Sebenarnya, cinta suamiku untuk siapa? Untuk aku, istri sahnya atau untuk wanita itu yang merupakan cinta pertamanya
-----
Jangan lupa tinggalkan like, komen dan juga vote, jika kalian suka ya.
dilarang plagiat!
happy reading, guys :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Little Rii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sedikit luapan amarah.
"Aku marah, namun aku tetap mencintaimu dengan segala luka yang kamu berikan."
---------
Sepulangnya Aryan dari menemani Diana, laki-laki itu dikagetkan dengan dokter yang baru saja keluar dari rumahnya.
"Bu imas, kenapa gak nelpon saya kalau dokter bakalan datang?" tanya Aryan kesal. Kalau sampai orang tuanya tau, dokter memeriksa Aira hari ini dan ia tak ada di rumah, bisa jadi ia akan ditendang nanti.
"Seharusnya bapak tau dong, kalau dokter hari ini bakalan datang. Kan sudah ada jadwalnya," sahut Bu Imas membuat Aryan menghela nafas.
"Saya lupa, bu. Kenapa gak diingatkan."
"Tadi pas bapak mau pergi saya mau ngingetin, tapi bapak malah buru-buru," jawab bu Imas. Aryan pun mengusap kasar wajahnya, lalu memilih masuk ke kamar.
Jangan sampai Aira mengadu ke orangtuanya, bisa kacau lagi nanti.
Sesampainya di kamar. Terlihat Aira tengah makan buah yang sudah di potong-potong kecil. Wanita itu menoleh ke arah Aryan sebentar, lalu kembali makan.
"Ini obat yang kemarin belum di beli. Kamu minum sesuai anjuran yang udah tertulis di situ," ucap Aryan meletakkan obat yang sudah ia belikan. Aira pun mengangguk, lalu lanjut makan.
Melihat istrinya tak bicara, Aryan memilih ke kamar mandi, untuk membasuh wajahnya. Hari ini benar-benar membuatnya pusing. Mulai dari kesehatan Aira, rengekan Diana dan tuduhan Ibra.
Bukan ia tak mau menyanggah tadi, tapi ia hanya tak mau mempekeruh suasana. Ibra itu tidak bisa di sanggah, karena jika disanggah, maka pembicaraan akan melebar kesana-kemari.
Selesai membasuh wajahnya, Aryan keluar dari kamar mandi, namun ia dikejutkan dengan istrinya yang sudah berdiri di depan pintu dan hendak muntah.
Apa ia kelamaan di kamar mandi? Tapi, kenapa Aira tidak mengetuk pintu tadi, kalau memang sedang darurat.
Aryan pun ikut masuk ke kamar mandi, lalu membantu memijit tengkuk istrinya. Ia membasahi tangannya, lalu kembali memijit pelan tengkuk Aira.
"Udah mendingan?" tanya Aryan pelan. Aira mengangguk, lalu lanjut berkumur-kumur.
Setelah itu, Aira pun keluar dari kamar mandi, diikuti Aryan. Aira lanjut minum obat, sedangkan Aryan pergi mengganti pakaiannya.
Saat Aira tengah membuka bungkus pil obat, notifikasi pesan terdengar dari ponselnya. Ia pun segera membuka pesan yang dikirimkan nomor baru.
*Foto.
Aira menatap lekat foto yang dikirimkan nomor asing tadi, dimana suaminya tengah berdiri menatap Diana dengan intens. Jadi, alasan suaminya ke luar adalah Diana. Semua alasan suaminya ke luar rumah adalah Diana.
Apa yang harus Aira lakukan sekarang, selain bersabar dan menahan sakit hati. Entah kenapa, hati ini mudah sekali mencintai, walau sudah dilukai berkali-kali.
"Kamu udah minum obatnya?" tanya Aryan menghampiri Aira, membuat wanita itu terkejut. Sangking fokusnya ia melamun mengenai foto itu, ia sampai tidak menyadari kedatangan Aryan.
Aryan pun melihat ke arah ponsel Aira yang menunjukkan fotonya bersama dengan Diana sewaktu di kampus.
"Siapa yang ngirim foto itu?" tanya Aryan dengan nada dingin. Aira langsung mematikan layar ponselnya lalu lanjut membuka bungkus pil yang akan ia minum.
