Nova Spire, seorang ahli medis dan racun jenius, tewas tragis dalam ledakan laboratorium saat mencoba menciptakan obat penyembuh paling ampuh di dunia. Tapi kematian bukan akhir baginya—melainkan awal dari kehidupan baru.
Ia terbangun dalam tubuh Kaira Frost, seorang gadis buta berusia 18 tahun yang baru saja meregang nyawa karena dibully di sekolahnya. Kaira bukan siapa-siapa, hanya istri muda dari seorang CEO dingin yang menikahinya demi tanggung jawab karena membuat Kaira buta.
Namun kini, Kaira bukan lagi gadis lemah yang bisa diinjak seenaknya. Dengan kecerdasan dan ilmu Nova yang mematikan, ia akan membuka mata, menguak kebusukan, dan menuntut balas. Dunia bisnis, sekolah elit, hingga keluarga suaminya yang penuh tipu daya—semua akan merasakan racun manis dari Kaira yang baru.
Karena ketika racun berubah menjadi senjata … tak ada yang bisa menebak siapa korban berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Tuan Dorry
Di dalam ruangan privat itu, suasana terasa semakin sunyi. Hanya suara napas ketiga orang itu yang terdengar samar.
Kaira, dengan tenang, menyesap sedikit minuman hangatnya sebelum mulai berbicara.
"Aku ingin kalian mendengarkan dengan tenang," ucap Kaira, suaranya datar namun dalam. "Tubuh yang kalian lihat ini ... adalah milik seorang gadis bernama Kaira Frost."
Delon dan Deilin menatapnya penuh perhatian, menahan semua pertanyaan yang ingin meluncur.
"Kaira asli ...." Kaira berhenti sejenak, seolah mengatur emosinya. " ... adalah gadis buta yang hidup dalam kesendirian dan penderitaan. Di rumahnya, ia diperlakukan seperti tidak ada. Ayah kandungnya lebih mencintai istri keduanya, juga anak-anak tirinya."
Sejenak, raut wajah Deilin mengeras, matanya berkilat marah.
Kaira melanjutkan, suaranya semakin pelan, "Di sekolah, ia terus-menerus dibully. Dihina, dipermalukan, bahkan dipukuli. Tidak ada satu pun orang dewasa yang membelanya. Hingga akhirnya, dia ...."
Kaira menggenggam erat cangkir di depannya. "Hingga akhirnya, dia dipaksa melompat dari atap sekolah karena tekanan itu semua."
Delon mengepalkan tinjunya di atas meja, wajahnya memucat menahan emosi. Deilin menghela napas berat, bahunya bergetar.
"Sebelum semuanya berakhir, Kaira asli datang padaku," lanjut Kaira, suaranya terdengar jauh. "Ia menangis ... memohon agar seseorang mau memperjuangkan keadilannya. Agar orang-orang yang menghancurkannya menerima balasan yang setimpal."
Delon menggeleng dengan getir.
"Bagaimana bisa ... ada orang tua sekejam itu kepada darah dagingnya sendiri?"
Deilin menggigit bibir bawahnya, menahan kemarahan yang hampir meluap.
Kaira tersenyum tipis, penuh ironi. "Dunia ini tidak selalu adil, Delon, Deilin. Ada manusia yang bahkan lebih kejam dari iblis."
Kaira meletakkan cangkirnya perlahan, kemudian menatap ke arah keduanya, meski matanya yang buta tidak bisa benar-benar melihat.
"Tapi tenang saja," ujarnya dengan tenang. "Aku, Nova Spire, berutang nyawa pada Kaira Frost. Sebagai balas budi ... aku akan membalas semua rasa sakit yang pernah dia alami."
Delon menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Kami akan membantumu. Apa pun yang kau butuhkan, katakan saja."
Deilin mengangguk cepat, menyeka air matanya yang mengalir. "Kita tidak akan membiarkan siapapun yang menyakitinya lolos begitu saja."
Kaira tersenyum tipis, namun senyum itu penuh dengan tekad yang dingin. "Bagus," bisiknya.
Delon dan Deilin tersenyum menyeringai, sepertinya mereka akan punya mainan untuk laboratorium mereka. Kedua saudara kembar itu adalah psikopat. Keduanya yatim piatu sejak kecil.
Dan keduanya ditolong oleh Nova kecil yang saat itu diasuh oleh kakek angkatnya, ketiganya hidup bersama dan latihan keras.
Kaira kemudian mengangkat kepalanya sedikit, meski matanya kosong, seolah tatapannya menembus ke dasar jiwa Delon dan Deilin.
"Bagaimana dengan laboratorium? Obat-obatan, virus, racun ... semua formula yang pernah kubuat ... apakah semuanya masih ada?" tanya Kaira, suaranya tenang namun mengandung ketegangan tersembunyi.
Delon mendengus kasar, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dengan wajah kesal.
"Tentu saja masih ada," jawab Delon, tajam. "Bukankah kau sendiri yang menginstruksikan agar semua hasil penelitianmu disimpan di tempat terpisah? Lima lokasi tersembunyi di negara berbeda."
Deilin menambahkan dengan nada dingin, "Kau paranoid soal keamanan, Nova. Sampai membuat kami hafal sepuluh jalur penyimpanan darurat."
Kaira mengangguk perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum lebar. Namun, senyum itu segera luntur saat ingatannya terlempar pada berita yang ia dengar di kafe tadi tentang ledakan mengerikan di laboratorium miliknya.
