Bukan salah Anggun jika terlahir sebagai putri kedua di sebuah keluarga sederhana. Berbagai lika-liku kehidupan, harus gadis SMA itu hadapi dengan mandiri, tatkala tanpa sengaja ia harus berada di situasi dimana kakaknya adalah harta terbesar bagi keluarga, dan adik kembar yang harus disayanginya juga.
"Hari ini kamu minum susunya sedikit aja, ya. Kasihan Kakakmu lagi ujian, sedang Adikmu harus banyak minum susu," kata sang Ibu sambil menyodorkan gelas paling kecil pada Anggun.
"Iya, Ibu, gak apa-apa."
Ketidakadilan yang diterima Anggun tak hanya sampai situ, ia juga harus menggantikan posisi sang kakak sebagai terdakwa pelaku pencurian dan perebut suami orang, berbagai tuduhan miring dan pandangan buruk, memaksa anggun membuktikan dirinya Hebat.
Mampukah Anggun bertahan dengan semua ketidakadilan keluarganya?
Adakah nasib baik yang akan mendatangi dan mengijinkan ia bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#TIGA PULUH DUA
Bu Anik begitu menyayangi Anggun meski pun mereka tak memiliki ikatan saudara. Dengan sukarela, ia mengajak Anggun untuk ke rumahnya, menjaga dan melindunginya selayaknya putrinya sendiri.
Bukan tanpa sebab, semua dilakukannya karena Anggun juga anak yang baik dan ramah, Bu Anik yang hanya tinggal berdua dengan sang suaminya, sering kali meminta Anggun untuk menjaga Pak Akbar, yang terbaring lemah karena penyakit stroke yang telah dideritanya sejak dua tahun belakangan.
.......🌾
“Nggun, tolong temani suamiku sebentar ya, Bude mau ambil resep obat dulu ke rumah sakit,” pinta bu Anik suatu sore.
“Iya Bude, tunggu sebentar, aku sambil ngerjain tugas ya,” sahut Anggun sopan tanpa banyak alasan.
“Seandainya putriku masih hidup, pasti sekarang seusia kamu, Nggun. Terimakasih kamu sering datang ke rumah kosong ini, membuat kami merasa seperti memiliki putri lagi,” ucap Pak Akbar entah yang keberapa kali.
“Sama-sama Pakde, Anggun juga senang karena kalian sangat baik padaku, Pakde bahkan sering mengajari aku belajar,” hibur Anggun seraya duduk di bangku dekat ranjang pak Akbar yang terbaring.
“Kamu anak yang cerdas dan sangat berbakti, pasti kamu akan jadi anak sukses kelak, jangan menyerah ya Nduk.” Pak Akbar menghela napas dalam lalu menerawang menatap langit-langit rumahnya yang selalu bersih.
“Amin, Pakde. Nanti kalau sudah sehat lagi, Pakde Akbar buka les privat aja, nanti aku yang promosi ke teman-temanku, rumus-rumus singkat dan cara Pakde mengajar itu mudah dimengerti, pasti nanti punya banyak murid,” celetuk Anggun spontan.
“Wah, ide bagus ya, kamu boleh jadi asisten dan Budemu jadi CEO-nya, aku pengajarnya. Kolaborasi yang pas itu ya. Hahaha ….”
Kelakar dan canda tawa renyah menjadi penghangat suasana di rumah itu setiap kali Anggun datang.
Namun Takdir Tuhan berkata lain, pak Akbar tutup usia beberapa bulan setelahnya bahkan sebelum sempat merealisasikan rencana setengah gurauan itu. Tinggalah Bu Anik sendiri yang terkadang ditemani Anggun.
.........🌾
Itulah sebabnya ketika melihat Anggun difitnah seseorang secara kejam, bu Anik tetap membela dan percaya bahwa Anggun tidak melakukan tuduhan itu.
“Bude percaya kamu gadis baik yang tidak akan melakukan hal sekotor itu, Nggun. Bude nggak tahu apa yang dipikirkan ibumu, sampai dia dengan mudah percaya pada bukti foto yang tak jelas itu.”
Bu Anik mengelus punggung Anggun yang meringkuk di sofa di rumah Bu Anik. Air mata tak bisa terhenti dengan mudah, Anggun masih syok dan bingung dengan semua rentetan kejadian pagi itu. Hatinya begitu sakit, dan rasa takut kembali mengintai menghancurkan kesadarannya.
“Ta-tapi … apa salahku Bude … hiks … hiks … a-aku ….” keluh Anggun tercekat oleh isak yang menyakitkan.
“Kamu nggak salah Nggun, bude percaya kamu tidak se-kotor itu. Bude harap kamu jangan menyerah, kamu harus berani melawan, tunjukkan dan katakan dengan lantang bahwa bukan tidak melakukan semua yang mereka tuduhkan.”
Suara Bu Anik bergetar, ia pun tak kuasa menahan rasa iba, kembali dipeluknya tubuh Anggun yang basah oleh keringat.
“Aku bingung Bude … aku nggak tahu harus gimana … uhuhuhu ….” Anggun masih tak bisa menghentikan tangisnya. “Apa keluargaku sangat membenciku? Kenapa semua orang jahat padaku? Hiks … hiks ….”
“Tidak Nggun, jangan bicara aseperti itu … masih ada Bude yang menyayangimu, percayalah ini semua hanya salah paham, beranilah melawan, Bude akan mendukungmu.”
