"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Coffee And Unspoken Words
Pagi itu, suasana di lantai kerja Everleigh Corporation sibuk seperti biasa. Lantai kantor yang didominasi kaca besar menghadirkan pemandangan kota London yang masih diselimuti kabut tipis. Meja-meja kerja dipenuhi dokumen, laptop, dan beberapa mug kopi setengah penuh, sementara suara mesin kopi otomatis di sudut ruangan sesekali terdengar, menandai permulaan hari yang sibuk.
Elea duduk di ruang kerjanya, yang dikelilingi oleh partisi kaca transparan, memberikan pandangan langsung ke area kerja terbuka di luar. Rambutnya diikat rapi ke belakang, dan wajahnya tampak serius saat ia memeriksa laporan dari divisi pemasaran. Namun, meski ekspresinya tenang, pikirannya masih melayang pada percakapan dingin dengan Adrian semalam. Ada kekosongan di dadanya yang tidak bisa ia abaikan.
Pintu ruangannya diketuk pelan, dan tanpa menunggu izin, Darren masuk dengan langkah santai. Ia mengenakan kemeja biru muda yang sedikit terbuka di bagian atas, membuatnya terlihat kasual namun tetap menarik. Senyum nakalnya langsung muncul saat ia melihat Elea.
"Selamat pagi, Elea," sapanya, menaruh setumpuk dokumen di meja Elea dengan sedikit berlebihan. "Aku sudah memperbaiki laporan yang kau marahi kemarin. Mungkin sekarang aku bisa mendapatkan pujian?"
Elea mendongak, menatap Darren dengan tatapan dingin namun profesional. "Kau tahu, Darren, jika kau lebih teliti sejak awal, aku tidak perlu menghabiskan waktu untuk memeriksa kesalahanmu."
"Aww, kau benar-benar tidak bisa memberiku senyum pagi ini, ya?" balas Darren, sambil duduk di kursi di depan meja Elea tanpa diundang. "Aku sudah bangun lebih awal untuk ini, lho. Aku bahkan belum sarapan."
Elea memutar matanya, merasa tidak ingin terjebak dalam tingkah Darren pagi ini. "Jika kau datang hanya untuk bercanda, aku punya pekerjaan lain yang lebih penting."
Darren mendekatkan diri ke meja, menyandarkan dagunya di tangannya, memandang Elea dengan mata berbinar seperti anak kecil yang sedang meminta perhatian. "Whitmore, kenapa kau selalu terlihat terlalu serius? Kau tahu, terlalu banyak bekerja itu buruk untuk kesehatan."
Elea menghela napas panjang. "Darren, kau bukan anak kecil lagi. Bersikaplah seperti orang dewasa. Kita ada di kantor, bukan taman bermain."
Namun, Darren hanya tertawa kecil, seolah ucapan Elea tidak mengganggunya sama sekali. "Tapi, bermain denganmu jauh lebih menyenangkan daripada bekerja."
Sebelum Elea sempat membalas, pintu ruangannya diketuk lagi, kali ini lebih tegas. Seorang wanita masuk dengan tumpukan dokumen di tangannya. Itu adalah Rachel, rekan kerja Elea sekaligus kepala divisi keuangan yang terkenal perfeksionis. Rachel adalah wanita berusia 40-an dengan rambut pendek bergelombang dan penampilan yang selalu rapi.
"Elea, aku butuh persetujuanmu untuk laporan ini sebelum rapat siang nanti," kata Rachel sambil menaruh dokumen di atas meja. Ia melirik Darren sekilas, lalu kembali menatap Elea. "Dan Darren, bukankah kau seharusnya berada di meja kerjamu sekarang?"
Darren mengangkat tangannya dengan gaya santai. "Aku hanya memastikan bosku yang cantik ini tidak terlalu stres pagi ini. Tapi baiklah, aku akan pergi kalau sudah diusir."
Rachel mendengus pelan, lalu menatap Elea dengan tatapan mengetahui. "Aku tidak tahu bagaimana kau bisa tahan dengan asistenmu itu."
Begitu Rachel pergi, Darren menoleh ke Elea dengan seringai lebar. "Aku rasa dia tidak terlalu suka padaku."