Wajah Kaira mengeras.
"Tapi ledakan itu ... bukan kecelakaan biasa," gumamnya, suaranya hampir berbisik.
Melihat perubahan ekspresi Kaira, Delon dan Deilin saling melirik, lalu menatapnya dengan serius.
Delon bersuara berat, "Kami pun mencurigainya, Nova. Terlalu banyak kejanggalan. Penjaga keamanan di malam itu semuanya diganti mendadak. Listrik padam beberapa menit sebelum ledakan. Dan—"
"Kami menemukan jejak bahan peledak militer," potong Deilin cepat. Matanya berkilat penuh amarah.
Kaira mengepalkan tangannya di atas meja.
"Siapa pelakunya?" desaknya, suaranya merendah namun penuh ancaman.
Delon menarik napas panjang, sebelum menjawab dengan satu nama:
"Kelompok White Lotus."
Suasana ruangan mendadak membeku.
"White Lotus ...." Kaira mengulangi nama itu dengan getir. "Mereka benar-benar tidak tahu diri."
Deilin menyipitkan matanya. "Mereka menginginkan semua formula dan teknologi medis yang kau kembangkan. Tidak puas hanya mencuri, mereka ingin menghapus jejakmu sekalian."
Delon mengepal tangannya, nadanya penuh ketegasan. "Tapi mereka tidak tahu ... bahwa Nova Spire belum benar-benar mati."
Kaira tersenyum tipis, senyum yang tak menjanjikan keselamatan.
"Bagus," ucapnya pelan. "Kalau begitu, mari kita persiapkan sambutan yang layak untuk mereka."
Deilin menatap Kaira dengan tatapan baru, tatapan hormat dan penuh kekaguman, seperti dulu. "Ayo, kita berperang," katanya mantap.
"Katakan saja, siapa yang harus kami hancurkan lebih dulu," tambah Delon, matanya berkilat berbahaya.
Kaira mengangguk perlahan. "Sabar," bisiknya. "Semua akan mendapatkan balasan. Satu per satu."
*****
Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti dengan elegan di depan gerbang megah keluarga Frost. Logo bergengsi pada kap mobil berkilauan di bawah sinar matahari sore.
Pintu mobil terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Kaira yang turun dengan anggun, meski matanya tetap kosong. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna krem yang membuat sosoknya tampak tenang namun berwibawa.
Di samping mobil, Delon dan Deilin berdiri tegap. Setelah memastikan Kaira turun dengan selamat, Delon menundukkan kepalanya sedikit.
"Kami pergi dulu," kata Delon singkat.
"Jika ada sesuatu, kau tahu harus menghubungi kami," tambah Deilin dengan suara datar.
Kaira hanya mengangguk kecil tanpa berkata apa-apa. Saudara kembar itu segera masuk kembali ke dalam mobil dan melaju pergi, meninggalkan Kaira di depan gerbang.
Penjaga gerbang, yang mengenakan seragam rapi, buru-buru membukakan gerbang besar itu dengan hormat.
Kaira melangkah masuk, tongkat putihnya menjejakkan dentingan ringan di atas jalanan berubin marmer. Langkahnya santai, tapi setiap ayunan tongkatnya terasa tegas.
Begitu ia memasuki pintu utama mansion, suara berat langsung terdengar, memecah keheningan.
"Akhirnya kau pulang juga, Kaira!" suara itu penuh nada tidak sabar.
Kaira berhenti sejenak. Wajahnya yang semula tenang berubah menjadi dingin. Ia mengenali suara itu — Tuan Dorry, ayah kandung Kaira, yang lebih sering mengabaikannya ketimbang memperhatikannya.
Dengan ekspresi tanpa emosi, Kaira menoleh sedikit ke arah suara itu.
"Ada yang ingin Anda katakan?" tanyanya dengan nada datar, tanpa hormat berlebihan seperti dulu.
Tuan Dorry mendekat, matanya mengerut memandang anak perempuannya yang biasanya bersikap takut kini berdiri dengan tenang dan tidak menunjukkan ketundukan.
"Jangan membuat malu keluarga ini lagi, Kaira," geram Tuan Dorry. "Ingat, kau masih menyandang nama Frost. Sekolah sudah cukup sabar menahan tingkahmu."
Kaira tersenyum tipis, senyum yang lebih menusuk daripada hangat.
"Oh?" jawab Kaira ringan. "Kupikir aku sudah cukup baik dengan hanya membawa pulang tubuh ini utuh, tanpa membawa aib yang lebih besar untuk keluarga."
Tuan Dorry menyipitkan matanya, tidak suka dengan sikap Kaira yang kini berbeda dari biasanya.
"Jaga sikapmu, Kaira," peringatnya keras.
Namun Kaira hanya mengangguk dengan angkuh, lalu berjalan melewatinya tanpa memberi salam ataupun hormat.
"Aku sudah cukup bersabar, Tuan," ucap Kaira lirih saat melewatinya. "Sekarang, giliran kalian yang harus berhati-hati."
seirinh wktu berjlan kira2 kpn keira akan bis melihat yaaa
ya panaslah masa enggak kaira tinggl di rumah keluarga fros aja panas padahal tau kalo kaira di sana tidak di anggap,apa lagi ini bukan cuma panas tapi MELEDAK,,,,,,