Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 8 Tinggal Bersama
“Saya malas kalau harus mengatakan yang dua kali.”
Inara menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. Argha selain dingin, ternyata misterius. Kemudian, pikiran mengenai keabnormalan pria itu kembali terngiang. “Em, Pak … apa itu penting?”
Cit
Argha mengerem mendadak mobilnya. “Berapa berat otak kamu?
Mata Inara mengerjab-erjab. “Sa-sa—“
“Satu ons? Bodoh! Orang tua saya juga butuh cucu!”
Mata Inara mendelik. “Cucu?”
“Ya kamu pikir, tujuan nikah itu apa? Atqu jangan-jangan ….” Argha mendekatkan tubuhnya, membuat Inara mundur, punggungnya mentok pada jendela mobil.
Tin tin tin
Suara klakson yang berisik, membuat perdebatan keduanya berhenti. Argha mengendurkan ikatan dasinya yang seakan mencekik. “Gara-gara kamu, tuh.”
“Kok saya?”
Argha mendengkus. Ia mulai menjalankan lagi mobilnya. Terkadang, berbicara dengan Inara memang sedikit membuatnya emosi. Beruntung ia masih memiliki misi pada gadis bodoh ini, kalau tidak mungkin akan meninggalkannya begitu saja.
Sampai di basement, Argha langsung melepas sabuk pengamannya. Ia menoleh pada Inara yang sejak tadi diam saja.
“Huft! Ternyata dia malah tidur.” Argha beringsut mendekat, berniat untuk membangunkan gadis itu. Ditoelnya lengan Inara dengan jari telunjuk.
“Nara, bangun. Sudah sampai.”
Inara masih dalam posisi ternyamannya, hanya gumaman kecil sebagai respon, namun tak membuka sedikitpun matanya. Argha mengguncang gadis itu lagi. “Nara!”
Inara masih tak bergerak. Argha memijat keningnya sendiri. Ide cemerlang tiba-tiba melintas di otaknya. Ia berniat untuk meneriaki telinga Inara. Namun, baru saja ia mendekatkan wajahnya, wajah cantik Inara justru membuatnya membeku.
Argha justru menelusuri wajah cantik Inara. Bulu mata yang lentik, hidung kecil dan bibir tipisnya yang menggoda. Terlebih, tahi lalat kecil di bawah bibir.
Gluk
Argha seakan disengat oleh listrik, sekujur tubuhnya terasa sangat panas. Tangan kanannya bergetar, entah sadar atau tidak, tangannya bergerak menyibak poni Inara ke belakang telinga.
Bibir ranum itu membuatnya sangat penasaran. Ibu jarinya meraba dengan lembut. Argha semakin kesulitan menelan ludah. Bahkan, kini napasnya menderu. Spontan, ia mendekatkan wajahnya, di saat itu juga Inara membuka mata lebarnya. Keduanya sama-sama terkejut.
Buru-buru Argha menjauhkan wajahnya, berpaling untuk menyembunyikan kegugupannya itu.
“Bapak mau ngapain?”
“Geer! Saya mau bangunin kamu. tadinya mau teriak, malah keburu buka mata.” Argha mengendurkan ikatan dasinya, bahkan membuka satu kancing kemejanya yang sekanan terasa sangat mencekik.
Inara mengedarkan pandangannya. Menatap gedung pencakar langit di depannya itu. “Ini di mana?”
“Turun,” titah Argha yang mengabaikan pertanyaan Inara.
Inara mengerucutkan bibir. Argha memang sangat menyebalkan. Namun, ia tetap patuh pada atasannya itu.
Argha kembali menekan tombol lock, lantas menghampiri Inara dan mengulurkan tangannya.
“Kenapa, Pak?” Inara bingung saat melihat uluran tangan Argha.
“Buruan! Kamu lama!” Argha meraih tangan Inara. Mengajak gadis itu menuju ke lift khusus. Argha sendiri mengeluarkan sebuah kartu. Menempelkan kartu tersebut pada sensor. Seketika pintunya terbuka.
Dalam hati, Inara masih penasaran dengan apa yang akan diperbuat oleh atasannya itu. Namun, seperti yang sudah-sudah, bertanya pun tidak akan ada gunanya.
Dari nomor yang Argha tekan, Inara sudah tahu kalau lantai 21 adalah lantai paling atas di gedung ini. Ia bukanlah gadis bodoh, yang tak tahu. Tidak sembarangan orang bisa tinggal di penthose seharga miliaran itu.
Hanya saja, Inara bingung, kenapa Argha mengajaknya ke tempat ini. Mungkinkah pria itu mengajaknya untuk menemui seseorang?
Tak lama, mereka telah sampai. Inara juga mati-matian menahan pipis, jalannya sudah tidak nyaman. Hal itu dirasa oleh Argha yang berjalan di sebelahnya.
“Kamu kenapa?”
Inara meringis, menunjukkan deretan giginya yang rata. “Kebelet pipis, Pak.”
Argha geleng-geleng kepala. Ia membantu Inara untuk menuntun gadis itu, menempelkan kartu aksesnya pada sensor di daun pintu.
Argha membuka pintunya lebar-lebar, mata Inara mendelik dengan mulut yang ternganga.
