Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.
Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.
Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.
Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2. KESAN PERTAMA
...Aku bertanya-tanya ketika melihatmu,...
...peran mana yang sedang kumainkan?...
...Peran pengganti, peran sampingan, atau...
...Peran utama?”...
Mulutku tidak bisa berhenti menganga saat aku berdiri di ambang pintu kaca. Ruangan yang begitu rapi dan artistik, tumpukan buku di beberapa tempat yang seolah sengaja diletakan untuk memercantik ruangan, benar-benar memikat. Walau masih pagi, sudah banyak karyawan yang berlalu lalang dengan aktivitas mereka masing-masing. Bahkan kedua temanku memiliki ekspresi yang sama denganku sekarang—kagum.
Aku tidak pernah menyangka kalau di belakang pembuatan majalah akan ada hal seperti ini, tidak membosankan. Tim Edit majalah memang luar biasa, dan aku beruntung bisa berada dalam lingkaran mereka hari ini. Lebih beruntung karena teman-teman baikku juga mau bekerja di tempat yang sama.
“Si Karyawan Baru?”
Mendengar suara dari belakangku spontan aku tersentak kaget. Kurasa aku terlalu banyak melamun beberapa hari ini, hingga tidak memerhatikan kalau ada orang di sekitarku.
“Maaf, kaget ya?” kata pria berpostur tinggi dengan pakaian lebih kasual dengan jaket tebalnya, dari suaranya kurasa ia orang yang bertanya sebelumnya.
“Maaf, berdiri di pintu. Saya Ayuni, Reviser baru Tim Redaksi di sini,” kataku canggung memerkenalkan diri. Yakin kalau pria jangkung itu merupakan salah satu karyawan perusahaan ini juga. Dan Name Tag yang menggantung di lehernya membuktikan dugaanku benar.
“Saya Dini, anggota Tim Layanan Khusus baru,” ujar Dini yang juga ikut memerkenalkan diri, sama sepertiku sepertinya ia sadar kalau pria di hadapan kami ini merupakan karyawan sini.
“Saya Rini, anggota Tim Publish yang baru.” Rini juga tidak mau ketinggalan untuk memerkenalkan dirinya juga.
“Jadi bener, kalian si karyawan baru itu. Kukira cowok, ternyata cewek, nggak jadi ngerjain deh,” ujarnya dengan nada akrab. “Saya Andre Gunawan, Tim Redaksi. Kayaknya kita bakal sering kerjasama, Ayuni,” sambungnya seraya mengedipkan mata kepadaku.
Aku hanya sanggup mengangguk-anggukan kepala canggung, dan tak lupa senyum agar terlihat sopan walau tidak tahu harus bicara apa. Kebiasaan mutlak ketika baru pertama kali bertemu dengan orang asing, bungkam.
Andre mengenalkanku bersama Rini dan Dini kepada semua orang yang ada di ruangan ketika dirasa semua karyawan sudah datang. Hal yang benar-benar tidak kusuka, menjadi pusat perhatian dan bicara dengan orang-orang tak kukenal. Kecanggungan dan perasaan gugupku menguar begitu saja dalam situasi seperti ini. Bukannya tidak menyukai orang-orangnya, tapi aku selalu gugup dan kehilangan kata-kata setiap kali harus berhadapan dengan orang baru apalagi dalam jumlah banyak sekaligus. Mati kutu sudah.
Semua menyambut ramah kedatangan kami, memberikan arahan dan petunjuk selama akan bekerja di sini. Beberapa mengatakan akan siap membantu jika dibutuhkan, mengingat pekerjaan ini akan memakan banyak tenaga dan juga waktu. Dengan ini satu tahap menakutkan untukku sudah terlewatkan, hanya tinggal hal terakhir.
“Oh, Bos?!” seru Bobby salah satu anggota Tim Redaksi yang seusia denganku, memberitahu kalau ruangan kedatangan sosok penting.
Itu dia masalah utamanya. Sang Atasan.
Mataku mengikuti arah pandang Bobby, melihat sosok yang barusan ia panggil Bos, yang sudah pasti adalah atasanku juga.
Pria tinggi—lebih tinggi dari Andre—dengan balutan semi formalnya ia melangkah masuk ke dalam ruangan. Wajah yang tampak serius seakan menambah kesan wibawa sosoknya sebagai atasan. Kacamata berbingkai sepertinya adalah hal yang pertama kali menarik perhatianku dari pria itu, menyamarkan lingkaran hitam yang terlihat jika diperhatikan. Wajah tirusnya membuatku menebak kalau ia masih cukup muda, mungkin sekitar dua puluh lima tahunan atau dua tahun lebih tua dari itu—entahlah.
