Dua bulan sebelum menikah. Dia bertemu dengan wanita di masa lalunya. Ternyata selama ini alasannya enggan menikah karena masih tidak terima ditinggal mantan pacarnya begitu saja.
Dia ingin membalas dendam, tapi cinta masa lalu kembali menjeratnya.
Lalu bagaimana nasib pernikahannya?
Akankah dia akan tetap menikah atau kembali kepada masa lalunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena_Senja🧚♀️, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Bab 21
Enam tahun kemudian.
"Gol...." seru seorang anak berusia lima tahun bersama dengan ibunya. Keduanya sedang menyaksikan pertandingan sepak bola dengan heboh.
"Ma, kapan-kapan lihat bola di stadion yuk!" ajak Elvan. Dia suka sepak bola karena mamanya juga suka sepak bola.
"Iya nanti kalau mama libur dan pas gajian." jawab Alenka.
"Sekarang tidur gih!"
"Bentar ma, kan belum habis bola-nya?"
"Tapi ini udah malem, El. Tidur! Besok di ajak om Andreas jalan-jalan." kata Alenka kepada anak lelakinya.
Selama ini, Alenka hidup dengan bantuan dari Andreas. Jadi, anak Alenka cukup dekat dengan Andreas. Karena memang Andreas selalu memberinya perhatian dan kasih sayang bak seorang ayah.
Elvan pun nurut apa kata mamanya. Dia anak yang baik, tidak pernah membantah perintah mamanya, anak yang penurut dan berbakti, juga anak yang cukup cerdas diantara anak seusianya.
"Ma, boleh nggak aku sekolah di kota? Biar deket sama om Andreas." pinta Elvan sebelum dia memejamkan matanya.
"Emang kenapa kalau disini?" tanya Alenka.
"Kata om Andreas, di kota itu enak, semuanya ada. Boleh nggak ma?"
"Tapi mama kan kerjanya disini, nak."
"Tapi waktu itu aku pernah denger om Andreas bilang ke mama, kalau mama siap, mama boleh balik lagi ke kantor om Andreas yang di kota. Emang mama belum siap kenapa sih?" tanyanya lagi.
Alenka membulatkan matanya. Dia tak menyangka jika anaknya mendengar percakapannya dengan Andreas beberapa waktu yang lalu.
Waktu itu Andreas bertanya. "Kapan kamu siap balik?"
"Belum tahu, pak."
"Kalau kamu siap. Aku akan bawa kamu ke perusahaan lagi." kata Andreas waktu itu.
Alenka benar-benar tak menyangka jika Elvan mendengar percakapan tersebut. Ia tak menjawab pertanyaan anaknya. Hanya mempererat pelukannya. "Bobok yuk!" katanya.
Elvan menganggukan kepalanya. Melihat wajah mamanya yang sedih. Elvan tidak lagi mencecar pertanyaan yang akan membuat mamanya semakin sedih.
"Ma, boleh nggak aku lihat papa aku!" rasa rindu yang ia pendam selamanya tak kuat ia pendam lagi.
"Kenapa papa jahat sih ma, kenapa papa nggak menginginkan aku? Kenapa papa ninggalin aku?" pertanyaan Elvan itu membuat Alenka kembali bersedih.
"Papa kamu nggak ninggalin kamu. Dia hanya nggak tahu kalau kamu ada." Alenka tidak ingin anaknya membenci papanya. Sejahat apapun yang Samuel lakukan kepadanya. Dia tetap papa kandung dari anaknya.
"Tapi kenapa papa nggak nyari kita?"
"Karena.. Karena papa kamu udah punya kehidupan sendiri. Tapi itu bukan karena papa kamu nggak sayang kamu." Alenka mencoba menciptakan kesan positif pada diri anaknya terhadap papanya. Meskipun ia tak tahu apakah Samuel benar-benar menginginkan anaknya atau tidak.
"Tidur yuk ah, mama udah ngantuk!" Elvan pun kemudian meringkuk dalam pelukan mamanya.
Dengan penuh kasih sayang, Alenka mengecup kening anaknya. Lelaki kecil yang membuatnya bertahan hidup selama ini. Lelaki kecil yang membuatnya kuat menghadapi hidup yang serasa tak adil baginya. Lelaki kecil yang memberinya kekuatan untuk terus melangkah.
Pagi hari, burung-burung bernyanyi dengan riang gembira. Matahari menampakan senyum cerahnya. Alenka sedang menyiapkan sarapan untuk anaknya. Kebetulan hari ini hari Minggu. Dia agak tenang karena tidak buru-buru ke kantor.
Asap masakan mengepul menciptakan aroma harum yang khas. Sop ayam kesukaan Elvan.
Aroma makanan itu tercium oleh hidung kecil Elvan. Ia membuka matanya kemudian mengendus-endus wangi masakan mamanya.
"Selama pagi, bosku.." sapa Alenka saat melihat anaknya berjalan menuju dapur.
"Mama masak sop ayam?" tanya anak kecil berusia lima tahun tersebut.
"Iya dong."
"Ah.. Bikin laper.." katanya.
"Cuci muka dulu, terus makan!" perintah Alenka.
Elvan kemudian berlari ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya sesuai perintah mamanya. Kemudian ia kembali ke dapur untuk sarapan.
"Nyam.. Nyam.. Nyam.." Elvan makan dengan lahap. Ia memang sangat menyukai masakan mamanya khususnya sop ayam.
