Kelahiran Gara menjadi pertanda karena bertepatan dengan kematian Hybrid yang telah membawa malapetaka besar untuk daratan barat selama berabad-abad. Pertanda itu semakin mengkhawatirkan pihak kerajaan ketika ia belum mendapatkan jati dirinya diusia 7 tahun. Mendengar kabar itu, pemerintah INTI langsung turun tangan dan mengirimkan Pasukan 13 untuk membawanya ke Negeri Nitmedden. Namun Raja Charles menitahkan untuk tidak membawa Gara dan menjamin akan keselamatan bangsa Supernatural. Gara mengasingkan diri ke Akademi Negeri Danveurn di wilayah Astbourne untuk memulai pencarian jati dirinya.
Akankah Gara mendapatkan jati dirinya? Bagaimana kehidupan asramanya di Akademi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cutdiann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 29: THE BOND THAT GETS STRONGER.
Malam tiba dengan cepat tanpa terasa. Matahari masih tergantung di langit sana, dengan bintang-bintang yang muncul satu persatu. Saat ini, semua orang tengah menyantap makan malam. Sambil menikmati suasana kebun yang dihiasi dengan lampu-lampu taman, atau cahaya dari bunga-bunga.
Angin sepoi-sepoi kecil menyelimuti lembah Astbourne, sadar akan beberapa awan yang tiba-tiba menjadi kelabu. Suara-suara petir dan kilat menghiasi langit, seperti sedang terjadi pertempuran di atas sana. Membuat bintang besar dan kecil di langit kian menghilang, bersembunyi dibalik awan-awan.
"Ah, sepertinya hujan akan datang. Yang sudah selesai makan, langsung kembali ke asrama" itulah perintah Declan.
Aku pun langsung bangun, menyudahi makanku. Dengan langkah biasa, aku berjalan ke meja hidangan dan meletakkan piringku di sebuah meja kosong, sebagai tempat piring-piring kotor. Sayangnya aku punya pendengaran yang tajam, aku tidak sengaja mendengar beberapa orang membicarakanku di meja makan, mereka bilang, "Semenjak ujian selesai, Gara menjadi sangat diam."
"Dia terluka, dia mengalami hari-hari yang buruk di sana. Pantas saja, bukan?"
"Apakah seburuk itu?"
"Mungkin dia hanya melebih-lebihkannya saja."
Aku bisa mendengarnya, walau mereka mencoba untuk berbisik sekecil apapun. Ketika hendak keluar dari pondik makan, tiba-tiba Light kembali. Aku mempersilahkan Light untuk mendarat dibahuku. Semakin hari, dia semakin berat dan besar saja. Light pasti akan menjadi satu-satunya burung gagak yang besar, kuat, dan cepat.
Ketika semua orang masih melanjutkan aktivitas mereka, aku yang masih berdiri di setapak jalan perkebunan mengambil gulungan surat dari kaki Light. Ketika aku buka, aku sangat senang, melihat tulisan tangan kak Allegro yang ku kenal.
"Ah, Gara akhinya tersenyum. Surat itu pasti dari kakaknya."
"Entah kenapa, suasana menjadi lebih tenang saat suasana hati Gara seperti sekarang ini."
Kenapa mereka masih membicarakanku. Apa wajah senangku sangat kelihatan? Aku pun berjalan kembali ke asrama untuk membaca surat ini.
"Gara, mau kemana?" Pertanyaan Mr. Abraham membuat langkahku berhenti saat aku ada di persimpangan, ia sepertinya baru selesai dengan kelas terakhrinya.
"Ke asrama, aku ingin istirahat, dan membaca surat ini."
"Tunggu, kita harus mengganti perbanmu dulu. Anak-anak lain yang terluka, temui aku ruanganku" Mr. Abraham kembali melanjutkan perjalanannya ke kantornya.
Dia sangat memperhatikan kesehatan anak muridnya.
"Syukurlah kau punya orang-orang yang memperhatikanmu. Banyak di luar sana anak-anak yang hidup tanpa dilirik sekalipun oleh orang lain."
Kau sungguh berhati, Saga.
Light ku lepaskan, dan dia terbang menuju asrama. Aku penasaran kenapa dia ke sana. Aku pun mengikuti Mr. Abraham. Masuk ke dalam kantornya dan menuju lantai dua, di sana ruangan pengobatan Mr. Abraham berada.
Seharusnya aku diobati oleh para Healer yang ada di rumah sakit Akademi, namun Mr. Abraham mengajukan diri untuk mengobatiku secara pribadi. Dia tidak ingin mengejutkan para Healer Akademi dengan kondisiku, dan terlebih untuk menjaga rahasiaku.
Saat tiba di lantai dua, guru sedang mempersiapkan alat-alatnya seperti biasa. Aku tidak akan pernah bosan untuk masuk ke ruangan ini. Banyak sekali benda-benda yang membuatku betah untuk berlama-lama.
"Duduklah, aku akan membantumu melepas pakaian."
