Deskripsi:
Di sebuah ruang sunyi yang dihiasi mawar merah dan lilin-lilin berpendar redup, seorang pengantin dengan gaun merah darah duduk dalam keheningan yang mencekam. Wajahnya pucat, matanya mengeluarkan air mata darah, membawa kisah pilu yang tak terucap. Mawar-mawar di sekelilingnya adalah simbol cinta dan tragedi, setiap kelopaknya menandakan nyawa yang terenggut dalam ritual terlarang. Siapa dia? Dan mengapa ia terperangkap di antara cinta dan kutukan?
Ketika seorang pria pemberani tanpa sengaja memasuki dunia yang tak kasat mata ini, ia menyadari bahwa pengantin itu bukan hanya hantu yang mencari pembalasan, tetapi juga jiwa yang merindukan akhir dari penderitaannya. Namun, untuk membebaskannya, ia harus menghadapi kutukan yang telah berakar dalam selama berabad-abad.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3: PINTU KE DUNIA LAIN
Pintu kayu itu terbuka perlahan, menimbulkan bunyi derit panjang yang menusuk telinga. Udara dingin menyeruak keluar dari dalam, menyelimuti tubuh Arjuna seperti kabut yang mengintai mangsa. Aroma mawar yang sebelumnya menenangkan kini berubah aneh—ada campuran anyir darah yang menusuk hidung, membuat perutnya terasa mual.
Lorong di balik pintu tampak gelap gulita. Dinding-dindingnya lembap, penuh lumut, dan sesekali terdengar tetesan air yang jatuh dari langit-langit. Namun, meskipun suasana begitu sunyi, suara lonceng aneh itu tetap bergema, memantul di setiap sudut, seolah-olah datang dari arah yang tidak dapat dijelaskan.
Arjuna berdiri di ambang pintu, kaki-kakinya berat untuk melangkah. Namun, ada sesuatu yang memaksanya bergerak maju, bukan kehendaknya sendiri. Seolah-olah kekuatan tak terlihat menariknya masuk. Lentera di tangannya bergoyang, cahaya kuningnya bergetar seperti takut menghadapi kegelapan di depan.
Langkah demi langkah, udara semakin menyesakkan. Suara lonceng yang semula samar kini terdengar lebih tajam, lebih menusuk, seolah-olah lonceng itu berbunyi di dalam kepalanya.
"Arjuna..."
Suara itu muncul lagi. Kali ini lebih jelas, lebih dekat, seperti bisikan yang langsung masuk ke telinganya.
"Siapa kau?!" Arjuna memberanikan diri bertanya, suaranya bergetar, dipenuhi ketakutan yang sulit ia sembunyikan.
Namun, tidak ada jawaban. Yang terdengar hanyalah gema langkahnya sendiri yang berat, bercampur dengan bunyi lonceng yang semakin memekakkan telinga.
Setelah berjalan tanpa henti, yang terasa seperti berjam-jam, Arjuna akhirnya tiba di ujung lorong. Di sana, ia menemukan sebuah ruangan besar yang kosong, dikelilingi kegelapan yang hanya diterangi oleh lilin-lilin kecil yang berkedip di sudut-sudut ruangan.
Di tengah ruangan, sebuah altar batu berdiri kokoh. Permukaannya tertutup kain merah tua yang sudah usang, dengan noda gelap seperti darah kering yang melekat di atasnya.
Namun yang paling menarik perhatian adalah buku besar di atas altar itu. Sampulnya hitam, dihiasi dengan ukiran mawar berduri yang mencuat ke luar. Lingkaran besar yang terbuat dari kelopak mawar merah dan bercampur dengan darah kering mengelilingi altar itu, memberikan aura mengerikan.
Arjuna tidak bisa melepaskan pandangannya dari buku itu. Ada sesuatu yang memanggilnya—bukan dengan kata-kata, tapi dengan perasaan yang dalam, seolah-olah buku itu memiliki jiwa yang ingin menyampaikan sesuatu.
Langkahnya mendekat. Tapi sebelum dia bisa menyentuh buku itu, sebuah suara berat menggema di belakangnya.
"Jangan sentuh!"
Arjuna berbalik dengan cepat. Lentera di tangannya hampir terjatuh saat ia melihat sosok itu—Vera.
Wanita dengan gaun merah itu berdiri di ujung ruangan, wajahnya putih pucat seperti mayat, dengan garis air mata darah yang menuruni pipinya. Matanya yang merah menyala menatap langsung ke arah Arjuna, menusuk jiwanya.
"Vera..." Arjuna berusaha mengendalikan suaranya. "Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kau inginkan dariku?"
Wanita itu tidak menjawab langsung. Sebagai gantinya, ia perlahan berjalan mendekat, langkahnya nyaris tidak bersuara, seolah-olah ia melayang.
"Aku tidak punya banyak waktu," katanya akhirnya, suaranya rendah dan dalam, penuh kepedihan. "Dia sudah tahu kau ada di sini. Kau harus membuka buku itu."