"Dan kau pikir aku suka?" Elea menimpali dengan nada datar, meskipun sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas, nyaris membentuk senyuman.
***
Di luar ruangan Elea, lantai kerja dipenuhi dengan karyawan yang sibuk. Ada James, seorang analis data yang selalu terlihat gugup dan terburu-buru; Clara, sekretaris senior yang ramah tetapi sangat tegas dalam pekerjaannya; dan Ben, seorang desainer grafis muda yang sering membawa kopi untuk semua orang.
Masing-masing memiliki dinamika yang berbeda, tetapi semuanya tahu bahwa Darren adalah seorang "anomaly" di kantor. Meskipun sering dianggap kurang serius, pesonanya membuatnya mudah diterima oleh kebanyakan orang, terutama Clara, yang selalu tertawa mendengar lelucon-leluconnya.
***
Saat Darren kembali ke meja kerjanya, ia mendengar James berbisik kepada Clara. "Kau dengar? Ada rumor bahwa anak pemilik perusahaan ini sedang bekerja di sini menyamar. Aku bertaruh itu pasti orang dari divisi kita."
Darren tersenyum tipis mendengar gosip itu, tetapi ia tetap fokus pada layar komputer. Di kejauhan, ia mencuri pandang ke arah ruangan Elea. Ada sesuatu tentang wanita itu yang membuatnya ingin lebih dari sekadar menjadi asistennya.
Di sisi lain, Elea menatap layar laptopnya, mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pesan singkat dari Adrian yang hanya berbunyi, 'Aku akan pulang larut malam ini,' membuatnya kembali merasa kosong.
***
Hari itu matahari bersinar terang, menembus kaca besar yang mendominasi dinding kantor Everleigh Corporation. Ruang kerja Elea terasa hangat oleh cahaya pagi, tetapi suasananya penuh ketegangan. Laptop di mejanya menampilkan laporan keuangan yang perlu diperbaiki, dan teleponnya terus berbunyi, menandakan email yang masuk tanpa henti.
Elea duduk dengan postur tegak, tangan kanannya sibuk mengetik, sementara tangan kirinya sesekali mengaduk kopi yang sudah mulai dingin. Wajahnya memancarkan ekspresi fokus yang tajam, alisnya sedikit berkerut. Ia wanita yang tangguh dan mandiri, tetapi hari ini tekanan pekerjaan hampir membuatnya kehilangan kesabaran.
Ketika pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan, Elea mendongak dengan gerakan cepat, siap untuk menegur siapa pun yang masuk sembarangan. Namun, saat matanya bertemu dengan sosok Darren yang membawa dua gelas kopi dengan gaya santai, ia hanya menghela napas panjang.
"Whitmore," Darren memanggilnya dengan nada menggoda, menggunakan nama belakang Elea seolah-olah itu panggilan akrab di antara mereka. "Aku membawakan kopi segar untukmu. Kau terlihat seperti butuh sesuatu yang lebih kuat daripada itu," katanya sambil melirik cangkir kopi di meja Elea.
"Darren," balas Elea dengan nada tegas. "Aku sedang sibuk. Dan sejujurnya, aku tidak butuh tambahan gangguan."
Darren hanya terkekeh, tidak terintimidasi sedikit pun. Ia berjalan mendekat, menaruh gelas kopi di meja Elea tanpa diminta, lalu duduk di kursi depan meja dengan gaya yang santai, menyandarkan tubuhnya dan melipat tangan di belakang kepala.
"Kau selalu sibuk," ucapnya ringan. "Bukankah kau pernah mendengar bahwa terlalu banyak bekerja bisa membuatmu cepat tua?"
Elea menatapnya tajam. "Darren, aku tidak punya waktu untuk leluconmu. Jika kau tidak ada keperluan penting, tolong kembali ke meja kerjamu."
"Tunggu dulu," Darren memotong, matanya berkilat nakal. "Aku serius, lho. Kau harus belajar santai sedikit. Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan angka-angka membosankan itu."
