Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi Yang Menjengkelkan
Pagi itu, sinar matahari perlahan masuk melalui celah-celah tirai kamar. Netha mengerjap pelan, membiasakan matanya dengan cahaya yang masuk. Ia menggeliat sedikit, namun tubuhnya mendadak membeku. Ia merasakan sesuatu—bukan, seseorang—memeluknya erat.
Netha menoleh perlahan, dan langsung terkejut melihat Sean ada di sampingnya, dengan tangan melingkar di pinggangnya. Jantungnya langsung berdebar."Astaga, sejak kapan dia begini?" pikirnya.
Ia menatap wajah Sean. Lelaki itu tampak masih terlelap, dengan ekspresi tenang seolah tak ada yang salah. Tapi ada sesuatu yang aneh. Gerakan dada Sean terlihat terlalu teratur.
Netha mulai curiga. "Jangan-jangan dia cuma pura-pura tidur?" pikirnya. Namun, ia memutuskan untuk tidak langsung mengkonfrontasi. Dengan hati-hati, ia mulai melepaskan tangan Sean dari pinggangnya.
Sementara itu, Sean sebenarnya sudah bangun sejak beberapa menit yang lalu. Namun, ia memilih berpura-pura tidur. Ia tahu pasti Netha akan kaget jika melihat posisinya, jadi ia berharap bisa lolos dari masalah ini dengan cara berpura-pura tidak sadar. Dalam hati, ia berdoa, "Tolonglah, semoga dia nggak marah."
Netha berhasil melepaskan pelukan Sean dan duduk di tepi ranjang, menghela napas panjang. Ia merasa aneh, tapi mencoba berpikir positif. "Mungkin dia nggak sengaja memelukku waktu tidur," gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Namun, sebelum Netha bisa melangkah keluar kamar, Sean yang pura-pura tertidur merasa situasi mulai tegang. Ia berpikir cepat dan memutuskan untuk 'terbangun.' Ia menggeliat sedikit, lalu membuka matanya perlahan, berpura-pura baru saja bangun.
"Eh, kamu sudah bangun?" tanyanya dengan suara yang dibuat terdengar malas.
Netha menoleh, memandangnya dengan tatapan setengah curiga. "Kamu memelukku tadi malam," katanya to the point.
Sean memasang ekspresi kaget, meski dalam hati ia sudah mempersiapkan alasan. "Hah? Aku? Memeluk? Nggak sadar... mungkin aku kira kamu guling," jawabnya, mencoba terdengar meyakinkan.
Netha mendengus kecil, lalu mengangkat alis. "Guling? Serius? Mana ada guling yang sebesar ini?" Ia menunjuk dirinya sendiri.
Sean menggaruk belakang kepalanya, tersenyum kikuk. "Ya... mungkin aku ngelindur atau apa. Maaf ya kalau bikin kamu nggak nyaman."
Netha menghela napas, memilih untuk tidak memperpanjang masalah. "Ya sudahlah, tapi lain kali jangan sampai kejadian lagi," katanya sambil berdiri.
"Siap, Nyonya," jawab Sean sambil tersenyum kecil, merasa lega karena lolos dari masalah besar. Namun, dalam hatinya, ia berharap momen itu bisa terjadi lagi. Tentu saja, dengan izin Netha.
Netha berjalan menuju kamar mandi dengan langkah cepat. Dalam benaknya, ia merasa ada sesuatu yang aneh, tapi tak bisa memastikan apa itu. Begitu masuk ke kamar mandi, ia langsung menghadap cermin. Matanya meneliti wajah dan tubuhnya dengan seksama. Semuanya tampak biasa saja, sampai ia berhenti pada satu bagian: bibirnya.
“Eh, tunggu... apa ini?” gumamnya sambil mendekatkan wajah ke cermin.
Bibirnya terlihat sedikit bengkak. Ia menyentuhnya perlahan, lalu merasakan sedikit nyeri. "Astaga, ini kenapa? Apa aku digigit serangga waktu tidur?" teriaknya. Netha langsung panik.
"Serangga macam apa yang menggigit bibir? Dasar serangga sialan!" gerutunya dengan keras sambil melihat-lihat sekitar kamar mandi, seolah berharap menemukan pelaku serangga itu.
Dari luar kamar mandi, Sean yang sedang berusaha bersikap santai mendengar ucapan Netha. Ia yang tadinya sibuk memeriksa ponselnya, langsung menegakkan tubuh. Jantungnya mulai berdegup cepat. "Bibir bengkak? Dia sadar, dong? Aduh, gimana nih?" pikirnya.
Namun, saat ia mendengar Netha menyalahkan serangga, Sean hampir tertawa. "Serangga? Ya ampun, syukurlah dia nggak curiga ke aku. Tapi kok lucu ya dia ngomel-ngomel gitu?" pikirnya lagi, mencoba menahan senyum.
