Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Siapa Tamu Itu?
"Aku berangkat kerja dulu, Sayang. Hari ini aku akan pulang awal. Masakkan makanan yang enak untukku," pesan Rudi. Ia memeluk Lina dan menciumnya sebelum pergi ke kantor.
Akhir-akhir ini keseharian Rudi kembali normal. Selalu pulang tepat waktu, sarapan bersama, sampai tidur bersama. Ia seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya merupakan suami yang penyayang.
Mungkin saja semua karena ucapan Rama waktu itu. Atau bisa jadi karena Lina sudah tahu kebiasaan aneh Rudi yang suka memakai pembalutnya.
Namun, sejak kejadian itu Lina seolah menjadi mati rasa. Ia tak lagi bergairah dengan suaminya. Ia malas untuk bermesraan. Ketika Rudi menunjukkan keromantisannya, Lina justru merasa canggung. Namun, ia tetap berpura-pura tersenyum. Lina merasa ada sesuatu yang Trian sembunyikan darinya.
Lina melirik ke rumah sebelah. Kebetulan ada Trian di luar rumah. Tampaknya lelaki itu juga akan berangkat ke kantor. Saat Trian menoleh ke arahnya, Lina langsung buru-buru berbalik dan masuk ke dalam rumah. Ia memang sudah memutuskan tidak akan bertemu dengan Trian lagi. Sudah sekitar satu bulan mereka saling tak menyapa.
Lina masuk kamar. Ponselnya berbunyi, ada telepon masuk dari adiknya.
"Halo, Rama, ada apa?" tanya Lina
"Kakak dimana?" tanya Rama dari seberang telepon.
"Ada di rumah, lah! Memangnya dimana lagi?"
"Hahaha ... Yah, siapa tahu Kakak sedang belanja atau kemana."
"Sudah, katakan saja, kamu mau bilang apa?" desak Lina.
"Aku ada tawaran dari teman untuk kerjasama buka kafe, Kak. Bagaimana menurutmu?"
"Kafe? Buka kafe sendiri? Bukan kerja di kafe?" tanya Lina memastikan. Tidak biasanya adiknya membahas tentang pekerjaan dengannya.
Rama selama kuliah juga disokong beasiswa. Meskipun masih ada jatah kiriman darinya, Rama tetap mengambil pekerjaan sampingan.
"Buka kafe sendiri, Kak. Jadi pemiliknya, bukan karyawan."
Lina tersenyum. Pikiran adiknya sepertinya semakin maju. Meskipun masih kuliah, sudah berpikir untuk membuka usaha.
"Kita ada 5 orang, niatnya mau patungan buat kafe bareng. Sudah dapat tempat juga, letaknya strategis. Aku ada tabungan sekitar 20 juta, Kak. Tapi masih kurang banyak. Apa Kakak bisa meminjami 80 juta? Itu kalau Kakak ada uang."
Lina agak syok dengan nominal yang adiknya minta. Ia kira hanya satu dua juta saja, tentunya ia tak akan memikirkannya.
"Aku pinjam kok, Kak ... Nanti aku kembalikan kalau sudah balik modal. Kakak ada kan, uang sebanyak itu?"
Lina masih terdiam. Tentunya ia ada uang. Tapi, ia tidak enak hati karena semua uang yang dimiliki merupakan hasil dari kerja keras Rudi.
"Coba nanti Kakak bicarakan dulu dengan Kak Rudi. Kalau boleh, akan aku transfer uangnya," ucap Lina.
"Yah, Kak ... Lama lagi kalau tanya Kak Rudi. Memangnya Kakak tidak punya tabungan pribadi?" desak Rama.
"Itu uang tidak sedikit, Rama. Kamu juga, kenapa buru-buru mau buka usaha? Bagaimana nanti dengan kuliahmu?"
"Tenang saja, Kak! Selama ini aku sambil kerja juga masih bisa membagi waktu. Kuliah lancar, beasiswaku aman."
"Coba kamu dipikir-pikir lagi. Buka usaha sendiri itu resikonya besar. Kalau Kakak sih lebih setuju kamu fokus saja dengan pendidikan dulu. Kalau buka usaha sekarang, fokusmu pasti akan terpecah. Apalagi mengurusi usaha milik sendiri itu lebih rumit."
