NovelToon NovelToon
Bunga Yang Layu Di Hati Sahabat

Bunga Yang Layu Di Hati Sahabat

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: icha14

Judul: Bunga yang Layu di Hati Sahabat


Sasa dan Caca adalah sahabat karib sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi impian, tawa, dan bahkan tangis. Sasa, yang dikenal lembut dan penuh kasih, melanjutkan hidupnya dengan menikahi Arman setelah menyelesaikan kuliah nya, pria yang selama ini menjadi cinta sejatinya. Sementara itu, Caca, yang masih berjuang menemukan cinta sejati, sering merasa kesepian di tengah gemerlap kehidupannya yang tampak sempurna dari luar.

Namun, retakan mulai muncul dalam hubungan persahabatan mereka ketika Caca diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Arman. Perselingkuhan ini dimulai dari pertemuan yang tak disengaja dan berkembang menjadi ikatan penuh godaan yang sulit dipadamkan. Di sisi lain, Sasa merasa ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tak pernah membayangkan bahwa sahabat yang paling dipercayainya adalah duri dalam rumah tangganya.

Ketika rahasia itu terungkap, Sasa harus menghadapi penghianatan...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon icha14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

surat tanpa nama

Tiga minggu. Tanpa terasa, waktu seolah berjalan begitu cepat sejak Arman pertama kali menjejakkan kaki di kota ini. Proyek yang ia tangani hampir rampung, dan seminggu lagi ia akan kembali ke kota asal, ke rumah yang selalu menantinya dengan kehangatan seorang istri bernama Sasa. Namun, setiap malam selama tiga minggu ini, pikirannya terusik oleh sosok lain—Caca.

Perasaan bercampur aduk membelenggu hatinya. Di satu sisi, ia bersyukur hubungan mereka tetap profesional. Caca tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mengenali Arman, meskipun mereka harus bertemu hampir setiap hari. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan. Sikap dingin Caca yang nyaris tanpa emosi justru membuat Arman semakin sulit melupakan masa lalu mereka.

Setiap kali mereka bertemu untuk urusan pekerjaan, hati Arman terasa seperti ditusuk ribuan jarum halus. Caca berbicara padanya dengan nada datar, tanpa sedikit pun meninggalkan ruang untuk percakapan di luar topik profesional. Di balik sorot matanya yang tenang, Arman bisa merasakan bahwa wanita itu telah berubah. Ia bukan lagi gadis muda yang dulu ia kenal—gadis yang selalu tersenyum ceria meski dunia di sekitarnya tidak selalu adil.

Bab: Malam-Malam Penuh Pertanyaan

Di rumah kontrakan yang ia sewa sementara selama proyek ini berlangsung, Arman sering menghabiskan malam dengan termenung di beranda. Angin malam membawa aroma tanah basah, mengingatkannya pada masa-masa sederhana di kampung halaman. Di atas meja kecil di depannya, secangkir kopi hangat menemani pikiran yang terus mengembara.

“Kenapa gue harus ketemu lagi sama dia, di tempat ini, di waktu ini?” gumamnya pelan.

Hidup terkadang seperti benang kusut. Ketika kita berpikir semuanya sudah selesai, ada saja simpul yang tiba-tiba muncul, menarik kita kembali ke bagian yang ingin kita lupakan. Arman tahu, bertemu dengan Caca adalah ujian yang tak pernah ia duga. Tapi bukankah hidup memang seringkali begitu? Memberikan pelajaran yang tak pernah kita minta, hanya untuk membuat kita lebih kuat?

Namun, semakin ia mencoba menjawab pertanyaannya sendiri, semakin besar pula rasa bersalah yang ia rasakan terhadap Sasa. Di rumah, istrinya pasti sedang menunggunya dengan penuh cinta, mengkhawatirkan keadaannya seperti biasa. Sasa adalah tipe wanita yang selalu tahu cara membuat Arman merasa dihargai, meskipun ia jarang mengungkapkan perasaannya secara langsung.

Bab: Perbincangan di Sudut Kantin

Suatu siang, ketika Arman sedang duduk sendirian di sudut kantin proyek, Caca tiba-tiba muncul. Ia membawa setumpuk dokumen seperti biasa, tapi kali ini, langkahnya menuju meja Arman.

“Pak Arman, ada waktu sebentar?” tanyanya tanpa basa-basi.

Arman mengangguk, meski hatinya berdebar. “Tentu, ada apa?”

Caca duduk di depannya, meletakkan dokumen di meja. “Ada beberapa perubahan mendadak dari pihak manajemen. Saya butuh persetujuan Anda untuk ini sebelum sore nanti.”

Arman mengangguk lagi, membuka dokumen dan membaca isinya dengan seksama. Ia mencoba fokus, tapi kehadiran Caca di depannya terlalu mengganggu. Setelah beberapa menit, ia akhirnya menandatangani dokumen itu dan menyerahkannya kembali.

“Terima kasih,” kata Caca singkat. Ia berdiri untuk pergi, tapi sebelum ia melangkah lebih jauh, Arman memberanikan diri untuk memanggilnya.

“Caca,” panggilnya pelan.

Wanita itu berhenti, tapi tidak berbalik. “Ya?”

“Apa kita nggak bisa bicara sebentar? Maksudku... tentang masa lalu.”

Caca diam cukup lama sebelum akhirnya menoleh. Tatapannya tajam, tapi suaranya tetap tenang. “Masa lalu nggak penting lagi, Pak Arman. Fokus aja ke pekerjaan. Itu yang lebih penting sekarang.”