Begitu saja aku menurutinya. Tentu, jika tidak sangat berhati-hati, lukaku bisa saja terasa kembali. Setelahnya guru mulai melepaskan perban di tubuhku.
"Kau masih memikirkannya?" Tanya guru disela aktivitasnya.
"Bagaimana Mr. Abraham tau?"
Mr. Abraham menyentuh ruang antara kedua alisku, "Kau mengerutkan dahi dan alismu, tentu saja aku tau. Kau tidak biasa melakukannya."
Aku bahkan baru sadar aku mengerutkan dahi dan alisku. "Oh, benar."
"Kau di sini untuk apa?"
Pertanyaan itu membuat aku terdiam sesaat, guru juga pasti menyadari jeda itu, "Awalnya aku ingin mengasingkan diri dan menjari jati diriku, menjadi lebih kuat, menjadi lebih dewasa. Tidak ada yang benar-benar menjadi alasanku untuk datang ke tempat ini. Kadang aku berpikir, aku akan melindungi semua orang termasuk keluargaku dari bahaya apapun, tapi disisi lain, aku bahkan menjadi satu-satunya bahaya untuk mereka."
"Kau di sini untuk membuat orang-orang yang ingin kau lindungi aman darimu, kau juga ingin menjadi kuat untuk melindungi orang-orang itu. Kau anak yang sangat baik. Jika kau ingin itu terwujud, kau tidak boleh terlalu memikirkan sesuatu yang belum pasti terjadi" nasihat guru.
"Kau benar-"
"Guru, bagaimana dengan lukaku, apa perlu diganti perbannya?" Edward mengejutkanku, dia datang tiba-tiba.
"Kau menghancurkan tanganmu sendiri, tentu saja kau masih harus menggunakan obat ini" begitu respon Mr. Abraham sambil mengisyaratkan Edward untuk duduk dikursi yang masih ada.
"Bagaimana bisa kau menghancurkan tanganmu?" Tanyaku penasaran. Aku tidak bisa memendam pertanyaanku terus menerus.
"Bukan apa-apa-"
"Katanya, saat kau jatuh ke danau itu, seluruh permukaannya menjadi es. Tidak ada celah untuk kau bisa keluar dari danau itu. Edward menghancurkan sebagian permukaannya dengan tangannya sendiri, untuk bisa menyelamatkanmu dari sana" jelas Mr. Abraham memotong kata-kata Edward.
"Aku tidak mengatakannya- Mr. Abraham! Kau sudah berjanji..." Edward salah tingkah.
"Maafkan aku, hahaha."
"Benarkah Edward?" Aku menatapnya serius.
"Terserah kau saja, tapi syukurlah kau bertahan di bawah sana. Kau dan kebodohanmu itu, kenapa kau tidak berteleportasi?" Edward terlihat kesal.
"Aku kehabisan tenaga. Aku tidak tau hal itu akan terjadi."
"Aku sudah menduganya!"
Kami berdua terkejut bersama, karena kedatangn Chlea yang tiba-tiba juga. Dia masuk dan ikut duduk di samping Edward, "Aku sudah menduganya, karena aku melihatmu sendiri kekuarangan tenaga saat ingin berteleportasi di hutan waktu itu!"
Lihat, wajahnya yang ingin meledak, dan matanya yang mulai membendung air mata itu lagi. Kau masih ingin menangis saat berhadapan langsung denganku, Chlea.
"Kau ingin menangis?" Kataku, berharap dia benar-benar mengeluarkan semua air matanya yang sudah ia tahan-tahan.
"Aku... Aku tidak ingin menangis di depanmu, itu memalukan. Kau... Kau Alpha ku, bagaimana mungkin... Aku..."
Chlea menahan tangisannya, ia menutup seluruh wajahnya dengan telapak tangannya. Dia hendak menahan tangisan itu lagi. Suaranya membuat ruangan ini menjadi hangat. Segera aku menghampiri Chlea dan memeluknya ketika Mr. Abraham menyelesaikan perban di tubuhku.
"Aku penasaran, kenapa kau menahan tangisanmu. Seorang Beta tetaplah manusia setengah serigala. Menangislah, ceritakan kepadaku kenapa kau selalu ingin menangis saat berhadapan denganku?" Ucapku.
Saat aku selesai bicara, aku merasakan 3 aura lain tepat di luar ruangan. Itu adalah Ardan, Jack, dan Selena.
Edward kini mengambil giliran untuk digantikan perbannya, sementara aku masih berdiri memeluk Chlea. "Aku hanya tidak ingin... Kau terluka. Padahal kau sudah berjanji padaku untuk tidak akan disentuh Psychofágos lagi. Tapi... Kau..."
Aku mengusap punggungnya berirama. Ini mungkin akan membuatnya nyaman. Menangis lah sepuas apapun, aku sudah tidak tahan terus-menerus melihatmu menahannya. "Maafkan aku, karna tidak menepati janjiku."