***
Elea merasa frustrasi, tetapi di dalam hatinya, ada bagian kecil yang terhibur oleh sikap Darren yang selalu santai dan ceria. Ia tidak bisa menyangkal bahwa kehadiran pria itu sedikit meringankan tekanan di tengah kesibukannya. Namun, ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Darren mungkin menarik dan menawan, tetapi baginya, pria itu masih seperti anak kecil yang suka bermain-main.
Di sisi lain, Darren menikmati setiap kesempatan untuk berhadapan dengan Elea. Ia tahu Elea menganggapnya belum dewasa, tetapi hal itu justru membuatnya semakin tertantang. Di balik senyum nakalnya, Darren sebenarnya memiliki sisi tangguh dan serius yang jarang ia tunjukkan. Namun, ketika berada di dekat Elea, ia lebih suka menunjukkan sisi polos dan manjanya, karena ia tahu itu membuat Elea kesal—dan ia menyukai reaksinya.
***
Elea menghela napas panjang, menutup laptopnya untuk sementara. "Baiklah, Darren. Kau mau apa? Jika ini tentang laporanmu, aku sudah bilang akan memeriksanya nanti."
Darren menggeleng dengan senyuman lebar. "Bukan, ini bukan tentang laporan. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Kau terlihat seperti sedang membawa seluruh beban dunia di pundakmu."
"Dan itu bukan urusanmu," Elea membalas dengan nada setengah kesal, meskipun ia sedikit terkejut dengan perhatiannya.
"Karena aku asistenmu," Darren menjawab santai, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Tapi jujur saja, Elea, aku penasaran. Kenapa kau selalu terlihat seperti harus membuktikan sesuatu? Seolah-olah kau tidak bisa mempercayai siapa pun untuk membantumu."
Pertanyaan itu membuat Elea terdiam. Ia tidak tahu apakah harus merasa tersinggung atau tersentuh. Dengan suara yang lebih lembut, ia akhirnya menjawab, "Karena jika aku tidak melakukannya sendiri, siapa yang akan melakukannya untukku? Hidup tidak selalu memberi kita pilihan, Darren."
Darren menatapnya dengan ekspresi yang jarang terlihat—serius dan penuh perhatian. "Tapi kau tahu, Elea, terkadang menerima bantuan bukan berarti kau lemah. Itu hanya berarti kau manusia."
Elea menahan napas sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. Kata-kata Darren terdengar terlalu dekat dengan apa yang ia rasakan, tetapi ia tidak mau mengakuinya.
"Kalau kau sudah selesai memberikan kuliah filosofis ini," katanya akhirnya, mencoba mengalihkan pembicaraan, "kembalilah bekerja. Aku tidak ingin mendengar keluhan dari Rachel tentang asistenku yang malas."
Darren tertawa, bangkit dari kursinya dengan gaya yang santai. "Baik, Elea. Tapi kau harus janji satu hal."
Elea mengangkat alis. "Apa?"
"Kau akan mencoba kopi yang kubawakan ini. Aku jamin rasanya jauh lebih baik daripada kopi murahan yang kau minum setiap hari."
Elea hampir tersenyum, tetapi ia berhasil menahannya. "Kita lihat saja nanti."
Saat Darren pergi, ia meninggalkan ruangan dengan senyum kecil di wajahnya. Sementara Elea menatap gelas kopi yang ia tinggalkan, merasa sedikit lebih ringan dari sebelumnya.
***
Ketika Darren kembali ke mejanya, ia mendengar percakapan antara Rachel dan Clara tentang perubahan besar di perusahaan. "Aku dengar anak pemilik perusahaan ini sedang bekerja di sini menyamar," kata Clara dengan nada bersemangat.
Rachel mengangguk, "Ya, aku juga dengar. Tapi aku belum tahu siapa orangnya."
Darren tersenyum tipis mendengar itu, tetapi ia tetap berpura-pura fokus pada pekerjaannya. Di ruangan Elea, wanita itu akhirnya menyeruput kopi yang dibawakan Darren, dan senyum kecil muncul di wajahnya tanpa sadar. Namun, senyumnya memudar ketika ponselnya berbunyi—pesan dari Adrian yang singkat dan dingin.
'Aku lembur lagi malam ini. Jangan tunggu aku.'
***