Langkahnya terhenti ketika melihatku dan juga dua temanku sebagai wajah asing dalam ruangan. Mencoba menebak kalau kami adalah karyawan baru. Namun, seketika aku tersentak kaget ketika mata kami berdua bertemu. Bisa terlihat kalau ada sirat penasaran yang kuduga karena wajah asingku. Namun aku bersumpah walau sekilas aku yakin sekali kalau ia menatapku dingin, amat sangat dingin. Ada kilatan marah saat ia melihatku, namun hal itu hanya sebentar sebelum ia kembali memasang wajah tenang.
Pria itu berjalan ke arahku dengan pandangan yang tidak sekali pun ia palingkan dariku, seakan menahanku agar tidak beranjak dari tempatku berdiri. Entah kenapa melihatnya seperti itu membuatku takut sekaligus gugup. Padahal bukan hanya aku yang menjadi karyawan baru di sini, namun pandangannya selalu jatuh padaku.
“Karyawan baru?” tanyanya saat ia berada di hadapanku dan dua temanku yang juga terlihat gugup akan kedatangan sang atasan.
Kuanggukan kepalaku. "Iya."
“Kalian berdua pergi ke tempat kalian, untuk Ketua Tim dari mereka tolong berikan arahan apa yang harus mereka kerjakan,” perintahnya menunjuk Dini dan Rini, sebelum akhirnya melihat ke arahku. “Kamu ikut saya ke ruangan.”
Belum sempat membalas ucapannya, ia sudah beranjak menuju ruangan berpintu kaca seperti di pintu masuk. Auranya benar-benar dingin dan menakutkan. Setiap kali melihatku seakan ia ingin menelanku hidup-hidup.
Oh, kenapa harus aku saja yang masuk ke ruangannya? Benar-benar tidak adil, belum-belum aku sudah gugup dan takut untuk ke sana. Rasanya jantungku seperti mau meledak saking takutnya dengan kehadiran orang yang menjadi atasanku ini.
“Itu Bos Juna. Manager yang punya kuasa penuh di sini, jangan sampe buat dia marah, ya,” ucap Mbak Dewi yang juga berada satu Tim denganku. Entah kenapa ucapannya terdengar seperti ultimatum menakutkan hingga membuat rasa takutku bertambah.
Buru-buru aku mengikuti Bos Juna, tidak ingin ia marah karena aku tidak bergerak cepat atas perintahnya. Pintu kaca dengan lapisan tak tembus pandang dari luar namun dapat melihat ke luar ruangan dari dalam, benar-benar terlihat seperti layaknya ruangan atasan. Hanya saja ruangan itu terasa sama menakutkannya seperti ruangan atasan pada umumnya, menegangkan.
Begitu masuk, bisa kurasakan pandangan menusuk dari atasanku itu. Kilatan amarah yang sebelumnya kulihat ketika pertama kali kontak mata dengannya beberapa saat lalu kembali hadir dan kali ini lebih lama. Hal itu membuatku tidak bisa berkata apapun, hanya berdiri mematung menunggu untuk Bos Juna bicara.
Tanpa mengatakan apa-apa, Bos Juna mengambil tumpukan kertas yang menggunung di atas mejanya. Dalam hitungan detik tumpukan kertas itu sudah berpindah tempat ke tanganku, berat, dan membuatku nyaris terjengkang ke belakang jika saja aku tidak menahan tubuhku yang limbung.
“Revisi semua artikel ini, cari setiap kesalahan baik itu salah ketikan, kalimat, kata yang tidak dibutuhkan dan sebagainya. Saya rasa kamu tahu apa yang harus kamu kerjain,” titahnya tanpa ampun. “Untuk saat ini kamu belum bisa melakukan tugas lapangan untuk mencari artikel, jadi revisi semuanya.”
Wah. Dia benar-benar atasan berhati dingin, langsung memberikan pekerjaan di hari pertama dalam jumlah banyak.
“Dan selesaikan sebelum jam makan siang,” sambungnya,
Ingin rasanya aku berkata kasar ketika mendengar hal itu. Pekerjaan yang biasanya dapat terselesaikan paling tidak seharian, kini harus kuselesaikan hanya kurang dari empat jam. Luar biasa.
