Sabrina Alexandra, gadis bar-bar yang frontal dan minus akhlak, hidupnya mendadak jungkir balik. Pulang ke kampung halaman, tiba-tiba saja ia di nikahkan paksa oleh bapaknya, Abiyan Fauwaz, dengan seorang lelaki yang lebih tua 9 tahun darinya. Siapa lelaki itu? Gus Sulaiman Faisal Zahid-seorang ustaz dengan aura santun, tampilan alim, dan bahasa serba syariah. Masalahnya? Sabrina yang biasa bebas, santai, dan dikejar banyak pria, dipaksa menikah dengan lelaki yang mengatakan, "Saya melamar putri bapak, karena beliau sudah saya sentuh." WHAT?! Seorang Sabrina yang bahenol dan penuh pesona malah jadi rebutan ustadz tak dikenal?! "Bapak, apa-apaan sih? Aku gak kenal dia!" protes Sabrina sambil menjambak rambut sendiri. Tapi, bapaknya tak peduli. Demi menyelamatkan anaknya dari kehidupan yang sudah miring 180 derajat, Abiyan tetap bersikeras. Tapi Abiyan tak peduli. Dengan santai, ia menjawab, "Kalau kalian gak saling kenal, ngapain nak Aiman jauh-jauh buat lamar kamu? Pokoknya bapak tetap pada pendirian! Kamu harus menikah dengan dia!" "Bapak egois banget!!!" protes Sabrina. "Ini demi kebaikan kamu, agar gak terlalu tersesat ke jalan yang salah," jawab Abiyan tegas. Sabrina merasa dunia tak lagi adil. Tapi apa yang terjadi saat dua orang dengan dunia yang bertolak belakang ini dipaksa bersanding? Akankah Sabrina yang bar-bar ini berubah, atau justru Gus Sulaiman yang pusing tujuh keliling menghadapi Sabrina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31
Sabrina terbangun dengan kaget, tubuhnya langsung terduduk di atas ranjang. Napasnya sedikit terengah, dan keningnya berkerut bingung. Dalam pikirannya, bayangan mimpi tadi masih segar: ibunya berdiri di depannya dengan wajah galak, membawa ember penuh air, lalu... BYUR! Air dingin mengguyur kepalanya tanpa ampun.
"Astaga, mimpi macam apa itu?" gumam Sabrina sambil memegangi kepalanya. Matanya masih setengah terpejam, tapi ia bergidik saat membayangkan ekspresi sang ibu. "Dalam mimpi aja mama udah mengerikan, apalagi kalau beneran," tambahnya, meraih handuk di dekat ranjang untuk menyeka wajahnya yang basah oleh keringat dingin.
Ia merapikan posisi duduknya sambil memandang ke sekeliling kamar. Pandangannya jatuh pada gantungan baju di sudut ruangan. Di sana, tergantung sarung, peci, dan baju koko milik Aiman yang terlihat rapi. Sabrina mengernyit, dalam hati bergumam, Oh, laki gue udah pulang ini. Mana dia ya?
Rasa kantuknya perlahan hilang saat matanya secara refleks melirik ke arah jam dinding. Pupilnya melebar seketika.
"Anjir! Pukul tiga sore?" serunya keras, hampir terlonjak dari tempat tidur. Tangannya menepuk dahi, ekspresi wajahnya berubah panik. "Astaga, astaga! Gue telat sholat. Ya Allah, Sabrina, lo tuh gimana sih?!"
Ia buru-buru melompat dari ranjang, menyambar mukena yang terlipat di dekatnya. Tubuhnya masih terasa berat karena tidur terlalu lama, tapi rasa bersalah langsung mendominasi pikirannya. Sabrina melirik kembali ke jam dinding, memastikan ia tidak salah lihat.
"Gila, gue cuma niat tidur 15 menit, kok bisa jadi tiga jam sih? Ini gara-gara mimpi itu! Kalau tadi mama beneran ada di sini, gue udah disiram beneran nih!" gerutunya sambil menghela napas panjang.
