Kirana kembali ke kampung halamannya dengan tekad bulat—menuntut balas atas kematian ibunya yang tragis. Kampung yang dulunya penuh kenangan kini telah dikuasai oleh orang-orang yang mengabdi pada kekuatan gelap, para penyembah jin yang melakukan ritual mengerikan. Ibunya, yang menjadi tumbal bagi kepercayaan jahat mereka, meninggalkan luka mendalam di hati Kirana.
Apakah Kirana akan berhasil membalaskan dendam ibunya, ataukah ia akan terjerat dalam kutukan yang lebih dalam? Bagaimana ia menghadapi rintangan yang menghadang niat balas dendamnya? Temukan jawaban dari pertanyaan ini dalam perjalanan penuh ketegangan, misteri, dan kekuatan gelap yang tak terduga.
Apakah Kirana akan keluar sebagai pemenang, atau malah menjadi bagian dari kegelapan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Dari dalam rumah, Bu Sari yang sedang duduk di ruang tamu tiba-tiba mendengar suara sepeda motor mendekat. Suara itu terdengar familiar di telinganya, membuat hatinya berdebar tak menentu. Dengan cepat, ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan tergesa-gesa menuju pintu utama. Rasa penasaran dan harapan bercampur menjadi satu dalam pikirannya.
Tangannya dengan sedikit gemetar meraih gagang pintu, lalu membukanya perlahan. Saat pintu terbuka sepenuhnya, matanya langsung tertuju pada sosok yang berdiri di depan rumahnya. Sejenak, waktu seakan berhenti. Udara sore yang sejuk terasa hangat oleh kehadiran orang yang selama ini dirindukannya. Matanya berkaca-kaca, bibirnya sedikit bergetar, ingin mengucapkan sesuatu tetapi tertahan oleh rasa haru yang membuncah di dadanya.
Sosok itu berdiri tegak, tersenyum dengan tatapan yang hangat. Setelah sekian lama, akhirnya pertemuan ini terjadi.
"Ya Allah, nak, kenapa kamu tidak memberi kabar kalau mau datang?" ucap Bu Sari dengan suara bergetar, matanya mulai berkaca-kaca menahan luapan emosi yang sejak tadi membuncah di dadanya.
Kirana menatap wajah ibunya dengan penuh haru. Keriput di sudut mata dan rambut yang mulai memutih menjadi tanda waktu yang tak bisa diputar kembali. Perasaan bersalah menyelimutinya karena begitu lama ia tak pulang, terlalu sibuk dengan kehidupannya sendiri hingga tak sempat mengabari ibunya lebih sering.
"Ayo masuk, nak. Cepat sini, jangan lama-lama di luar," titah Bu Sari, suaranya lembut namun penuh ketegasan seperti dulu saat Kirana masih kecil.
Kirana melangkah masuk ke dalam rumah yang begitu ia rindukan, sembari mengucapkan salam dengan lembut.
Tidak ada yang berubah, hanya saja tripleknya telah diganti dan dicat dengan warna biru muda.
Terpajang di dinding foto-foto keluarga yang menyimpan kenangan masa kecil Kirana dan Nisa.
"Cek lek!"
Bu Sari segera mengunci pintu.
"Kok dikunci, Buk? Kan masih sore?" tanya Kirana heran.
"Udah, gak papa. Ayo, nak, kamu pasti lapar. Ibu sudah masak, ada ikan sambal," ujar Bu Sari. "Sekalian bangunkan Nisa, dari pulang sekolah tadi dia masuk kamar, palingan tidur."
Tanpa menunggu lama, Kirana segera menuju kamar adiknya. Hatinya dipenuhi kerinduan yang tak terbendung, ingin segera memeluk Nisa.
Derrttt...Pintu kamar perlahan terbuka. Di dalam, Nisa terlihat tertidur lelap, meringkuk sambil memeluk guling. Tubuhnya kini tampak lebih bongsor dibanding terakhir kali Kirana melihatnya. Dengan penuh kelembutan, Kirana membangunkan adiknya.
"Nisa, bangun... Kakak sudah pulang," ucap Kirana lembut sambil menggoyangkan bahu adiknya.
Nisa membuka mata perlahan. Dengan wajah masih mengantuk, ia menatap kosong ke arah orang yang membangunkannya. Otaknya seolah masih loading, mencoba mencerna pemandangan di depannya. Bagaimana tidak? Setelah lima tahun tak bertemu, tiba-tiba sosok yang selama ini dirindukannya berdiri di depan mata.
Beberapa detik kemudian, ekspresinya berubah. Matanya yang tadi sayu kini membulat, dan senyum lebar mulai merekah di wajahnya. "Kak Kirana?!" serunya dengan penuh semangat.
"Kak Kirana!! Kok ada di sini? Kakak kok gak bilang-bilang mau pulang?!" seru Nisa dengan wajah penuh keterkejutan. Tanpa ragu, ia langsung memeluk kakak satu-satunya itu dengan erat, seolah tak ingin melepaskannya lagi.
"Kakak baru aja nyampe, Nis. Hehe, namanya juga mau kasih kejutan, makanya gak bilang-bilang," kekeh Kirana sambil terus memeluk adik semata wayangnya dengan penuh kasih sayang.
"Yuk makan, Kakak lapar," ucap Kirana sambil melepas pelukannya.