“Baik, Pak,” sahutku setengah bersemangat. Ingin menolak tapi apalah daya, aku baru saja masuk kerja dan belum ada satu jam menginjakan kaki di tempat ini. Tentu tidak berani melawan atasan di hari pertama kerja, kan.
“Jangan panggil saya dengan sebutan itu, saya belum setua itu," celetuknya tidak senang.
“Bos?” Seolah ada pilihan lain saja, tidak mungkin aku memanggilnya dengan namanya.
“Oke. Kalau gitu tunggu apa lagi, segera kerjakan,” perintahnya dengan tegas dan nada yang lebih dingin dibandingkan dengan es di kutub utara.
“Ya, Bos.”
Dengan cepat aku langsung beranjak dari ruangan. Sayangnya, bagaimana aku bisa membuka pintu kaca di depanku ini dengan tumpukan kertas yang sudah memenuhi kedua tanganku. Tidak mungkin pintu akan terbuka sendiri.
Dan saat aku bertarung dengan pikiranku, saat itu juga sebuah tangan terulur, membuka pintu di depanku. Pertolongan yang kubutuhkan.
Namun, sepertinya ekspetasiku terlalu tinggi.
Apakah aku transparan? Apakah aku jadi tidak terlihat karena tumpukan kertas di tanganku ini? Bagaimana mungkin pria itu seolah tidak melihatku, aku sedang kesulitan di sini. Dan dengan santainya ia membuka pintu hanya untuk dirinya, membiarkanku mematung padahal tanganku sudah mulai keram akan kertas pemberiannya.
Terkutuklah Bos satu itu.
Beruntung karena sepertinya Andre menyadari kalau terjadi sesuatu padaku saat aku tidak keluar juga dari ruangan itu. Dengan berbaik hati ia membawakan sebagian tumpukan kertas itu setelah ia membuka pintu dan memberiku jalan. Aku sungguh berterima kasih padanya. Ingatkan aku untuk mentraktirnya kapan-kapan.
Dan aku mulai melakukan pekerjaanku yang luar biasa gila.
Layaknya sebuah mesin, mata dan tanganku bergerak amat cepat, berusaha seimbang agar aku tidak melakukan kesalahan. Kata demi kata kuperhatikan, melihatnya dengan teliti padahal hidupku saja tidak pernah kuperhatikan sedetail itu.
Rasanya aku ingin muntah ketika berhasil menyelesaikan pekerjaanku tepat waktu, sebelum makan siang.
Namun nerakaku sepertinya belum berakhir.
Tanpa basa-basi, Bos Juna kembali menambah pekerjaanku hanya kurang dari lima menit aku menyelesaikan pekerjaanku. Ia memberikan tumpukan artikel yang harus di revisi kembali, dan menyuruhku memberikan berkas yang sudah kurevisi ke ruangannya.
“Wah, aku nggak nyangka kalau Bos Juna bakal sekejam itu sama anak baru,” komentar Andre yang beringsut mendekati mejaku dengan kursi berodanya. “Apa jangan-jangan lo buat salah pas disuruh masuk ke ruangannya pagi tadi?”
Aku menghela napas panjang. “Boro-boro mau buat salah, baru masuk Bos udah ngasih kertas-kertas itu tanpa basa-basi cuma bilang harus selesai sebelum isthirahat.”
“Mau dibantu?” tanyanya.
“Boleh,” sahutku langsung dengan wajah sumringah ke arah Andre.
“Tunggu kerjaan gue selesai dulu," katanya.
“Memang kapan selesainya?” kau bertanya heran.
“Besok.”
What the f**k.
Dengan kesal aku memelotoinya, berharap ia akan takut dengan tatapanku itu. Tapi rupanya tidak. Ia justru tertawa senang karena bisa menjahiliku.
Aku langsung mengalihkan pandanganku darinya dan melanjutkan pekerjaanku, menenggelamkan amarah akibat keusilan dari rekan kerjaku. Sepertinya keberuntungan dua temanku—Dini dan Rini—jauh lebih baik dibandingkanku sekarang, setidaknya pekerjaan mereka tidak sebanyak yang kulakukan.
Aku hanya bertanya-tanya, kenapa Bos Juna terlihat membenciku? Padahal aku sangat yakin kalau ini adalah pertemuan pertamaku dengannya.
