Di tengah hujan deras yang mengguyur jalanan kota, Kinanti menemukan seorang anak kecil yang tersesat. Dengan tubuhnya yang menggigil kedinginan, anak itu tampak sangat membutuhkan bantuan. Tak lama kemudian, ayah dari anak itu muncul dan berterima kasih atas pertolongan yang ia berikan.
Meskipun pertemuan itu sederhana, tidak ada yang tahu bahwa itu adalah awal dari sebuah kisah yang akan mengubah hidup mereka berdua. Sebuah pertemuan yang membawa cinta dan harapan baru, yang muncul di tengah kesulitan yang mereka hadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rhtlun_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 13
Kinanti keluar dari kantor Julian dengan perasaan lega setelah membantu dalam meeting penting tersebut. Ia segera menuju ke sekolah Kenzo untuk menjemputnya. Setibanya di sekolah, ia menunggu di depan gerbang, memperhatikan anak-anak yang mulai keluar satu per satu bersama orang tua mereka. Setelah beberapa saat, ia melihat Kenzo berjalan menghampirinya dengan langkah pelan dan wajah yang tampak murung.
Kinanti segera berjongkok, menyambutnya dengan senyum lembut. "Kenzo, ada apa? Kenapa kamu terlihat sedih?" Tanya Kinanti dengan penuh perhatian.
Kenzo menundukkan kepala, suaranya lirih saat berbicara, "Teman-temanku semua dijemput oleh ayah dan ibu mereka, tapi aku... hanya dengan Kakak saja."
Hati Kinanti terasa perih mendengar ucapan Kenzo. Ia tahu bahwa Kenzo sangat merindukan sosok ibunya, dan perasaan kesepian itu kerap menyelimutinya. Kinanti mengelus kepala Kenzo dengan lembut.
"Kenzo, Kakak tahu kamu ingin seperti teman-temanmu, tapi kamu harus tahu bahwa Daddymu sangat mencintaimu, meskipun dia sibuk. Dan Kakak di sini akan selalu ada untuk Kenzo."
Namun, untuk menghibur Kenzo lebih lanjut, Kinanti mengambil ide spontan. "Bagaimana kalau kita pergi ke taman sebentar? Kakak akan menceritakan sesuatu untukmu."
Kenzo perlahan mengangguk, meski wajahnya masih tampak murung. Mereka berdua berjalan ke taman terdekat, duduk di bangku di bawah pohon rindang. Kinanti mulai menceritakan dongeng lucu tentang seekor kelinci kecil yang ceroboh tapi selalu berhasil keluar dari masalah dengan cara yang konyol.
Kenzo akhirnya tersenyum, bahkan tertawa kecil saat mendengar kisah-kisah lucu dari Kinanti. Melihat Kenzo mulai ceria kembali, Kinanti merasa lega dan bahagia. Ia memeluk Kenzo erat-erat, merasakan kehangatan dari anak itu yang mulai memercayainya sepenuhnya.
"Terima kasih, Kak Kinanti." Ujar Kenzo dengan suara lembut. "Aku senang ada Kakak."
Kinanti terharu mendengarnya, ia membalas pelukan Kenzo dengan penuh kasih. "Kakak juga senang bisa ada di sini untuk Kenzo."
Setelah beberapa saat di taman, mereka memutuskan untuk pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Kinanti memperhatikan bahwa suasana rumah tampak lebih sepi dari biasanya. Ia bertanya kepada Bi Inah yang sedang membersihkan ruang tamu.
"Bi Inah, Nyonya Marta dan Tuan Adam ke mana ya? Rumah jadi sepi sekali."
Bi Inah menoleh, tersenyum ramah. "Ibu dan Bapak pergi ke luar kota untuk urusan keluarga, Nona Kinanti. Mereka bilang mungkin akan pulang dua hari lagi."
Kinanti mengangguk memahami. "Terima kasih, Bi. Saya akan menemani Kenzo di sini."
Dengan rasa tanggung jawab yang semakin besar terhadap Kenzo, Kinanti menghabiskan sisa hari itu dengan memastikan Kenzo nyaman dan bahagia, membuat makan malam sederhana untuk mereka berdua, dan menghabiskan waktu bermain sebelum akhirnya menidurkan Kenzo.
Kinanti merasa bahwa perannya dalam keluarga ini bukan sekadar pekerjaan, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan Kenzo yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian.
Kinanti duduk di ruang tamu bersama Kenzo, lalu ia memandangnya dengan penuh kasih.
"Kenzo, kamu ingin makan apa? Kakak bisa memasaknya untuk kamu." Tanya Kinanti dengan senyum lembut, mencoba menebak apa yang disukai oleh anak kecil itu.
Kenzo memandang Kinanti dengan mata berbinar, senyum kecil tersungging di bibirnya. "Aku ingin sayur, Kak. Seperti yang Kakak buat kemarin, enak sekali." Jawabnya dengan polos.
Kinanti tertawa kecil mendengar permintaan Kenzo. Ia merasa senang melihat Kenzo menyukai masakannya. "Baiklah, Kakak akan memasak sayur untukmu. Kamu tunggu di sini ya, Kenzo."
Sebelum beranjak ke dapur, Kinanti mengelus kepala Kenzo dengan penuh kasih sayang. Sentuhannya lembut, seolah ingin menenangkan dan menunjukkan betapa ia peduli kepada anak itu. Kinanti tahu, meski tugasnya adalah sebagai pengasuh, rasa sayangnya kepada Kenzo telah tumbuh melebihi sekadar kewajiban.
Kenzo memejamkan matanya sesaat, menikmati kehangatan yang diberikan oleh Kinanti. Ia merasa nyaman berada di dekatnya, seperti menemukan sosok yang dapat ia andalkan dan percayai. "Terima kasih, Kak Kinanti." Ucap Kenzo pelan, namun penuh kejujuran.
