Pedang Pusaka menceritakan tentang seorang manusia pelarian yang di anggap manusia dewa berasal dari Tiongkok yang tiba di Nusantara untuk mencari kedamaian dan kehidupan yang baru bagi keturunannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cut Tisa Channel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bentrokan Awal
Setelah melihat bayangan panglima Bu bersama ketiga anak itu melewati tempat yang sudah dibobol oleh Xiansu sebelumnya, kini kakek berambut putih itu segera bergegas menantang orang orang nya hartawan Ki yang berada di dalam.
Ramailah para pengawal dan algojo mengepung Xiansu. Bahkan ada pula dari pihak pendekar rimba hitam yang kena hasutan hartawan Ki di tengah pesta meriah itu.
Mulailah Kakek Xiansu di serang kanan kiri depan belakang. Namun disitulah terlihat bahwa legenda tentang manusia dewa berambut putih ahli beladiri ternyata benar adanya.
Jangankan terdesak, bahkan lewat puluhan jurus saja banyak antek antek bawahan hartawan Ki yang tak bisa lagi melanjutkan perlawanan.
Aliran khi mereka dihentikan oleh Xiansu dengan beberapa pukulan tangan Xiansu yang lembut itu.
Meski lembut kelihatannya, namun desiran angin dari tenaga yang dihasilkan tangan Xiansu dapat dirasakan oleh orang orang di sekitar ruangan tersebut.
"Banyak penyerang di luar, banyak tentara kerajaan menyerang, lari,," Seruan penjaga gerbang haryawan Ki mengagetkan mereka yang ada di dalam.
Apalagi antek dan bawahan si hartawan gendut itu. Mereka sangat kaget tiba tiba mendapat serangan mendadak dari luar.
Menghadapi Xiansu seorang diri saja mereka kewalahan, apalagi kini Xiansu mendapat angin atas berupa bantuan pihak prajurit kerajaan.
Maka banyak diantara mereka yang menyerah atau melarikan diri ke berbagai penjuru. Namun lebih banyak lagi yang kena tangkap tentara kerajaan dan semua di kumpulkan di pojok ruangan besar itu.
"Jenderal, Tuan Ki melarikan diri lewat belakang". Seorang prajurit berseru kepada panglima Bu.
Dengan sigap, sang panglima pun segera mengejar diikuti Xiansu yang kini menunggangi singa besar itu menuju ke belakang.
Ternyata hartawan Ki telah dapat meloloskan diri melalui jalan rahasia dengan kereta super cepat yang dimilikinya.
"Carikan aku kuda, cepat, sebelum dia lari jauh". Teriakan panglima Bu membuat para prajurit kelabakan mencari tunggangan secepat mungkin.
Mari kita kembali melihat ruangan pesta meriah yang indah tadinya yang kini telah menjadi amat berantakan.
Ruangan itu memang sangat porak poranda. Bagi semua tamu yang kini menjadi tawanan, segera di saring oleh tentara dengan petunjuk tiga anak dan beberapa orang dusun di sana.
"Bagi orang yang tinggal di dusun ini, jongkok di sebelah kiri, cepat!!". Seru komandan regu prajurit itu.
Setelah semua dipisahkan, para tawanan yang menjadi bawahan dan antek hartawan Ki segera di belenggu dan di arak menuju kota raja untuk di adili dihadapan kaisar.
Sementara yang tidak terlibat, dilepaskan setelah sebelumnya disuruh membereskan kekacauan dan serakan serakan yang ada disitu.
Sementara panglima Bu yang menunggang kuda bersama Xiansu yang menunggangi singanya masih terus mengejar hartawan Ki dalam kegelapan malam itu.
Saat keduanya melewati sebuah hutan lebat, tiba tiba ada beberapa jaring terbang melayang ke atas mereka.
"Suiiiirrtt,,, hiaaathh". Kakek Xiansu berhasil melepaskan diri bersama singa nya. Namun tidak dengan panglima Bu yang meskipun seorang ahli peperangan, namun jika disergap begitu, mana bisa dia melepaskan diri apalagi di dalam kegelapan malam.
Panglima Bu bersama kudanya pun terperosok ke sebuah sumur dangkal yang agaknya telah dipersiapkan oleh orang orang nya hartawan Ki.
"Hihihikk,,,, cluubphh,,"
"Celaka,". Seruan Xiansu berbarengan dengan tewasnya kuda tunggangan panglima Bu yang terkena besi runcing ranjau yang di pasang di sumut tersebut.
Untung saja sang panglima berada di atas kuda nya sehingga dia hanya tergores sedikit saja. Namun kuda tunggangan nya seketika itu juga tewas dengan mulut berbusa.
Dengan cekatan, Xiansu segera merobohkan beberapa orang penyerang yang ternyata adalah bawahan rendahan si hartawan Ki itu.
Saat menuju ke penyerang terakhir, Xiansu bertanya sambil menggertak,
"Cepat katakan, kemana Tuan mu pergi? Atau kau mau ku potong anu mu?"
"Ti,, tiidak, ja, janga kakek tua, Tuan Ki pergi ke kota raja".
Setelah melumpuhkan penyerang terakhir, Xiansu berencana melakukan pengejaran lagi seorang diri. Namun, teriakan kecil dari panglima Bu menghentikan langkah kaki singa itu.
"Tolong, Xiansu". Seru panglima Bu dengan nada lemah.
Begitu kakek tua itu mendekati panglima Bu, dia sedikit kaget melihat wajah pria paruh baya itu seperti orang keracunan. Saat dia memeriksanya, ternyata memang di setiap ujung besi runcing di sumur itu di oleskan racun paling mematikan.
Untung saja panglima Bu memegang ramuan sisa mengobati Siaw Jin kemarin dan langsung meminumnya.