...➰➰➰➰...
Sabrina baru saja bangkit dari kasur ketika pintu kamar terbuka. Suara engsel pintu yang berderit membuatnya refleks menoleh. Di sana, berdiri Aiman dengan pakaian santai: kaos polos warna abu-abu dan celana kain longgar. Ia membawa nampan berisi makanan yang aromanya langsung menguar di udara, menggoda perut Sabrina yang sebenarnya sudah keroncongan.
Pandangan keduanya bertemu. Sabrina menelan ludah, mencoba terlihat biasa saja meski dalam hati ia cemas. Jangan-jangan Aiman tahu kalau dia tadi ketiduran. Ia buru-buru merapikan rambutnya yang masih agak kusut, seolah ingin mengalihkan perhatian.
"Sejak kapan, Om Ustadz, pulang?" tanya Sabrina, mencoba mengisi keheningan dengan suara yang dibuat santai.
Aiman menatapnya sekilas sambil melangkah masuk dan meletakkan nampan di atas ranjang. "Dua jam yang lalu, saat kamu tidur."
Sabrina tersenyum canggung. "Oh, sorry. Gue ketiduran."
Aiman menatapnya dengan mata yang tenang namun penuh arti, seperti biasa. "Saya tahu. Tapi lain kali jangan lewatkan waktu ibadahnya. Nanti waktu Ashar kita sholat berjamaah bersama."
"Oh iya, gue sholat kok tadi. Cuma habis itu langsung tidur. Lupa makan siang doang," jawab Sabrina, mencoba menyelamatkan situasi.
"Yakin?" Aiman mengangkat alis, tatapannya menyelidik.
"Iya, yakin," Sabrina mengangguk cepat, berharap Aiman tidak menanyakan lebih jauh.
Namun, Aiman melirik ke sudut ranjang tempat mukena yang tadi ia letakkan. Mukena itu masih terlipat rapi, tidak tersentuh sama sekali. "Tapi kenapa posisi mukena yang saya letakkan tadi nggak berubah ya?" tanyanya datar.
Sabrina langsung mengalihkan pandangan, menghindari tatapan tajam Aiman. Ia tertawa kecil, "Hehehe... iya maaf, Om Ustadz. Tadi tuh sumpah, niatnya cuma tidur 15 menit doang. Nggak tahu kenapa bisa sampai sore!"
Aiman hanya menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Ia menunjuk makanan di atas nampan. "Ya sudah. Kamu belum makan siang, kan? Sekarang makan dulu."
Sabrina menatap nasi dan lauk di depannya, lalu mulai mengambil sepiring penuh. "Om Ustadz udah makan?" tanyanya sambil menyendok nasi.
"Sudah. Hanya kamu saja yang belum. Saya nggak tega membangunkan kamu yang kelelahan selama perjalanan," jawab Aiman sambil memperhatikan Sabrina yang hendak menyuapkan makanan ke mulutnya.
Namun, sebelum sendok itu sampai ke bibir Sabrina, Aiman tiba-tiba berkata, "Tunggu."
Sabrina menghentikan gerakannya, menatap Aiman dengan bingung. "Apalagi?" tanyanya, dengan sendok yang masih menggantung di udara.
"Baca doa dulu. Hapalkan?" ujar Aiman santai, meski terdengar tegas.
Sabrina mengangkat dagu, berusaha terlihat percaya diri. "Ohhh... h-hapal lah," jawabnya dengan nada sombong.
Aiman tersenyum tipis. "Kalau gitu, baca dulu."
Sabrina menarik napas dalam, lalu berkata pelan, "Bismillah..." Ia berhenti, menutup mata seolah sedang melanjutkan dalam hati. Setelah beberapa detik, ia membuka mata dan langsung berkata, "Udah."
Aiman menatapnya dengan tatapan skeptis. "Yakin udah bener?"
"Iya, udah tadi kan," jawab Sabrina sambil buru-buru menyuapkan nasi ke mulutnya.
