Rasa, Rana Dan Lara
Tok-tok-tok!
Safina mengetuk pintu kamar saudaranya dengan ritme yang cukup cepat.
Dug-dug-dug!
Kembali Safina menggedor pintu kamar itu, saat tak mendapati jawaban dari dalam kamar.
Hoeeekk….hoeeekk….hoeeek!
Terdengar suara seseorang yang sedang memuntahkan sesuatu dari dalam kamar mandi. Namun tak lama kemudian.
Ceklek!
Pintu terbuka, seorang wanita cantik yang tengah mengenakan kebaya brokat berwarna putih, keluar dari kamar mandi.
“Fir, are you oke?” tegur Safina yang telah berada di dekatnya.
Beberapa detik yang lalu, Safina memaksa masuk karena tak ada jawaban dari si empunya kamar. Ternyata sang pemilik kamar tengah berada di kamar mandi sehingga tak dapat mendengar bunyi ketukan pintu di kamarnya.
“I’am fine,” jawab Safira lirih, meskipun wajah pucatnya sangat jelas terlihat.
“Aduh-duh ... ini kenapa calon pengantin wajahnya pucat begini sih? Kemarilah, biar aku benahi riasanmu!” ujar Safina seraya menarik pelan tangan Safira dan menyuruhnya duduk di depan kaca rias.
Safina kemudian mulai menata ulang riasan Safira agar tidak terlihat berantakan. Beberapa menit kemudian, Safina memapah saudaranya untuk menuju ruang keluarga, tempat di adakannya akad nikah.
Safira dan Safina bukanlah saudara kembar. Namun Karena mereka lahir di hari, tanggal dan tahun yang sama, maka sang nenek pun memberikan nama yang hampir mirip.
Ayah Safira dan ayah Safina, mereka adalah kakak beradik. Namun, sayangnya kedua orang tua Safira telah meninggal dalam sebuah kecelakaan. Hingga pada akhirnya, Safira pun tinggal bersama oma, om dan tantenya yang tak lain orang tua Safina.
“Aah Fira, cucu Oma ... kenapa lama sekali, Nak?" tegur Oma Halimah, nenek kandung dari Safira dan Safina.
“Maaf, Oma.” Hanya itu yang keluar dari mulut Safira yang mungil.
“Ya sudah, tidak apa-apa. Ayo, Oma antar menuju kursi akadmu. Adam sudah menunggumu di sana,” ujar Oma Halimah seraya memapah Safira ke meja akad.
Tiba di sana, Safira langsung duduk berdampingan dengan pria tampan, berkulit putih bersih. Pria yang sudah hampir dua tahun menjadi kekasihnya. Pria itu bernama Adam Djaelani, seorang Pilot.
Adam tersenyum begitu mendapati calon istri yang sudah duduk di sebelahnya. Begitu juga Safira yang membalas senyuman calon suaminya dengan senyum yang teramat indah. Sesaat kemudian, Oma Halimah memasangkan kerudung putih di atas kepala kedua mempelai.
“Sudah siap semuannya?” tanya bapak penghulu.
“Insya allah siap, Pak!” jawab Adam.
Berbeda dengan Safira yang hanya mengangguk seraya tersenyum, menjawab pertanyaan pak penghulu tadi.
“Adam Djaelani, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau kepada Safira Anandhita binti Abdul Latief dengan maskawin seperangkat alat shalat beserta uang tunai sebesar seratus juta dibayar tunai!”
“Saya terima, nikah dan kawinnya Safira Anandhita binti Abdul Latief dengan maskawin seperangkat alat solat beserta uang seratus juta diba–”
Bugh!
Belum selesai kalimat akad terucap dari mulut sang mempelai pria, tiba-tiba Safira terjatuh dari kursinya.
“Fira!” teriak panik orang-orang yang tengah menyaksikan akad pernikahan Safira dan Adam.
Seketika Adam, Oma halimah, Safina dan kedua orang tua Adam menghampiri dan mengerumuni Safira yang tengah tergeletak di lantai, tak sadarkan. Adam segera meraih kepala Safira dan meletakannya di atas kedua pahanya.
“Fira! Fir! Bangun, Sayang!” ucap Adam seraya menepuk pelan pipi calon istrinya.
Safira masih memejamkan mata.
“Fira Sayang, jangan bikin semua orang panik. Ayo sadarlah, Yang!” Kembali Adam menepuk pelan pipi Safira, mencoba menyadarkan gadis yang teramat dicintainya.
“Ayo, cepat bawa ke kamarnya, Nak Adam!” perintah Oma Halimah. “Jo, cepat panggil Dokter Teguh!” Oma Halimah memberikan perintah kepada Jodi, putra bungsunya yang tak lain adalah ayah kandung Safina.