"Kenapa aku harus membuka buku ini?" tanya Arjuna, suara gemetar. "Apa yang ada di dalamnya?"
"Jawaban," jawab Vera singkat. "Jawaban untuk mengakhiri penderitaan ini."
Dengan tangan yang bergetar, Arjuna akhirnya mengulurkan tangan untuk membuka buku itu. Begitu ia menyentuh sampulnya, hawa dingin langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Sampul buku terasa seperti daging yang hidup—berdenyut, basah, dan dingin.
Saat ia membuka halaman pertama, tulisan berwarna merah perlahan muncul di atas kertas:
“Semua dimulai dengan pengkhianatan.”
Ketika Arjuna membaca kalimat itu, kepalanya berputar, dan pandangannya menjadi buram. Gambaran aneh mulai bermunculan di dalam pikirannya.
Dia melihat Vera, tetapi berbeda dari sosok menyeramkan di depannya sekarang. Ia melihat Vera yang cantik dan hidup, mengenakan gaun putih, sedang berdiri di sebuah taman mawar. Tapi di sisi lain, ada seorang pria yang wajahnya penuh kebencian.
“Kau pikir kau bisa kabur dari takdirmu, Vera?” suara pria itu bergema dalam kepala Arjuna.
“Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hidupku lagi!” balas Vera dalam gambaran itu.
Namun pria itu hanya tertawa dingin. "Kau salah. Aku tidak hanya akan menghancurkan hidupmu. Aku akan memastikan kau tidak punya tempat di dunia ini, bahkan setelah kematian."
Gambaran itu menghilang tiba-tiba, membuat Arjuna kembali ke ruangan gelap. Ia jatuh berlutut, napasnya tersengal, seolah-olah ia baru saja mengalami sesuatu yang nyata.
Tiba-tiba, suara tawa lirih terdengar, menggema di seluruh ruangan. Tawa itu dingin, penuh ejekan, seperti seseorang yang menikmati penderitaan orang lain.
Dari kegelapan, muncul sesosok pria tua dengan jubah hitam, wajahnya tertutup bayangan. Pria itu berjalan mendekati Arjuna, meskipun kakinya tidak menyentuh lantai.
“Jadi, ini yang kau pilih, Vera?” katanya sambil menoleh ke arah wanita itu. “Kau membawa manusia biasa untuk menyelesaikan apa yang kau mulai? Sungguh menyedihkan.”
“Diam!” teriak Vera, suaranya melengking, penuh amarah.
Pria itu tersenyum dingin. "Dia tidak akan bisa menghentikan aku. Kau tahu itu."
Sosok pria itu tiba-tiba menghilang, dan ruangan mulai bergetar. Lingkaran mawar di sekitar altar berubah menjadi api, membakar kain merah yang menutupi altar. Dari tengah api itu, muncul sosok menyeramkan, tubuhnya besar dan berlumuran darah. Duri-duri tajam mencuat dari kulitnya, seperti batang mawar yang hidup.
Makhluk itu mengeluarkan raungan keras, menggetarkan ruangan. Mata merahnya bersinar tajam, menatap langsung ke arah Arjuna.
Vera berlari ke arah Arjuna, meraih lengannya. "Kau harus menghancurkan buku itu!"
"Tapi bagaimana caranya?" tanya Arjuna panik, tubuhnya gemetar ketakutan.
“Gunakan darahmu!” teriak Vera. “Hanya darah manusia hidup yang bisa menghentikannya!”
Makhluk itu bergerak cepat, menyerang dengan cakar tajam yang hampir mengenai tubuh Arjuna. Namun Vera berdiri di antara mereka, menciptakan penghalang yang terbuat dari cahaya merah darah.
“Cepat! Lakukan sekarang!” teriaknya.
Arjuna tidak punya pilihan lain. Ia meraih belati kecil yang tiba-tiba muncul di altar dan menusukkan ujungnya ke telapak tangannya. Darah segar mengalir, menetes ke halaman terakhir buku.
Begitu darahnya menyentuh halaman, buku itu mulai bergetar hebat. Cahaya merah menyala keluar dari dalamnya, membakar setiap kata yang tertulis di halaman. Makhluk itu mengeluarkan raungan terakhir yang mengerikan sebelum tubuhnya mulai meleleh menjadi abu.
Namun, ruangan itu mulai runtuh. Batu-batu besar jatuh dari langit-langit, membuat segala sesuatunya bergetar.
“Arjuna, kita harus pergi!” Vera menarik lengannya, berlari menuju lorong tempat mereka masuk.
Saat Arjuna keluar dari rumah tua itu, ia terjatuh ke tanah, napasnya tersengal-sengal. Ketika ia menoleh ke belakang, rumah itu telah lenyap—tidak ada apa-apa kecuali hamparan padang ilalang yang sunyi.
Tapi meskipun semuanya tampak tenang, Arjuna tahu ini belum selesai. Vera berdiri di sampingnya, menatap lurus ke depan dengan ekspresi kosong.
“Ini baru permulaan,” katanya pelan.
Dan Arjuna sadar