Perutnya terasa perih, mengingat ia hanya sempat sarapan pagi tadi. Saat bus berhenti untuk istirahat siang, ia malah ketiduran, sehingga tak sempat makan. Kini, aroma masakan ibu yang menguar dari dapur semakin membuatnya tak sabar untuk segera mengisi perut.
Nisa hanya tersenyum dan mengangguk, lalu bangkit dari tempat tidurnya. Tanpa banyak bicara, ia berjalan di belakang Kirana, mengekori kakaknya yang melangkah menuju ruang makan.
Setibanya di dapur, Kirana langsung meraih piring dan menciduk nasi. Perutnya yang sejak tadi keroncongan akhirnya akan terisi. Sementara itu, Bu Sari dan Nisa ikut duduk di meja makan. Suasana hangat menyelimuti mereka bertiga saat berbincang, saling melepas rindu setelah sekian lama tak berkumpul bersama.
Yang tidak mereka sadari, sepasang mata tajam tengah mengawasi mereka dari balik pagar halaman. Sosok itu berdiri diam dalam bayang-bayang, memperhatikan setiap gerakan di dalam rumah dengan penuh ketelitian.
Sejak Kirana melangkah melewati gapura tadi, orang itu sudah memperhatikannya. Tatapannya penuh arti, seolah menyimpan sesuatu yang belum terungkap.
“Bu, kok gak ada suara adzan ya?” tanya Kirana dengan dahi berkerut, merasa janggal karena hari sudah mulai gelap, memasuki waktu magrib.
"Iya, nak, sejak Pak Kyai Kasim meninggal, surau itu jadi tidak terurus," jawab Bu Sari dengan nada sendu.
"Apa, Bu? Kyai Kasim meninggal? Kapan, to? Kok Ibu gak pernah cerita?" tanya Kirana terkejut, matanya membulat tak percaya.
"Sudah, sudah, nanti Ibu ceritakan," ujar Bu Sari, berusaha menenangkan. "Sekarang ayo kita sholat magrib dulu," ajaknya kepada kedua putrinya.
Selesai ibadah, Bu Sari duduk dengan tenang, lalu mulai bicara kepada putri sulungnya. Tatapannya lembut namun ada kesedihan yang tersirat di dalamnya.
"Kirana, sekarang di kampung ini kamu jangan pergi ke mana-mana sendiri ya, nak," ujar Bu Sari dengan nada serius.
"Desi sampai sekarang belum ditemukan, dan Lili… dia juga sudah menjadi korban," lanjutnya, suaranya melemah, menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.
"Ada apa sebenarnya yang terjadi di kampung ini, Bu? Sejak kapan semua ini terjadi?" tanya Kirana dengan wajah tegang. Rasa penasaran bercampur cemas mulai menyelimuti pikirannya.
"Sudah setahun ini keadaannya seperti ini, nak," tutur Bu Sari dengan suara pelan. "Awalnya, Mbak Nur, menantu Buk Wani, menghilang. Dia izin pergi ke pasar malam di kampung sebelah sendirian naik motor. Tapi keesokan harinya, yang ditemukan hanya motornya di ujung desa ini. Sampai sekarang, jasadnya pun belum diketemukan."
Kirana terdiam, menyimak setiap kata yang keluar dari mulut ibunya. Perasaan ngeri mulai merayap di hatinya. Apa sebenarnya yang sedang terjadi di kampung ini?
"Sudah lima orang yang hilang, nak," lanjut Bu Sari dengan nada khawatir. "Dan tiga orang meninggal dengan cara yang tak wajar, termasuk Lili dan Kyai Kasim."
Kirana merasakan bulu kuduknya meremang. Semakin banyak yang ia dengar, semakin besar rasa takut dan penasaran yang menggelayuti pikirannya.
"Lili ditemukan di dekat sawah Pak Surya, nak," lanjut Bu Sari dengan suara bergetar. "Lehernya menganga… seperti digorok dengan senjata tajam."
Kirana menelan ludah, tubuhnya merinding mendengar penuturan ibunya.
"Sementara itu, Kyai Kasim…" Bu Sari menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "beliau ditemukan meninggal di sumur rumahnya saat subuh. Perutnya menganga… penuh luka tusukan."
Kirana menggigit bibirnya, dadanya terasa sesak. Ada sesuatu yang sangat mengerikan sedang terjadi di kampung ini.
"Apa tidak lapor polisi, Bu?" tanya Kirana, suaranya dipenuhi rasa penasaran dan kecemasan.
Bu Sari menghela napas panjang. "Sudah, nak. Tapi sampai sekarang, tidak ada hasilnya. Polisi sudah menyelidiki, tapi mereka bilang tidak menemukan petunjuk yang jelas. Kasusnya seperti jalan buntu..."
Kirana menggenggam tangannya sendiri, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Apa sebenarnya yang sedang terjadi di kampung ini?
"Kalau malam jangan keluar-keluar ya, nak. Nisa juga Ibu larang keluar setelah pulang sekolah. Sekarang Ibu yang antar jemput dia ke sekolah," tutur Bu Sari lagi, suaranya penuh kekhawatiran.
"Iya, Bu, Kirana ngerti," jawab Kirana sambil mengangguk. Ia melirik jam di dinding, sudah pukul 20.23. "Yaudah, Kirana mau lanjut sholat Isya terus istirahat ya, Bu."
Bu Sari tersenyum lembut. "Iya, nak. Istirahat yang cukup, ya."
yang semangat dong yang semangat dong
aku penasaran nih
semangat terus pokoknya author saya tunggu lanjutan eps nya👍🔥🔥🔥