Dengan sigap, Adam segera memangku Safira dan membawanya ke kamar. Tiba di kamar, Adam merebahkan tubuh Safira di atas ranjang. Dengan tatapan cemas, dia mengelus-elus telapak tangan Safira untuk memberikan kehangatan.
Bukan tanpa alasan Adam melakukan itu semua. Dalam keadaan pingsan, Adam bisa merasakan kalau tangan Safira sangatlah dingin.
Tak berapa lama, Dokter Teguh yang merupakan dokter keluarga Oma Halimah, tiba di kamar Safira.
“Ayo-ayo, semuanya keluar!” perintah Oma Halimah. “Biar Dokter Teguh bisa tenang memeriksa Safira,” lanjutnya.
Semua orang keluar dari kamar Safira. Mereka memutuskan untuk menunggu hasil pemeriksaan Dokter Teguh di luar kamar Safira. 20 menit kemudian, Dokter Teguh keluar dari kamar Safira. Namun, wajahnya terlihat sangat tertekan.
“Bagaimana Teguh, apa yang terjadi pada cucu saya? Sakit apa sebenarnya cucu saya?” cecar Oma Halimah.
“Maaf Nyonya, bisakah saya berbicara dengan Anda secara pribadi?” Bukannya menjawab, Dokter Teguh malah meminta waktu untuk berbicara empat mata dengan Oma Halimah.
Oma Halimah tampak mengernyitkan dahinya. “Ada apa, Teguh? Apa penyakit yang diderita cucu saya sangatlah parah?” tanya Oma Halimah lagi.
“Mari, Nyonya. Sebaiknya kita bicara di ruangan Nyonya saja!” ajak Dokter Teguh.
Oma Halimah mengangguk. Dia pun mengajak Dokter Teguh ke ruang pribadinya.
“Ada apa, Teguh? Kenapa kamu mengajak saya untuk berbicara secara pribadi? Apa yang sebenarnya terjadi kepada cucu saya?” cecar Oma Halimah terlihat cemas.
“Sebelumnya saya minta maaf, Nyonya. Tapi ada kemungkinan jika nona Safira, emm ... nona Safira saat ini tengah berbadan dua,” ucap lirih Dokter Teguh.
“A-apa?! Ti-tidak mungkin Teguh! Tidak mungkin jika cucu saya sedang mengandung!” pekik tertahan Oma Halimah.
“Itulah, Nyonya. Saya sendiri merasa ragu, tapi dari hasil pemeriksaan saya, kondisi nona Safira memang seperti tengah berbadan dua,” lanjut Dokter Teguh seraya menghela napasnya. "Saran saya, sebaiknya Nyonya memeriksakan keadaan nona Safira ke obgyn,” sambungnya.
Dengan wajah memerah, menahan amarah, Oma Halimah keluar dari ruangannya. Dia kemudian kembali ke kamar Safira.
Brakk…!
Oma Halimah membuka pintu kamar Safira dengan kasar.
Safira yang tengah terduduk lemah sesaat setelah dia sadar, sangat terkejut mendengar suara gebrakan di pintu kamarnya. Tanpa banyak bicara, Oma Halimah segera menarik tangan Safira dan menyeretnya keluar kamar.
“Ibu, apa yang Ibu lakukan? Fira baru saja sadar. Ibu hendak membawa dia ke mana?” tanya Riska, menantunya.
Oma Halimah tidak menjawab pertanyaan sang menantu. Dia masih terus menyeret Safira menuruni anak tangga hingga melewati tamu-tamu yang masih setia menunggu acara akadnya.
“Oma, Fira mau dibawa ke mana?” tanya Safina seraya berlari untuk mengimbangi langkah neneknya.
“Ujang! Siapkan mobil!” Hanya itu yang keluar dari bibir Oma Halimah.
Tak berapa lama, sebuah mobil mewah terparkir di halaman rumah. Oma Halimah segera mendorong tubuh Safira untuk masuk ke dalam mobil. Sesaat kemudian, wanita tua itu menyuruh sopir pribadinya untuk segera melajukan mobil menuju rumah sakit.
Sementara itu, di belakang, dengan didampingi Safina, Adam pun memasuki mobilnya. Sepersekian detik kemudian, pria bertubuh tegap itu melajukan kendaraannya untuk mengejar mobil Oma Halimah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 314 Episodes
Comments
Anonymous
keren
2024-05-19
0
Anonymous
keren
2024-05-10
0
Salma Suku
Mampir thor
2024-04-14
0