"Kamu mata-matai saya!"
"Untuk apa?"
"Supaya kamu bisa ngadu ke mama, kalau saya ketemu Diana lagi."
"Kalau memang iya, kenapa? Mas mau apa sekarang? Bukannya mas sebagai laki-laki harus bertanggung jawab sama pernikahan ini. Kalau emang mas gak bisa lepasin mbak Diana, kenapa nikahin aku? Kenapa gak milih masuk penjara aja, kan gak lama, cuma beberapa tahun doang," kata Aira tanpa menatap Aryan yang berada di belakangnya. Ia tak melihat perubahan raut wajah suaminya.
Untuk saat ini, biarkan ia marah sebentar.
"Saya udah pernah bilang, kita hidup di dunia masing-masing, Aira!"
"Ya, kita hidup di dunia masing-masing, tapi, bukan berarti aku gak sakit hati ngeliat mas sama perempuan lain. Kenapa mas gak cerain aku aja, terus masuk penjara. Keluar penjara nanti, lanjut nikah sama mbak Diana. Toh dia cinta mas, jadi, dia pasti bakalan nerima mas apa adanya," sahut Aira dengan nafas yang tak beraturan. Kali ini, ia benar-benar akan meluapkan amarah yang sudah lama ia tahan.
Disaat ia sakit, hampir sekarat begini, suaminya asyik dengan wanita lain. Kenapa tak memberi kepastian saja, agar semuanya jelas.
Pilih Diana atau ia.
Tanpa menjawab apapun, Aryan memilih pergi meninggalkan Aira yang sedang menahan sesak di dada.
Suaminya tak lagi memberikan kepastian, seperti biasanya.
Di luar sana, Aryan menyugar rambutnya, sembari berjalan menuju ruang kerjanya. Sungguh, ia tidak ada niatan menikah kembali dan bercerai dengan Aira.
Ia memang terpaksa menikah dengan Aira, tapi bukan berarti ia mau bercerai. Ia selalu menanamkan sebuah prinsip di hidupnya, kalau ia hanya akan menikah satu kali seumur hidup, dengan siapapun itu.
Hanya saja, ia butuh waktu membuka hati lagi untuk Aira. Ia ingin belajar perlahan-lahan, namun kehadiran Diana tak bisa ia abaikan. Sulit baginya membuka hati, jika ia dan Diana masih terus berhubungan baik.
Ia tidak bisa menceraikan Aira, tapi tidak bisa juga mengabaikan Diana begitu saja.
"Ya Allah, kenapa rumit sekali."
Setelah sedikit perdebatan itu, Aira pun memilih menghubungi orang tuanya. Ia ingin menanyakan kabar mereka di sana, agar bisa sedikit melupakan amarahnya pada Aryan.
"Assalamualaikum," sapa Aira saat panggilan video terhubung. Terlihat di sana wajah adik laki-lakinya yang sepertinya sedang makan.
"Wa'alaikumussalam, kakak. Ayah gak ada di rumah, pergi ke kebun. Mamak di depan sana lagi cerita sama mamaknya si bambang," ujar adik laki-lakinya yang bernama Aldi.
"Oh, kirain ada di rumah."
"Gak ada."
"Yaudah deh, nanti aja."
"Oke." Setelah itu, Aira mengakhiri panggilan lalu meletakkan ponselnya di atas nakas.
Kalau dipikir-pikir, ia rindu suasana rumanya yang sederhana. Rumah yang awalnya sangat kecil, kini sudah lumayan besar karena di renovasi. Itu semua atas bantuan keluarga suaminya juga.
Itulah kenapa, orang tuanya selalu menanamkan nasihat kalau ia jangan sampai membuat suaminya atau kekuarga suaminya marah. Ia harus menjadi istri dan menantu yang baik, penurut dan juga penyayang.
Aira merasa bosan karena di kamar terus dan memilih keluar dari kamar. Inilah aktivitasnya yang sangat membosankan.
Saat hendak turun ke bawah, Aira berpaspasan dengan Aryan yang baru saja keluar dari ruang kerja. Aira pun melewati Aryan begitu saja, karena ia merasa akan menghalangi laki-laki itu lewat, jika ia terus berada di situ.
Malam harinya.
