa yang Ibu katakan, pengusaha kaya itu datang kerumah kami. Jantungku berdebar-debar rasanya, karena sebelumnya aku tidak pernah melakukan hal semacam ini.
Pertemuan itu pun di lakukan di hadapan orang tuaku, Pak Lek serta Kepala Desa yang sudah aku kenal lama.
"Jadi Pak Rahman, apa harga yang Saya tawarkan sudah di setujui?" Tanya pengusaha kaya itu.
"Semua keputusan Saya serahkan kepada Lastri putri Saya Pak." Jawab Bapak.
Jantung ku berdegub ketika Bapak menyebut namaku. Dan semua mata pun tertuju padaku. Satu mata yang membuat aku terpaksa menundukkan pandangan, tatapan Kepala Desa yang sambil tersenyum tidak mampu aku tatap. Kepala Desa itu merupakan pria yang selalu membantuku di kampung ini ketika aku masih gadis.
Bersambung...
Minta like dan komennya ya readers 🙏😊
tambah keluarga toxic,menjijikkan jadi lelaki..