"Aku kan tidak sendiri, Kak. Kami berlima usaha bareng. Kakak tenang saja."
"Ya sudah, pokoknya aku juga mau berunding dulu dengan Kak Rudi. Kamu tunggu saja nanti keputusannya."
***
Trian berdiri di depan cermin memperhatikan kerapian penampilannya. Ia menyemprotkan minyak wangi agar menambah rasa percaya diri. Seperti biasa, ia melihatan tampan.
Diraihnya tas kerja yang sudah siap di meja. Ia keluar dari kamar dan siap berangkat.
Di ruang tengah ada Dara yang masih mengenakan pakaian tidur dengan penampilan acak-acakan tengah menonton televisi. Sepertinya wanita itu hari ini juga malas berangkat kerja.
"Trian, kamu hari ini tidak masak sarapan?" tanya Dara si tuan putri yang tidak mau melakukan apa-apa. Kadang heran terhadap dirinya sendiri kok bisa selama ini tahan hidup dengan Dara.
"Aku tidak ada waktu memasak, mau makan di kantor saja. Kalau kamu lapar, ada mie instan di dapur. Masak sendiri," ucap Trian. Sebenarnya ia juga sengaja melakukannya. Ia ingin membuat Dara kelaparan dan kesulitan. Terlalu enak jika ia selalu membuatkan sarapan untuknya.
"Aku tidak bisa masak mie instan."
"Kalau begitu, beli!" jawab Trian dengan nada ketus. Ia cepat-cepat berlalu melewati ruang tengah menuju ke depan. Mengurusi Dara hanya akan membuang-buang waktunya yang berharga.
Di halaman depan rumah, ia menoleh ke sebelah. Ada Lina di sana. Sepertinya baru saja mengantar suaminya berangkat kerja. Tapi, hanya sebentar ia bisa melihatnya. Wanita itu langsung kembali masuk ke rumah.
Trian hanya bisa menghela napas. Ia sama sekali tak bisa menyapa Lina lagi. Wanita itu juga tak ada keinginan untuk menemuinya setelah apa yang mereka perbuat.
Tin tin
Terdengar suara klakson dari mobil yang tiba-tiba berhenti di depan rumahnya. Trian mencoba mendekati mobil tak familiar itu. Tidak biasanya ada mobil masuk ke komplek sana.
"Apa mungkin orang nyasar?" tebak Trian.
Ia berjalan mendekat ke arah mobil. Seseorang membuka kaca mobil sehingga dengan jelas Trian melihat seorang ibu-ibu berdandan ala sosialita duduk di bangku belakang sopir.
"Permisi, apa ini rumah Pak Rudi Ardian?" tanya si ibu.
Trian agak heran ada yang mencari rumah Lina. Rumah mereka memang hampir tidak pernah ada tamu yang datang.
"Rumah Pak Rudi ada di sebelah. Tapi, orangnya baru berangkat kerja. Mungkin kalau Ibu mau bertemu, bisa mendatangi kantornya atau kembali lagi nanti sore," jawab Trian.
"Oh, tidak apa-apa. Saya hanya ingin bertemu dengan istrinya," ucap si ibu itu.
Trian semakin heran. Kenapa orang yang mengenal Rudi justru ingin bertemu Lina. Ia takut ada sesuatu yang terjadi karena Lina hanya sendirian di rumah. Tapi, ia tak bisa ikut campur. Itu adalah urusan Lina. Lina akan marah kalau sampai tahu ia ikut campur.
"Kalau begitu, terima kasih informasinya. Saya mau ke depan dulu," ucap si ibu.
Pintu kaca mobil kembali tertutup. Mobil tersebut kembali berjalan. Tepat di depan rumah Lina, mobil itu kembali berhenti.
"Woy! Katanya mau berangkat kerja? Kenapa masih di sini?"
Suara seruan Dara membuat Trian terkejut. Ia sangat mengkhawatirkan Lina. Tapi, dia tak ada hak apapun untuk khawatir.
Trian menyerah. Ia memutuskan untuk tidak peduli urusan Lina. Ia masuk ke dalam mobilnya dan bersiap berangkat ke kantor. Di rumah juga tidak akan betah kalau ada Dara.