Aira sedang berada di balkon, sembari bicara dengan ayahnya.
"Baik-baik di sana, jangan melawan. Obat di minum, jangan menyusahkan. Kalau ada apa-apa, bilang ke rumah ya."
"Iya, Ayah." Setelah mengatakan itu, panggilan pun berakhir. Aira menghela nafas panjang, karena lagi-lagi ia dituntut untuk menjadi istri yang baik, padahal tidak diperlakukan dengan baik.
Tapi, orang tuanya juga tidak tau mengenai kelakuan Aryan. Yang mereka tau, Aryan itu laki-laki baik, pengertian dan juga dermawan.
"Saya mau ke luar sebentar, kalau ada apa-apa bilang ke bu Imas," seru Aryan dari arah belakang Aira.
"Semoga selamat di jalan," sahut Aira pelan, sembari tersenyum kecut. Pasti mau ketemu Diana lagi.
"Kamu mau ikut?" tanya Aryan membuat Aira tertegun. Apa suaminya mau mengajaknya melihat kemesraan mereka berdua?
"Kalau mau ikut, siap-siap. Jangan lupa pakai jaket, biar gak kedinginan. Saya tunggu di bawah," ujar Aryan lalu pergi meninggalkan Aira yang masih termenung, memikirkan ajakan Aryan.
Ia penasaran, kemana suaminya akan membawanya. Ini pertama kalinya ia diajak ke luar.
Aira pun bergegas mengganti pakaiannya, tak lupa ia juga mengambil jaket, jika nanti merasa kedinginan.
Setelah selesai berkemas, Aira langsung turun ke bawah.
"Udah siap," seru Aira mendekati Aryan yang berdiri di teras. Aryan menatap Aira sejenak, lalu berjalan ke arah mobilnya.
"Pakai jaketnya!" titah Aryan setelah mereka masuk ke mobil.
"Nanti kalau dingin, baru pakai jaket," sahut Aira sembari memeluk jaketnya. Aryan tak bersuara lagi dan langsung melajukan mobil.
Aira menatap senang lampu-lampu jalanan yang indah di malam hari. Ini adalah pertama kalinya ia keluar malam, bersama suaminya. Sebelumnya palingan karena membeli obat, kalau tidak ya karena pemeriksaan kesehatan mendadak bersama bu Imas.
Aira hendak menurunkan kaca mobil, agar ia bisa melihat lebih jelas pemandangan luar. Namun, suaminya malah menaikkan kembali kaca mobil dan menguncinya.
"Angin malam gak bagus buat kesehatan," ucap Aryan membuat Aira cemberut. Tidak apa-apa, ia akan menurut demi kebaikannya juga.
"Kita mau kemana?" tanya Aira penasaran. Ia masih mewanti-wanti kalau suaminya akan bertemu Diana dan ia akan menjadi saksi atas kemesraan mereka.
"Nanti juga kamu tau."
Tak mau banyak tanya lagi, Aira memilih diam saja sembari memperhatikan jalanan yang sangat indah di malam hari.
Beberapa menit kemudian, mobil tiba di depan sebuah cafe. Perasaan Aira semakin tak karuan, karena ia takut apa yang baru saja ia bayangkan, akan terjadi.
"Tunggu di sini ya, saya mau ngambil berkas ke dalam," seru Aryan membuat Aira langsung menoleh ke arahnya. "Atau kamu mau ikut ke dalam?"
Aira berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. Ia masih agak canggung kalau berjalan bersama suaminya di depan banyak orang.
Aryan pun bergegas masuk ke cafe, sedangkan Aira hanya memperhatikan dari mobil saja.
Ternyata teman Aryan itu laki-laki dan Aira masih bisa melihat interaksi mereka, karena posisi duduk temannya Aryan ada di pinggir. Cafe yang dindingnya menggunakan kaca, membuat Aira bisa melihat suaminya yang tengah berbincang dengan temannya.
Tak berselang lama, Aryan sudah kembali ke mobil, lalu meletakkan berkas yang dibawanya ke belakang.
Setelah itu, mobil pun melaju meninggalkan area cafe dan entah kemana tujuan selanjutnya. Aira hanya bisa ikut saja dan melihat.