"Mau nambah lagi?" Elvan menganggukan kepalanya dengan cepat.
"Makan yang banyak, biar cepet gede!" kata Alenka menambah makanan untuk anaknya.
Tin.. Tinn.. Tiiinn..
Terdengar suara mobil di luar rumah Alenka. Elvan langsung melompat dari kursi dan segera berlari membukakan pintu. Dia tahu siapa yang datang.
"Om Andreas..." serunya sembari berlari menuju pintu.
Dan benar saja. Andreas keluar dari mobil dengan membawa beberapa mainan. Tentu saja itu yang ditunggu oleh Elvan.
"Om Andreas.."
"Hallo jagoan, om.." Andeas berjongkok kemudian Elvan langsung memeluknya.
"Ini buat aku?"
"Bukan. Emang Elvan mau mainan ini?" Elvan segera menganggukan kepalanya dengan cepat.
"Kalau mau.." Andreas menunjuk-nunjuk pipinya.
Elvan tahu apa maksud Andreas. Ia segera mencium pipi Andreas berulang kali. "Muah.. Muah.. Muah.."
Andreas tersenyum senang. Ia kemudian memberikan mainan yang ia bawa kepada Elvan. Padahal, ia sengaja membeli mainan itu memang untuk Elvan.
"Pak Andreas kenapa repot-repot sih?" Alenka juga berjalan keluar rumah.
"Nggak apa-apa. Aku seneng kalau Elvan juga seneng." jawab Andreas.
"Pak Andreas udah sarapan?" Andreas menggelengkan kepalanya. Ia berangkat pagi-pagi sekali dari rumah.
"Mari sarapan bareng!" ajak Alenka.
Selama enam tahun ini. Andreas sudah terbiasa dengan Alenka. Setiap kali dia datang, Alenka sering memasak untuknya. Andreas sudah seperti kakak lelaki bagi Alenka.
Andreas masuk ke rumah Alenka. Dia segera pergi ke dapur untuk ikut sarapan bersama dengan Elvan dan juga Alenka.
"Om mau ajak aku ke kota kelahiran mama kan? Om udah janji loh!" tanya Elvan.
Alenka membulatkan matanya. Dia tak pernah tahu mengenai janji itu. "Ke kota kelahiran mama?"
"Iya ma. Om Andreas mau ajak aku jalan-jalan kesana. Katanya sambil lihat-lihat sekolah disana." jawab Elvan dengan jujur.
"Pak??"
"Iya. Aku emang janji ajak dia kesana." jawab Andreas.
"Kamu juga ikut! Karena perusahaan sedang membutuhkan kamu. Desainer yang lain tidak sekompeten kamu. Karena perusahaan sedang ada proyek besar, nilainya ratusan milyar." imbuh Andreas.
"Jadi, siap atau nggak, kamu harus kembali!" kata Andreas lagi.
"Terus disini gimana pak?"
"Ada Ade dan Desi yang bisa diandelin."
Alenka terdiam. Dia merasa terkejut karena keputusan Andreas yang mendadak. Namun, dia tidak mungkin menolak perintah bos-nya.
"Paling cuma sebulan. Tapi kalau Elvan betah disana, ya tinggal disana aja! Sudah saatnya kamu harus berdamai dengan masa lalu. Kalian sudah memiliki kehidupan masing-masing juga." kata Andreas meyakinkan Alenka untuk berani menghadapi masa lalunya.
"Iya ma. Aku cuma pengen ketemu papa dan dekat dengan papa. Meskipun papa nggak pernah tahu keberadaanku, itu nggak masalah. Aku cuma pengen tahu seperti apa papaku. Kita lihat dari jauh juga nggak apa, ma." sahut Elvan.
Matanya Alenka seketika berkaca-kaca. Ia tahu anaknya pasti sangat merindukan kasih sayang dari papa yang tak pernah ia dapat sejak dia lahir.
"Kamu nggak sedih kalau papa kamu tidak menganggap kamu? Tidak sedih kalau papa kamu sudah memiliki keluarga lain?"
Elvan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. "Aku sudah cukup memiliki mama. Aku cuma pengen lihat papa dari jauh. Lagipula aku kan punya om Andreas yang sangat menyayangi aku." jawab Elvan dengan suara parau. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya dia merasa sedih. Tapi, dia mencoba tegar demi bisa dekat dengan papanya.
"Kalau gitu mama siap untuk kembali. Mama akan hadapi masa lalu mama dan tidak akan kabur lagi. Bagi mama memiliki kamu lebih daripada cukup." jawab Alenka dengan yakin.
Ya, dia akan kembali dan tidak akan melarikan diri lagi. Dia akan menghadapi masa lalu dan rintangan di depannya.
"Semangat ma!" seru Elvan kegirangan. Akhirnya dia akan segera melihat papanya secara langsung.
"Bagus Alenka. Lagipula, pendidikan disini dengan di kota sangatlah berbeda. Elvan anak yang cerdas, sayang jika kemampuan dan bakatnya tidak tersalurkan."
Faktanya di kota jauh lebih maju daripada di kota kecil seperti ini. Banyak wadah untuk menampung bakat dan kecerdasan Elvan.
Alenka dan Elvan segera bersiap-siap. Mereka membereskan barang-barang mereka ke tempat tinggal yang telah disiapkan oleh Andreas.