Jawaban itu menghantam Arman seperti badai. Ia tahu Caca benar, tapi hatinya masih ingin mencari penjelasan—atau mungkin hanya sekadar pengampunan.

Bab: Surat Tanpa Nama

Malam itu, di atas meja kerja kecil di kamar Arman, ia menemukan sebuah amplop putih tanpa nama. Jantungnya langsung berdebar, karena ia yakin itu bukan dari pihak proyek. Dengan hati-hati, ia membuka amplop itu dan membaca isi suratnya:

> “Ada hal-hal yang lebih baik disimpan dalam diam, bukan karena kita takut, tapi karena kita tahu, mengungkapkannya hanya akan membawa luka baru. Terima kasih untuk masa lalu yang pernah ada. Aku sudah memaafkan, meskipun mungkin kamu tidak tahu apa yang perlu dimaafkan.”

Arman menggenggam surat itu erat-erat. Ia tahu siapa pengirimnya. Caca.

Surat itu sederhana, tapi penuh makna. Dalam sekejap, Arman merasa seperti seorang pria kecil di tengah samudra luas. Ia menyadari bahwa tidak semua pertanyaan perlu jawaban, dan tidak semua cerita perlu diakhiri dengan kepastian.

Bab: Kepastian di Ujung Ragu

Keesokan harinya, Arman menjalani rutinitasnya seperti biasa. Namun, surat tanpa nama yang ia temukan malam sebelumnya terus mengusik pikirannya. Kata-kata dalam surat itu begitu sederhana, tetapi menyimpan makna yang dalam. Caca sudah memaafkan. Tapi apakah ia benar-benar memaafkan dirinya sendiri?

Saat matahari mulai meninggi, Arman memutuskan untuk mengalihkan pikirannya. Ia menenggelamkan diri dalam pekerjaan, berbicara dengan tim teknis, mengecek laporan, dan memastikan semua target harian tercapai. Namun, sesekali, pikirannya melayang kembali ke sosok wanita yang kini seperti bayangan di setiap sudut proyek.

Di kantornya, Arman menatap jendela besar yang memperlihatkan pemandangan proyek. Di kejauhan, ia melihat Caca berjalan dengan langkah mantap, membawa beberapa dokumen di tangan. Wanita itu terlihat tenang, fokus, dan seolah-olah tidak terganggu oleh apapun—termasuk kehadiran Arman di tempat ini.

Dalam diam, Arman menarik napas panjang. Ada sesuatu yang ia pelajari dari sikap Caca. Kadang, melangkah maju bukan soal melupakan masa lalu, tetapi tentang belajar hidup berdampingan dengannya tanpa membiarkannya menghancurkan masa kini.

Bab: Dialog yang Tertunda

Beberapa hari kemudian, saat makan siang, Arman menemukan dirinya duduk sendirian lagi di kantin proyek. Ia sengaja memilih meja di sudut, berharap bisa menikmati makanannya tanpa gangguan. Namun, takdir tampaknya punya rencana lain.

Caca masuk ke kantin dengan membawa laptop dan secangkir kopi. Saat melihat Arman, ia ragu sejenak, tetapi akhirnya melangkah mendekat.

“Pak Arman,” sapanya pelan.

Arman menatapnya, berusaha menahan debar jantungnya. “Iya?”

“Ada waktu sebentar?”

Arman mengangguk, meskipun kali ini, ia yang lebih gugup dari biasanya.

Caca duduk di depannya, meletakkan laptop di meja. Ia membuka beberapa file, tetapi sebelum mulai berbicara, ia menatap Arman dengan sorot mata yang berbeda—lebih lembut, lebih manusiawi.

“Saya tahu ini di luar profesionalisme,” ucapnya, memulai. “Tapi mungkin ini saatnya kita bicara.”

Arman terdiam. Kalimat itu seperti angin yang tiba-tiba meniup kabut di hatinya.

“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik.

Caca menarik napas panjang sebelum menjawab. “Tentang apa yang kita tinggalkan bertahun-tahun lalu. Tentang bagaimana semua itu nggak perlu dibawa ke hari ini.”

Arman mengangguk pelan. “Aku paham, Caca. Tapi... aku nggak tahu apakah aku sudah benar-benar bisa berdamai dengan itu.”

Caca tersenyum tipis, senyum yang mengandung kelelahan sekaligus ketulusan. “Arman, nggak semua luka harus sembuh untuk kita bisa melanjutkan hidup. Kadang, kita hanya perlu menerimanya. Karena pada akhirnya, luka itu yang membentuk kita jadi lebih kuat.”

Arman menatap wanita di depannya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia tahu, kata-kata itu bukan sekadar nasihat. Itu adalah pengalaman, pelajaran hidup yang mungkin butuh bertahun-tahun bagi Caca untuk memahaminya.

“Kamu benar,” ucap Arman akhirnya. “Aku cuma takut kalau aku belum cukup baik untuk orang-orang di hidupku sekarang.”

Caca menggeleng pelan. “Nggak ada orang yang selalu merasa cukup baik, Arman. Tapi kalau kamu terus mencoba, itu sudah cukup.”

Bab: Luka yang Terselubung

1
Ani Aqsa
ceritanya bagus.tp knapa kayak monoton ya agak bosan bacanya..maaf y thor
Lili Inggrid
lanjut
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Wuih, nggak sabar lanjutin!
Android 17
Terharu sedih bercampur aduk.
Mắm tôm
Suka banget sama karakter yang kamu buat thor, semoga terus berkembang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!