Setelah tenggelam dalam tumpukan pekerjaan tak masuk akal itu, akhirnya waktu istirhat datang. Hal yang sangat kuharapkan sejak tadi. Karena mungkin setengah jam saja lebih lama tidak istirahat, aku akan pingsan karena muak dengan tumpukan kertas itu.
Rasanya menikmati udara luar setelah seharian berada di ruangan ber-AC sungguh menyenangkan, seakan rasa lelah berkurang dengan melihat kehidupan di luar gedung.
Setelah makan siang dengan dua teman baikku itu, aku permisi sebentar untuk ke luar gedung. Mencari udara segar demi memulihkan pikiran akibat berkas-berkas yang terasa tak ada habisnya tadi. Walaupun begitu aku senang karena setidaknya orang-orang dalam divisiku merupakan orang yang terbuka dan ramah, terutama adanya Andre dengan segala keusilannya membuat suasana menjadi tidak membosankan. Pria itu entah bagaimana bisa bersikap seenaknya, bahkan bicara informal padaku layaknya teman dekat.
Sepanjang menuju ke ruangan kerja, kepalaku terus memikirkan banyak hal. Ternyata ada begitu banyak yang ingin kucapai, tapi sepertinya aku harus menunggu lebih lama untuk dapat meraihnya. Tak masalah, toh aku ahli jika harus bersabar.
Pikiran singkatku sepertinya harus berakhir ketika aku melihat Bos Juna bersama seorang wanita di lorong ruangan Tim Editing. Wajahnya tampak serius sedangkan sang wanita terlihat meremehkan. Mungkinkah pacaranya? Cantik. Seperti model yang kulihat di majalah-majalah yang ditangani oleh tim baruku hari ini.
Aku tidak tahu sejak kapan langkahku berhenti, seolah takut aku akan mendengar hal yang tidak boleh kudengar jika mendekat—padahal pintu ke ruanganku bekerja berada beberapa meter di depan sana.
Aku tersentak kaget ketika mataku dan Bos Juna lagi-lagi bertemu, dan sama seperti pagi tadi ia juga melangkah ke arahku. Namun, tatapannya kali ini berbeda. Tapi, aku tidak tahu apa yang ia pikirkan kali ini.
Mataku melebar, jantungku berdetak sangat kencang saat kudapati sepasang tangan melingkari tubuhku. Bos juna memelukku erat.
“Juna, apa yang kamu lakuin sebenernya?” Wanita yang bicara dengan Bos Juna tadi melangkah ke arah kami dengan cepat. Ekspresinya marah dan tidak suka.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa tiba-tiba Bos Juna memelukku.
Argh! Aku sungguh tidak bisa berpikir jernih sekarang. Ini pertama kalinya aku mendapatkan perlakuan tidak masuk akal seperti ini. Oh Tuhan, aku harap aku sedang berdelusi karena terlalu lelah merevisi tadi.
“Aku mencarimu sejak tadi, kamu kemana aja, Sayang,” kata Bos Juna saat ia melepaskan pelukannya.
Apa?! Ia bilang apa barusan?! Apa telingaku kemasukan air saat mandi pagi tadi sampai-sampai aku salah mendengar?
“Seharusnya kamu bilang kalau kamu mau makan siang. Apa kamu masih marah karena pagi tadi?” ujar Bos Juna. “Aku nyariin kamu loh dari tadi,” sambungnya seraya mengelus kepalaku.
Oke, aku benar-benar tidak mengerti seribu persen apa yang terjadi.
“Siapa dia, Juna?” tanya wanita cantik yang sekarang sudah berhadapan denganku dan juga Bos Juna.
Sebuah senyum penuh kebanggaan sekaligus meremehkan terpasang di wajah yang sebelumnya selalu kulihat menampakkan tampang dingin bak es. Dengan santai ia merangkul pundakku, memersempit jarakku dengannya dan membuatku gelagapan.
“Kenalkan dia Ayuni, calon istriku,” katanya tanpa keraguan sedikit pun.
“Hah?!” responku, terlalu terkejut mendengar ucapan gila dari mulut atasanku ini.
Aku berani bertaruh apapun demi bisa keluar dari situasi ini. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan aku tidak nyaman dengan jarak yang dibuat oleh Bos Juna. Dan apa-apaan dengan calon istri, padahal pagi tadi ia memerlakukanku seolah tidak terlihat. Bos berhati besi, arogan, tidak berperikemanusiaan, menyebalkan, mengatakan hal gila itu. Apa dunia memang sudah ridak waras?
Kesanku hanya satu mengenai atasanku ini, dia sinting.