Beberapa menit kemudian, mobil kembali berhenti di sebuah tempat yang Aira belum pernah kunjungi. Ada banyak pengunjung di sana dan ada beberapa cafe juga.
"Ayo turun," seru Aryan lalu turun dari mobil.
"Kita mau ngapain ke sini?" tanya Aira berjalan di samping Aryan. Suhu di sini sangat dingin dan ber-angin, suara bising ombak juga terdengar samar-samar, padahal mereka sedang tidak dipinggjr pantai.
"MasyaAllah, cantiknya. " Aira berseru senang saat melihat bintang-bintang di langit. Ternyata mereka berada di dataran tinggi, sedangkan di bawah sana ada lautan dengan banyaknya batu karang.
"Pakai jaket kamu, biar gak masuk angin," seru Aryan dan langsung diangguki oleh Aira. Aira memakai jaketnya, hingga menutupi telapak tangannya.
"Kira-kira bintangnya ngeliat kita gak ya," gumam Aira masih setia menatap bintang di langit.
"Entah," sahut Aryan pelan. Saat ia sedang ikut menatap bintang, ponselnya berbunyi dan ia tau siapa yang menghubunginya.
"Saya angkat telpon dulu," ujar Aryan dan langsung diangguki Aira.
Setelah menjauh dari Aira, barulah Aryan menerima panggilan dari Diana.
"Assalamualaikum, Iyan. Kamu dimana sekarang? Kata bu Imas, tadi kamu ke luar sama mbak Aira. Aku ke rumah kamu mau ngasih kue buatan mama, tapi kamu malah ke luar. "
"Wa'alaikumussalam, Na. Kasih aja kue-nya ke bu imas," jawab Aryan masih menatap Aira dari kejauhan.
"Kamu dimana sekarang? Aku nyusul ya."
"Aku lagi sama Aira, kamu pulang aja ya. Udah malem juga soalnya, " sahut Aryan pelan.
"Ck, kamu bener-bener berubah!"
Panggilan berakhir, Aryan pun memasukkan ponselnya ke saku celananya. Ia pergi ke salah satu Cafe untuk memesan minuman hangat dan juga makanan ringan untuknya dan Aira.
Saat sedang menunggu pesanan, ponselnya kembali berdering. Ia pun segera menerima panggilan dari Diana lagi.
"Iyan, ban mobil aku bocor. Ini gimana? Gak ada bengkel di dekat sini," ucap Diana sembari menangis.
"Kok bisa bocor?" tanya Aryan khawatir.
"Gak tau, tiba-tiba aja bocor. Tolongin aku, Iyan. Aku takut," jelas Diana masih dengan tangisannya. Aryan pun berpikir sejenak lalu menatap ke arah istrinya yang masih duduk di sana, sembari memperhatikan pemandangan.
Tiba-tiba ia menjadi ragu.
"Kamu tunggu di situ ya, Na. Kirim titik lokasi kamu.")
"Iya, Iyan, " sahut Diana terdengar senang, walau masih sesegukan.
"Aku bakalan nelpon asisten aku, Adrian, buat nolongin kamu. Pokoknya kamu tetap di mobil aja, sampai Adrian datang," lanjut Aryan sembari mengirimkan pesan ke asistennya yang bernama Adrian.
"Iyan, kenapa bukan kamu yang ke sini? Kalau asisten kamu nanti apa-apain aku gimana," rengek Diana kembali menangis. "Kamu tega biarin aku begini, sedangkan kamu senang-senang di sana sama mbak Aira!"
"Aku udah bilang ke Adrian dan dia lagi jalan ke lokasi kamu. Adrian orang baik, Na, orang kepercayaan aku."
"Iyan, aku maunya kamu yang datang!"
"Maaf, Na. Aku gak bisa ninggalin Aira. Aku tutup ya, Adrian bentar lagi nyampek ke lokasi kamu."
"Tega kamu, Iyan!"
"Maaf, Na."
-----
jangan lupa tinggalkan jejak anda jika suka :)
padahal bagus ini cerita nya
tapi sepi
apalagi di tempat kami di Kalimantan,
jadi harus kuat kuat iman,jangan suka melamun
ngk segitunya jgak kali
orang tuanya jgk ngk tegas sama anak malah ngikutin maunya anak
emak sama anak sama aja
si aryan pun ngk ada tegasnya
.