Kinanti tersenyum lembut, hatinya dipenuhi oleh perasaan bahagia. "Sama-sama, Kenzo. Kakak senang kamu suka."
Ia lalu berjalan menuju dapur, mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak. Sambil memasak, Kinanti merasa bahwa dirinya tidak hanya bekerja di rumah ini, tetapi juga menjadi bagian dari keluarga kecil yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian.
Keberadaan Kenzo yang polos dan manis membuatnya merasa lebih dari sekadar pengasuh—ia merasa menjadi seorang kakak yang harus menjaga dan merawat Kenzo dengan sepenuh hati.
Selesai memasak, Kinanti menghidangkan makanan di meja makan. Ia memanggil Kenzo untuk makan bersama, memastikan bahwa anak itu makan dengan baik dan cukup gizi.
Melihat Kenzo yang lahap menyantap makanannya, Kinanti merasa lega dan puas. Kenzo adalah tanggung jawabnya, dan ia bertekad untuk selalu memberikan yang terbaik untuk anak itu.
********
Siang ini, di dalam ruangan kantor yang luas, Julian tengah menikmati makan siangnya bersama David. Suasana cukup santai meskipun obrolan mereka sesekali terputus oleh pembahasan pekerjaan. Makanan yang disiapkan di meja sederhana namun cukup untuk mengisi tenaga di tengah padatnya aktivitas.
"Tuan Julian, Anda perlu istirahat lebih sering. Saya khawatir jika Anda terus seperti ini, kesehatan Anda bisa terganggu." Ujar David dengan nada penuh perhatian.
Julian tersenyum kecil, mengangkat cangkir kopinya sebelum meneguknya perlahan. "Aku tahu, David. Tapi pekerjaan ini harus diselesaikan secepatnya."
Tak lama kemudian, ponsel Julian berdering. Nama ibunya, Marta, tertera di layar. Julian segera menjawab telepon itu.
"Halo, Mama?" Sapanya.
"Julian, Mama dan Papa sedang di luar kota sekarang. Ada urusan penting yang harus diselesaikan. Kami mungkin baru bisa pulang dua hari lagi." Ujar Marta di seberang telepon.
Julian mengangguk meskipun ibunya tak bisa melihat. "Baik, Ma. Hati-hati di sana. Sampaikan salamku juga untuk Papa."
Setelah beberapa kata penutup, telepon pun diakhiri. Julian meletakkan ponselnya di meja, kembali melanjutkan makan siangnya bersama David.
Namun, ketenangan mereka tak berlangsung lama. Pintu kantor tiba-tiba diketuk. Julian melirik ke arah pintu dan mengangguk sebagai tanda mempersilakan masuk. Pintu terbuka, dan muncul sosok yang sudah dikenal Julian dengan baik—Hanah.
Hanah masuk dengan membawa kotak makan siang di tangannya. Wajahnya penuh percaya diri, senyum manis menghiasi bibirnya. "Julian, aku membawakan makan siang untukmu." Ucapnya lembut.
Namun, ekspresinya berubah seketika ketika melihat David juga berada di dalam ruangan. Ia tampak tak senang dengan kehadiran David di sana.
"David, bisa kau keluar sebentar? Aku ingin berbicara dengan Julian." Katanya dengan nada memerintah.
Julian, yang sedari tadi memperhatikan situasi itu dengan tenang, akhirnya membuka suara.
"Hanah, ini bukan waktu yang tepat. David ada di sini untuk bekerja. Jika kau punya sesuatu yang ingin disampaikan, kita bisa membicarakannya lain kali."
Hanah tampak terkejut, kemudian wajahnya memerah menahan amarah. "Tapi aku hanya ingin makan siang bersama, Julian. Kenapa David harus ada di sini?" Protesnya.
Julian menghela napas panjang, lelah dengan sikap Hanah yang terus-menerus mendesaknya.
"Hanah, aku menghargai niatmu, tapi aku sedang sibuk. Tolong pulanglah. Aku tidak ingin ada keributan di sini."
Mata Hanah berkilat marah. Ia menghentakkan kakinya dengan keras, mengekspresikan kekecewaannya. "Kau selalu seperti ini, Julian! Menghindariku! Aku hanya ingin berada di dekatmu!"
Julian tetap tenang, meskipun dalam hati ia sudah merasa sangat lelah dengan sikap Hanah yang tak pernah berhenti mengejarnya. "Hanah, tolong pahami. Aku tidak bisa melanjutkan ini. Pulanglah, dan jangan datang ke kantorku tanpa izin."
Hanah menatap Julian dengan penuh amarah, namun akhirnya ia berbalik dan keluar dari ruangan dengan langkah keras. Pintu tertutup dengan suara yang cukup keras, membuat keheningan sesaat.
David, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. "Tuan Julian, sepertinya Nona Hanah belum bisa menerima kenyataan."
Julian menghela napas lagi, mengusap wajahnya dengan tangan. "Aku tahu. Tapi aku tidak bisa terus-menerus menghadapinya seperti ini. Dia harus mengerti bahwa tidak ada masa depan di antara kami."
David mengangguk pelan. "Saya mengerti, Tuan. Semoga setelah ini dia bisa memahami."
Setelah suasana sedikit tenang, Julian kembali melanjutkan pekerjaannya. Namun, di benaknya, ia terus memikirkan bagaimana caranya agar Hanah bisa berhenti mengganggunya.
Ia sadar bahwa sikap Hanah yang selalu memaksakan kehendaknya hanya akan memperumit keadaan, terutama saat ia sudah mulai merasa nyaman dengan keberadaan Kinanti dan Kenzo di rumah.