Suara tangisnya benar-benar membuatku ikut hangat. Suasana ini juga pernah kurasakan, dulu sekali, ketika aku menangis. Aku lupa apa sebabnya. Yang tertinggal di ingatanku hanyalah kak Allegro memelukku. Membuatku merasa nyaman.
Kian lama, Chlea berhenti menangis. Aku melepaskannya dan memperhatikan wajahnya yang merah. Dia terlihat malu, tentu saja, Beta yang menangis di depan seorang Alpha. Kenapa dia bisa berpikir seperti itu?
"Sudah lega?" Tanyaku, dan dia hanya mengangguk. Kemudian, giliran Chlea untuk digantikan perbannya. Aku tidak pergi dari ruangan, rasanya aku ingin menunggu mereka. Edward bahkan ikut kembali duduk bersamaku.
Aku meraih pergelangan tangan Edward, "Kau tidak bisa berpikir panjang. Selalu saja seperti itu."
Edward membiarkan aku memperhatikan lekat-lekat tangannya, "Apa-apaan dengan 'selalu saja seperti itu' hah? Tidak seperti yang kuharap kan."
Aku tersenyum simpul, "Terimakasih lagi."
Perkataanku membuat Edward memalingkan wajahnya, tapi aku yakin dia senang sekali mendengar itu.
"Tapi kenapa kau melakukannya?" Tanyaku.
"Kau bodoh? Kau bisa mati membeku, lalu bagaimana dengan kami nanti? Kau juga tidak bisa berpikir panjang!" Celotehnya
Aku meletakkan kembali tangannya, "Iya, iya."
Setelah Chlea selesai, aku mengenakan kembali pakaianku, lalu kami bertiga keluar dari ruangan. Ada beberapa anak lainnya masuk sesudah kami. Di luar, aku benar menemukan Ardan, Jack dan Selena. Katanya mereka ingin menunggu kami. Rasanya, aku sedang mencoba lebih akrab dengan clanku sendiri. Aku tidak pernah berada diposisi ini sebelumnya.
Sesampainya asrama, kami menghabiskan waktu bebas kami dengan beristirahat di kamar masing-masing. Ternyata Light menjadikan sudut kasurku sebagai tempatnya istirahat. Aku lebih memilih untuk berada di atas kasurku, membaca surat dari kak Allegro.
"Kau akan membacanya, dari kakakmu 'kan?" Tiba-tiba Jack menghampiri kasurku. Dia naik dan tidur bersandar di sampingku. Bahkan dia juga mengenakan selimut yang sedang ku gunakan.
"Iya. Kau ingin mendengarnya?"
"Bolehkah?" Tanpa sadar, Chlea dan Ardan berada di kasur Chela.
"Boleh" jawabku.
"Aku juga ingin dengar" Edward bahkan ikut bergabung tiba-tiba. Aku tersenyum melihat mereka semua, lalu membuka gulungan surat itu.
"Tulisannya sangat indah" kagum Ardan.
"Angkara. Dorforwyn, Danveurn..."
Aku berhenti sejenak. Kenapa kak Allegro menulisnya dengan alamat yang berbeda?
"Hai adikku. Aku mendengar kisahmu dari surat yang kau kirimkan. Aku berharap kau tidak kenapa-kenapa setelah ujian itu. Sebenarnya, aku tau kau bisa menebak keberadaanku hanya dengan membaca alamat itu. Ya, aku sedang ada di Dorforwyn. Hanya aku dan ayah yang mengunjungi kerajaan Angkara. Kenaikan tahta ayah tak akan lama lagi, maka dari itu ayah mengurusi beberapa urusannya di sini. Bukankah kau penasaran, kenapa aku mau ikut dengan ayah ke kerajaan Angkara? Ya, aku akan mengunjungimu."
Aku membelalakkan mata, senang mendengar kak Allegro akan mengunjungiku.
"Tapi aku tidak tau kapan hari yang tepat melakukannya. Kudengar Vale dan 6 pasukan lain dikerahkan untuk mencari keberadaanmu. Dylan pasti mengatakannya. Aku akan menunggu Vale dan pasukannya mereda mematai Angkara pack. Mereka bisa saja mengikutiku saat hendak mengunjungimu. Aku tidak akan termakan jebakan seperti itu. Baiklah, jaga kesehatanmu. Entah kenapa aku mengkhawatirkan mu, seakan terjadi sesuatu padamu. Jangan mencoba berbohong kepadaku, ya? Katakan jika sesuatu telah terjadi. Secepatnya aku akan datang. Jika kau ada waktu, tuliskanlah surat untukku. Aku menyayangimu, Gara. Allegro."
Surat itu berakhir begitu saja. Namun rasa senangku belum berakhir. Aku tidak sabar ingin melihat kak Allegro. Semoga saja ada hari yang tepat untuknya datang ke sini.
"Wow, Pangeran Allegro akan datang! Aku tidak sabar ingin melihat wajahnya" begitu kata Chlea.
"Aku berharap dia datang secepatnya" ucapku.