Kecelakaan besar yang disengaja, membuat Yura Afseen meninggal dunia. Akan tetapi, Yura mendapat kesempatan kedua untuk hidup kembali dan membalas dendam atas perbuatan ibu tiri beserta adik tirinya.
Yura hidup kembali pada 10 tahun yang lalu. Dia pun berencana untuk mengubah semua tragedi memilukan selama 10 tahun ke belakang.
Akankah misinya berhasil? Lalu, bagaimana Yura membalas dendam atas semua penindasan yang ia terima selama ini? Yuk, ikuti kisahnya hanya di noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 : SEJARAH
Di tengah keseriusan meeting dengan kliennya, alarm ponsel Zefon memekik dengan kuat. Semua atensi pun tertuju padanya. Bukan Zefon kalau terlalu memedulikan tanggapan orang lain terhadapnya, ia mendelik saat menggenggam ponselnya.
Sebuah sinyal saat ada senjata tajam yang ada di dekat Yura. Kemampuan IT dari cabang perusahaan Sebastian yang dipegang oleh Gala Sky—sepupunya di Palembang, memang begitu canggih. Terdapat sensor senjata tajam yang langsung terhubung di ponsel Zefon.
Sudah sejak lama Zefon menyiapkan benda kecil namun sangat canggih itu. Dan saat bertemu Yura, ia segera mendatangi toko perhiasan terbaik untuk menyisipkannya pada kalung berlian yang kini dikenakan oleh Yura.
“Lanjutkan, Sel!” seru Zefon pada sekretarisnya dan segera berlari keluar dari kafe, tempat pertemuan mereka.
Bukan hanya Selvia yang melongo dengan tatapan tak mengerti, klien pentingnya pun saling bertatapan bingung ketika Zefon berlari tunggang langgang tanpa mengatakan apa pun lagi.
“Mohon maaf, Tuan. Izinkan saya untuk melanjutkan presentasinya,” tutur Selvia dengan sopan untuk memecah keheningan di antara mereka.
“Silakan!” tegas pria di hadapannya. Untung saja mereka sudah lama mengenal, Selvia pun selalu cakap dalam menangani hal-hal seperti ini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Issh! Apa sih ini!” ucap Yura dengan ketus melirik ujung mata pisau yang teramat dekat dengan lehernya. Salah gerakan saja, kulit putihnya bisa tergores.
“Cepat serahkan barang-barang berhargamu!” ancam pria yang kepalanya mengkilap karena tidak berambut.
Yura menghela napas berat, ia sedang tidak berhassrat untuk berkelahi saat ini. “Jauhkan dulu pisaumu!” tutur wanita itu dengan santai.
“Heh! Jangan coba-coba membodohi kami!” sentak salah satunya. Dua lelaki itu tampak mengawasi sekitar, salah satunya membelakangi mereka agar tidak mengundang massa.
“Yaelah, gimana aku ngambil uangnya! Singkirin dulu napa?” seru Yura.
Dua lelaki itu bahkan saling bertatap muka. Bingung kenapa calon korbannya kali ini begitu santai dan tidak ada kepanikan atau ketakutan sedikit pun.
Tak juga bergerak, Yura menyusupkan satu lengannya pada celah lengan pria yang menodongnya, menyentak kuat hingga pisau itu terlepas dan dengan cepat ia merangkak untuk mengambilnya.
Segera berbalik, melompat hingga berdiri tegap dan menodong balik pada dua pria itu bergantian. “Dibilangin keras kepala banget sih, dasar botak! Diem disitu!” ancam Yura dengan tatapan tajamnya.
Mereka mengangkat kedua tangannya, ah bukan penjahat profesional. Bahkan kaki mereka tampak gemetaran saat Yura mengancam mereka balik.
Tanpa diduga dan tanpa disangka, Yura mengeluarkan beberapa lembar uang yang tersisa di dalam dompetnya. Lalu menyerahkan pada dua lelaki besar itu. “Nih! Bagi dua!” ucapnya justru membuat dua pria itu membelalak dengan mulut menganga.
Mereka saling menatap dan mengedikkan bahu tak percaya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah perampokan, sudah diancam balik, bukannya melarikan diri, justru memberi mereka uang yang cukup banyak.