Sean mendekat ke pintu kamar mandi, lalu berdehem kecil. "Netha, kamu kenapa? Kok kedengarannya misuh-misuh dari tadi?"
Netha yang masih menatap cermin, menoleh ke arah pintu sambil menjawab dengan nada kesal, "Nggak tahu, nih! Bibirku bengkak! Kayaknya tadi malam ada serangga yang gigit waktu aku tidur. Serangga apa coba yang segitu kurang ajar gigit bibir orang?"
Sean menahan tawa keras-keras. Ia tahu ini sepenuhnya ulahnya sendiri, tapi melihat Netha yang salah paham justru membuatnya semakin merasa bersalah sekaligus geli. Dalam hati, ia bersumpah, "Sean, kamu ini cowok macam apa sih? Malah bikin istrimu mikir digigit serangga. Tapi... bener juga sih, aku kan ‘serangga’ yang nakal."
Dia mencoba merespon dengan nada serius. "Oh, gitu ya? Serangga di sini memang kadang aneh-aneh, Neth. Tapi nggak papa, kan? Nggak gatal atau apa?"
Netha menghela napas. "Nggak sih, cuma ya aneh aja. Mana bengkaknya di bibir, coba! Malu banget kalau orang lihat nanti!"
Sean menarik napas panjang, mencoba menahan diri untuk tidak tertawa. Ia berdeham lagi, berusaha mengalihkan perhatian. "Hmm, mungkin nanti bisa pakai lip balm biar cepat reda. Kamu tetap cantik kok, Neth, nggak perlu khawatir."
Netha di dalam kamar mandi mendengus. "Ya, gampang ngomongnya kalau bukan kamu yang kena."
Sean tersenyum kecil, merasa lega karena situasi belum mencurigakan. "Untung aja dia nggak sadar. Tapi lain kali, Sean, tolong kontrol dirimu, ya," katanya dalam hati sambil menepuk pipinya sendiri, berusaha kembali fokus.
Netha keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih sedikit basah dan aroma sabun yang segar. Ia mengenakan baju yang ia pakai kemarin, yang kini sudah bersih dan rapi setelah dicuci. Begitu ia melangkah ke ruang tengah, ia melihat Sean sedang duduk santai di sofa, membaca koran pagi sambil menyeruput kopi.
Sean yang menyadari kehadiran Netha, segera meletakkan korannya dan bangkit. “Sudah selesai?” tanyanya sambil melirik ke arahnya.
Netha hanya mengangguk ringan. “Iya, giliran kamu sekarang,” katanya sambil berjalan menuju kamar si kembar.
Sean mengamati Netha sejenak sebelum menuju kamar mandi. Dalam hati, ia tersenyum kecil melihat penampilannya yang terlihat sederhana tetapi tetap mempesona. Setelah itu, ia bergegas mandi agar bisa membantu Netha nanti.
Di kamar si kembar, Netha membuka pintu dengan pelan. Ia melihat El dan Al masih tidur pulas, selimut mereka sudah sedikit berantakan. Wajah mereka terlihat damai dalam tidurnya, membuat Netha tersenyum hangat. Namun, ia tahu kalau mereka tidak boleh dibiarkan tidur terlalu lama.
“El, Al, bangun, sayang. Sudah pagi,” katanya lembut sambil menepuk pelan punggung mereka bergantian.
El meringkuk sambil menggumam, “Mama, masih ngantuk…” Sementara itu, Al membuka sebelah matanya sedikit, lalu kembali memejamkan mata.
Netha tertawa kecil. “Ayo, bangun. Nanti keburu siang. Setelah mandi, kita bisa sarapan bersama.”
El perlahan membuka matanya dan duduk sambil mengucek-ngucek wajahnya. “Mama... kita tidur lagi, ya?” pintanya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
“Tidak boleh, nanti kebiasaan. Ayo, mandi dulu biar segar,” kata Netha dengan tegas tapi tetap lembut.
Setelah beberapa kali bujukan dan sedikit ancaman akan sarapan tanpa mereka, akhirnya kedua anak itu mulai bergerak malas-malasan. Netha memandangi mereka dengan penuh kasih sayang sambil membantu mereka membereskan selimut dan mengatur pakaian yang akan dipakai setelah mandi.
Ketika El dan Al sudah di kamar mandi masing-masing, Netha menyempatkan diri membereskan kamar mereka. Ia menyusun mainan yang berserakan, melipat pakaian kotor, dan merapikan tempat tidur. Dalam hati, ia merasa senang melihat perkembangan si kembar yang semakin dekat dengannya.
“Aku benar-benar seperti ibu mereka sekarang,” pikir Netha sambil tersenyum kecil. Ia kemudian keluar dari kamar, berniat mempersiapkan sarapan untuk mereka bertiga.
mlah di du2k dikursi penumpang..
lanjut lagi yaa 👍🤗🤗🤗
q kirimkan kopi untukmuu