Begitu cantik bisa melihat pemandangan indah yang menakjubkan. Tak hanya itu, perabot yang modern dan mahal itu membuat Inara sampai geleng-geleng kepala. Bahkan, ia sama sekali tak pernah membayangkan untuk menginjakkan kakinya di penthouse semewah ini.
“Toilet ada di sebelah sana,” tunjuk Argha membuat Inara mengerjab beberapa kali.
“To-toilet?”
Argha menghela napas panjang. Selain bodoh dan telat mikir, Inara adalah gadis yang pelupa. “Katanya kamu—“
“Iya. Makasih, Pak.” Sambil meringis menggeret kakinya yang sakit, Inara langsung pergi ke toilet.
Argha sendiri menutup pintunya. Tak hanya itu, ia langsung menuju ke mini barnya. Mengambil botol anggur dan menuangkannya ke dalam gelas. Menyesapnya secara perlahan, lantas, menggoyang-goyangkan gelasnya.
“Hah! Lega,” kata Inara setelah keluar dari toilet. Gadis berbibir tipis itu menghampiri Argha yang duduk dengan santai di mini bar.
“Pak Argha.”
Argha menoleh, ekpresinya masih tetap sama, tak terbaca. Ia menunjuk bangku dengan dagunya. Dan Inara turut duduk di sana.
“Mau minum?” tawar Argha yang kemudian dijawab gelengan oleh Inara. Ia tersenyum tipis. Inara tidak menyukai minuman yang ia tawarkan. Ya, tentu belum terbiasa.
“Pak, apa ini penthouse milik Bapak?” Inara mengedarkan pandangannya pada penjuru ruangan.
Argha mengangguk. “Siapa lagi?”
Inara memutar bola matanya. “Maksud saya, kenapa Anda membawa saya ke sini?”
“Buat kamu tinggali.” Mata Inara mendelik. “Biasa aja ngeliatinnya.” Argha turun dari kursi. Ia berjalan menuju kulkas, mencari sesuatu di dalam sana. Tentu, sambil menggulung lengan kemejanya sampai siku. Mengeluarkan daging, telur, beberapa buah dan sayuran.
Inara yang masih bingung pun menghampiri Argha. “Ke-kenapa Bapak meminta saya tinggal di sini?”
“Sebagai jaminan. Supaya kamu tidak lari. Jadi, kapanpun saya mau bertemu dengan kamu, itu mudah.”
Inara masih tidak habis pikir, bagaimana jalan pikiran atasannnya itu. “Saya tidak akan lari. Kaki saya—“
“Bodoh!”
“Tapi kenapa Anda justru percaya—“
“Kamu enggak suka tinggal di tempat ini?”
Kalau ditanya suka atau tidak, jelas Inara sangat menyukai tempat ini. Ini adalah impian semua wanita. Hanya saja, ia menjadi waswas pada Argha. Mungkinkah pria ini murni bersikap baik, atau mungkin memiliki maksud lain?
“Gak usah geer! Saya enggak akan ngapa-ngapain kamu.” kata Argha yang seolah tahu dengan apa yang dipikirkan oleh Inara. Sebenarnya ia tidak tega melihat Inara dihujat sana-sini. Hanya saja, rasa gengsi yang begitu tinggi yang menutupi semuanya. Banyak kan, karyawati lain yang iri dengan Inara. Terlebih, tinggal di kostan itu tidak aman dari incaran Artha. Argha sudah memikirkan banyak hal.
“Jadi, saya tinggal di sini sendiri, Pak?”
“Siapa bilang?”
Inara mengerjab beberapa kali, gerakan mencuci sayuran terhenti. Argha juga menatapnya tajam.
“Saya juga tinggal di sini.”
“Apa?”
“Gak usah lebay gitu ekpresinya. Nanti juga kamu bakalan tinggal serumah sama saya.” Argha kembali mencuci sayuran dan daging.
Inara menggerutu. Berhadapan dengan Argha sebentar saja sudah membuatnya tertekan, bagaimana dengan tinggal bersama? Ah, ingin rasanya Inara kabur sekarang juga.
“Tolong ambilkan piring.”
Inara mengangkat dagu. Argha yang tak sabaran, menghela napas panjang. Ia mengambil sendiri piringnya, tentu sambil melirik judes Inara.
“Pak, Anda sedang apa?” Inara maju beberapa langkah.
“Fitnes,” jawab Argha sekenanya. Inara Mengerucutkan bibirnya. “Sudah tahu saya mau masak.”
“Memangnya Anda bisa masak?”
Argha tersenyum tipis. “Kalau begitu, silakan kamu duduk di sana, nonton TV, kek atau apapun. Jangan ganggu saya.”
Benarkah yang Inara dengar barusan? Argha mengusirnya untuk bersantai dan membiarkan Argha untuk masak sendiri?
“P-pak, apa gak sebaiknya saya saja yang masak?”
“Gak perlu. Kakimu sedang sakit. Duduk saja di sana, jangan banyak nanya. Kalau mau tidur, kamar kamu sebelah sana,” tunjuk Argha dan Inara masih terbengong. “Tunggu apa lagi?”
“I-iya, Pak.”
Argha mengedikkan bahu. Sekali gertakan saja sudah mampu membuat Inara menurut. Meski terlihat polos dan bodoh, Inara tetaplah gadis baik dan penurut. Tanpa ia sadari, Argha telah tersenyum.