“Tapi ini sangat menyakitkan Bude … aku takut … aku tidak tahu bagaimana harus memberi tahu … bukan … bukan aku yang melakukan itu ….”
“Ya Tuhan … ini pasti berat, tuduhan buruk serta pandangan buruk yang tertuju padanya, kuatkanlah anak ini ya Tuhan.” pekik Bu Ani dalam hati, masih sambil memeluk Anggun dan mengelus kepalanya.
“Aku tak pernah mengerti kenapa Ibuku dan mbak Lia seakan tak menginginkan aku ada, Bude … hiks … hiks …,” keluh Anggun diantara isaknya. “Apa salahnya aku lahir Bude? Aku tidak pernah meminta itu, tapi kenapa aku selalu harus tersisih Bude?”
Bu Anik menghela napas dalam, mendengar begitu pilu dan dalam sakit dan kecemasan Anggun, membuat hatinya terasa hancur.
Tak ada seorang anak yang meminta untuk dilahirkan, namun orang tua pun tak bisa disalahkan, karena Tuhan telah memberikan mereka kepercayaan, hanya saja semua dibutuhkan pengorbanan dan keteguhan hati untuk menerima dan melanjutkan tanggungjawab besar sebagai orang tua.
......🌾
Masa itu, kondisi keluarga pak Hendra tengah tak baik-baik saja, pasalnya pak Hendra baru saja mendapatkan surat pemutusan hubungan kerja secara sepihak dari perusahaan tempatnya bekerja.
Bu Anik yang terbiasa hidup mapan dan kecukupan, tak bisa menerima kenyataan suaminya yang tiba-tiba menjadi pengangguran.
“Apa ini? Mana cukup uang sejuta buat kebutuhan sebulan? Susu Aulia saja sudah makin naik harganya! Cari kerja sana! Luntang-lantung nggak jelas, kalau uang tabungan habis mau gimana nanti?!” Tak sekali dua kali Bu Maryani membentak suaminya dengan sinis.
Pak Hendra yang frustasi dan lelah karena lamaran kerjanya terus saja ditolak, ditambah dengan desakan dan Omelan sang istri, membuatnya sering pergi dari rumah.
“Masih sore Broo, udah nongkrong di sini aja!” seru seorang temannya saat pak Hendra muda mulai merambah nongkrong di sebuah mini bar.
“Pusing! Cari kerjaan jaman sekarang kalau nggak ada orang dalam susah!”
“Hahaha … bisa aja lu Ndra, terus ngapain nongkrong dimari? Pasti meloloskan diri dari orang rumah?”
“Iyalah, laki-laki pasti udah usaha nyari kerja, tapi mau gimana kalau belum dapet. Masa harus ngemis. Nggak kelas gue lah!” sahut pak Hendra yang mulai setengah mabuk.
“Hahaha … bener-bener Bro. Jangan mau diinjak-injak harga diri jadi lelaki!” timpal kawannya itu seraya menuangkan lagi segelas penuh minuman bening yang menyeruakkan bau khas yang sulit ditolak itu.
Tanpa di komando pun, Hendra menenggaknya dengan sekali tarikan napas, “Hahh!” getarnya kemudian meraih oksigen sekuat-kuatnya seraya meletakkan gelas itu dengan sedikit kasar ke meja.
“Hati-hati Mas, jangan terburu-buru, masih terlalu sore untuk kepanasan, sisakan sedikit untukku cicipi!” Sapaan lembut nan menggoda menghampiri Hendra di sebelahnya.
Hendra menoleh dengan lirikan tajam dan pandangan mulai tak jelas. Kepalanya telah basah sepenuhnya oleh keringat dan peluh karena berjalan kaki beberapa ratus meter sebelum akhirnya langkahnya berakhir di tempat itu.
“Kamu siapa? Wanita seksi?” ucapnya setengah teler.
“Aku adalah musafir perempuan yang kehausan di tengah lautan, bisakah tuan menawarkanku sedikit minuman penyemangat untuk perjalananku hari ini?” goda si wanita yang tak segan memamerkan kemolekan tubuhnya dibalik balutan minim berwarna hitam itu.
“Ah … apa aku sudah mabuk? Matahari belum juga sembunyi, tapi entah kenapa aku seperti bermimpi melihat bulan bersinar indah di sini,” ucap Hendra semakin ngelantur. “Ah! Sepertinya aku harus pulang sekarang, berapa bonku?”
“Jangan terlalu setia Bro! Hiburlah diri sendiri sejenak, aku tak akan melihat apapun!” ujar kawannya mulai menghasut.
“Apa maksudmu? Istriku tetap lebih cantik dari siapapun! Dia adalah bulan yang kumaksud, meskipun sering kali tiba-tiba berubah jadi angin topan, Hahaha …”
Hendra bangkit dari tempat duduknya setelah melunasi tagihannya, ia berusaha tetap berdiri tegak menuju ke pintu keluar mini bar yang jika dilihat dari luar hanya seperti hunian rumah sederhana.
BRUK!
Tubuh Hendra ambruk setengah sadar di lantai Bar, tepat di langkah terakhirnya hendak menggapai pintu keluar.
Dan entah sejak kapan, Hendra tak mengingatnya, tapi saat terbangun ia tak berada di kamarnya.
Ia berusaha mengingat, saat tubuhnya tak lagi terbalut sehelaipun kain, dan dua wanita berdiri di hadapannya.
“Kamu ….”
...****************...
To be continue....
ehh,,?
ups