“Ayo ambil! Ini ‘kan yang kalian mau! Enggak usah malu-malu!” Yura melipat pisau di tangannya dan memasukkan ke dalam saku celana. Lalu meletakkan lembaran uang itu di tangan besar mereka.
“Kenapa? Masih kurang?” tanya Yura ketika mendapati mereka bergeming dalam kebingungan. Yura merogoh kopernya kembali. Menyerahkan ponsel lamanya pada pria itu. “Nih, jual aja kalau masih kurang! Dan sekarang jangan ganggu aku!” Yura kembali duduk di tanah, menyandarkan kepala di tiang halte. Melanjutkan tangisnya yang tertunda.
“Eee ... Dek, ini beneran buat Abang?” tanya pria botak itu dengan ragu.
“Hemm! Pergilah! Jangan ambil nyawaku, karena aku baru aja hidup kembali. Enggak lucu tiba-tiba mati lagi dengan konyol!” Yura mengangkat satu tangannya tanpa menoleh dan mengibaskannya.
Dua perampok itu mendelik, saling menatap dan menggaruk kepalanya bingung. Mereka merasa iba karena sepertinya korbannya mengalami gangguan jiwa. Bicaranya ngelantur membuat keduanya tak habis pikir.
“Gimana dong? Balikin enggak nih?”
“Jangan lah, jarang-jarang kita dapet rezeki tanpa berkeringat."
"Kasihan tahu!"
Dua lelaki itu justru sedang bernegosiasi, hingga tak lama kemudian sebuah mobil mewah berdecit karena menginjak rem dari jarak yang lumayan jauh hingga berhenti tepat di hadapan Yura.
Napas Zefon terengah-engah segera turun dan berlari menghampiri Yura. Ia berjongkok, menangkup kedua pipi Yura, memeriksa sekujur tubuhnya. Dadanya berdentum begitu kuat, khawatir terjadi sesuatu dengan gadis itu.
“Kamu enggak apa-apa? Enggak terluka ‘kan?” tanya Zefon dengan wajah dipenuhi kekhawatiran dan buliran keringat.
“Enggak,” jawab Yura bingung.
"Hah, syukurlah.” Zefon menghela napas panjang. Tanpa sadar membawa gadis itu ke dalam pelukannya. “Alarm di ponselku menyala, artinya ada senjata tajam yang mengancammu. Apa terjadi sesuatu?” lanjut lelaki itu.
Yura mendorong dada Zefon dengan cepat, tatapannya menyelidik, kerutan di dahinya semakin dalam, menghubungkan dengan liontin yang sempat berkedip dengan lampu berwarna merah, saat mata pisau sempat menyapa kulit lehernya.
“Tunggu, jangan-jangan kamu pasang sesuatu di kalung ini?” selidik gadis itu memicingkan mata.
Dua perampok tadi kompak mundur dengan sangat pelan, takut menarik atensi pria tampan namun terlihat sangar di mata mereka. Sialnya, salah satu pria itu menginjak ranting hingga membuat Zefon mendongak, mata elang itu menemukan secercah ketakutan di wajah dua lelaki tak dikenal.
Tanpa menjawab terlebih dahulu, Zefon berdiri dengan cepat dan langsung memberi pukulan telak di wajah mereka.
“Ze! Eh, Tuan! Jangan!” teriak Yura panik dan segera menarik lengan Zefon yang mengeras. Gerahamnya terlihat mengetat dengan tatapan memancarkan amarah.
“Tidak! Tidak! Mereka tidak menyakitiku. Lihat sendiri aku baik-baik saja sekarang. Jangan mengalihkan pembicaraan. Apa yang kamu letakkan di kalung ini. Kalau tidak mau menjawab aku akan melepasnya saja. Mencurigakan dan menakutkan!” cecar Yura berdiri di hadapan Zefon sembari mendongak dan menuntut penjelasan.
Kesempatan emas bagi dua perampok itu untuk berlari menjauh dari sana, mereka lari terbirit-birit tanpa berani menoleh ke belakang.
Bersambung~
Besok libur ya, keknya sepi. Awokwokwok...
Makaciieew untuk yang selalu rajin like, komen dan kasi hadiah 💖😘 sehat selalu dan lope you seantariksa