Namun, Aiman masih tampak ragu. "Coba, apa depannya?" tanyanya lagi.
Sabrina mengunyah perlahan, lalu menjawab, "Bismillahirrahmanirrahim."
"Terus?" tanya Aiman sambil melipat tangan di dada.
"Udah itu doang, hehehe..." Sabrina menyengir, berusaha menyembunyikan rasa malunya.
Aiman menghela napas panjang, menggelengkan kepala sambil menatap Sabrina. "Ya Allah, Sabrina..." gumamnya, seolah tidak habis pikir.
Sabrina tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. "Yang penting gue baca bismillah, kan? Itu udah setengah jalan, kan?" tanyanya dengan nada bercanda.
Aiman hanya memandangnya tanpa berkata apa-apa, membiarkan Sabrina menyantap makanannya. Dalam hati, ia berpikir, Proses belajar Sabrina memang panjang, tapi setidaknya dia sudah mau mencoba.
Aiman menggelengkan kepala pelan, mencoba menahan senyum.
"Iya, itu sudah benar, tapi ada baiknya doanya dibaca sampai habis," katanya lembut.
Sabrina mendengus kecil. "Tapi gue nggak hapal doanya, terus gimana?"
Aiman menarik napas, lalu berkata, "Nanti saya ajarkan doanya. Tidak susah kok."
"Ya udah, oke deh," jawab Sabrina dengan nada malas, tapi tersirat juga rasa penasaran di wajahnya.
"Kalau doa setelah makan, hapal nggak?" tanya Aiman lagi, menatap Sabrina dengan alis terangkat.
Sabrina tertawa canggung. "Yang doa makan aja nggak hapal, apalagi setelahnya. Om Ustadz, gimana sih? Mentok-mentok gue cuma bilang hamdalah doang."
Aiman menatapnya sejenak, lalu beristigfar dalam hati sambil mengusap wajahnya. "Sepertinya kamu memang butuh diajari lebih ekstra."
Sabrina menyeringai, lalu berkata dengan nada menggoda, "Ajarin apa nih, Om Ustadz?"
Aiman memperhatikan perubahan ekspresi Sabrina dan langsung tahu ke mana arah pikirannya. Dengan nada tegas, ia berkata, "Buang jauh-jauh pikiran kotor kamu, Sabrina."
Sabrina terdiam sejenak, lalu bersikap defensif. "Mana ada! Om Ustadz aja yang negatif thinking. Gue nggak mikir apa-apa, sumpah!"
Aiman tersenyum tipis, menatapnya dengan pandangan penuh arti. "Wajah kamu tuh kebaca banget. Nggak usah ngeles."
Sabrina hanya meringis, mencoba mengalihkan pembicaraan dengan cepat. "Udah, udah. Fokus ke makan. Abis ini gue mau belajar doa makan sama Om Ustadz deh."
"Bagus. Itu langkah pertama. Tapi kalau sampai besok kamu lupa, saya akan kasih hukuman," ujar Aiman setengah bercanda.
Sabrina mengerutkan dahi. "Hukuman? Apa tuh?"
Aiman tersenyum samar, lalu menjawab dengan tenang, "Kamu harus ikut pengajian setiap pagi sama saya. Mau?"
Sabrina langsung melongo, lalu tertawa kecil sambil berkata, "Anjir, Om Ustadz niat banget hukumannya. Yaudah gue hapalin, deh, daripada tiap pagi disuruh ngaji."
Aiman mengangguk, merasa sedikit lega. "Nah, gitu dong. Kan lebih baik kalau semua dimulai dari hal kecil dulu."
Sabrina melanjutkan makannya sambil mencuri pandang ke arah Aiman. Dalam hati, ia mengakui kalau ustaz satu ini memang sabar banget menghadapi dirinya. Tapi, ia juga tahu bahwa Aiman nggak akan pernah menyerah untuk membuatnya jadi lebih baik.