"Kau terkena racun ular padang gurun. Mari kita pulang dulu ke dusun". Seru kek Xiansu seraya meletakkan panglima bu di atas punggung singanya, sedangkan dia berlari sambil memegang disampingnya.
Selang beberapa saat, keduanya pun tiba disana di sambut para prajurit yang segera menolong jenderal mereka.
Kek Xiansu pun sibuk membuat ramuan dengan bahan bahan yang ada. Adapun beberapa keperluan yang tidak ada disana, tentara kerajaan dengan sigap segera mencari ke dusun atau desa terdekat.
Setelah selesai ramuan yang dibuat oleh lel Xiansu, ramuan tersebut segera dibawa ke kamar belakang paling sudut dimana panglima Bu rebah di sana.
"Siaw Gin, ajak adik mu keluar sebentar. Kalian juga, semua pengawal segera keluar. Biar aku yang mengurus Bu Tai ciangkun bersama Siaw Jin". Seruan Xiansu dibarengi derap kaki mereka yang ada di kamar itu.
Siaw Jin yang dari tadi duduk di kepala panglima Bu, atas isyarat Xiansu segera merapat ke samping panglima yang sedang terbaring dengan napas agak berat.
"Siaw Jin, lepaskan seluruh pakaian atas panglima Bu". Perintah Xiansu pada anak 11 tahun itu.
"Baik Kakek". Jawab Siaw Jin sembari melakukan perintah Xiansu dengan sigap dan hati hati.
Segera terlihat di dada sebelah kanan panglima Bu bekas goresan dan beberapa tusukan benda tajam yang berwarna hitam hangus.
Xiansu dengan cekatan memberi ramuan yang dipegangnya dalam baki hingga membuat panglima gagah perkasa itu meringis kesakitan hingga tak sadarkan diri.
"Xiansu, paman Bu?" Seruan Siaw Jin panik.
"Tidak apa, biarlah dia pingsan agar obat ini cepat meresap". Sahut Xiansu sambil melangkah ke dipan yang berjarak beberapa meter dari panglima tua itu rebah telentang.
"Kemarilah Siaw Jin, duduklah". Xiansu berkata sambil memberi isyarat dengan menepuk tangannya tepat di sebelah tempatnya duduk.
"Siaw Jin, bukankah orang tuamu di kota raja?". Tanya kek Xiansu setelah Siaw Jin duduk di situ.
"Benar Xiansu, Ayahku tinggal di pinggiran kota raja di dusun Ciok Lin. Orang orang disana biasa memanggilnya Lim Siuchai".
"Apa tujuan kalian ke dusun ini? Mengapa kalian hanya bertiga saja? Mana pengawal kalian?" Pertanyaan Xiansu yang bertubi tubi itu, membuat Siaw Jin gugup juga.
Apalagi saat Siaw Jin menatap mata Xiansu yang bening dan serasa menusuk ke ulu hatinya.
"Maaf jika sebelumnya aku berbohong pada mu dan paman Bu. Sebenarnya aku di tugas kan oleh ayah untuk membawa kak Gin dan adik Kim pergi jauh dari rumah. Malam itu, ada beberapa orang yang datang ke rumah kami membawa senjata tajam. Lalu mereka menyerang semua pengawal dan penjaga disana. Kata salah satu penyerang itu, mereka diutus untuk membunuh putra mahkota. Saat itulah ibu membawa kami lari dari rumah hingga penyerbu itu menemukan kami. Ibu dan pengawal pun menghalau mereka dan ibu hanya berpesan agar aku menjaga kakak dan adikku serta membawa mereka pergi jauh dan jangan pernah kembali. Aku tau apa maksud perkataan ayah dan ibu itu. Begitulah kisah ku, dan tanpa sengaja kami sampai ke daerah ini".
Siaw Jin mengakhiri ceritanya dengan mata sembab dan basah menahan tangisan yang mengiris hatinya.
"Ternyata benar dugaanku. Apakah ada yang tau selain engkau cerita ini?"
"Ada kek, kakak dan adik,,"
"Maksud ku, bukan kejadian keluarga kalian dibunuh. Tapi tentang para penyerbu itu ingin membunuh putra mahkota. Siapa saja yang tau hal itu?".
"Hanya aku, ibu dan ayah serta beberapa penjaga yang pastinya sekarang sudah tewas". Jawab Siaw Jin sambil tertunduk memejamkan matanya.
"Mulai sekarang, jangan kau ceritakan hal itu kepada siapapun. Cukup kita saja yang tau". Seruan kek Xiansu yang terakhir bertepatan dengan bangkitnya panglima Bu dari pembaringannya.
"Xiansu, Jadi benar, dia, dialah anak itu. Dia lah Aisin Gioro Jinsian?"
panglima Bu yang baru saja pulih seperti mendapat tenaga baru hingga dia sekejap saja telah berada tepat di depan wajah Siaw Jin.
"Aduh, Bu Thai, mengapa kau cepat sekali bangun? Ya sudahlah, rahasia ini hanya kita bertiga yang tau. Jangan sampai hal ini bocor. Ok?" Seru Xiansu dengan wajah serius.
Sambil membungkuk dan bersujud di hadapan Siaw Jin, panglima Bu berkata,
"Hormat hamba kepada paduka. Semoga yang mulia paduka panjang umur".
Siaw Jin yang belum mengerti arah pembicaraan mereka pun melongo melihat hal itu.
"Aduuuhh,, apa aku bilang! Kenapa cepat kali lah dia sadar. Bu Thai Cingkun, cepat bangun. Jangan sampai hal ini dilihat orang lain. Bagi kita, beliau adalah Siaw Jin. Rahasia besar ini harus tetap tertutup rapat sampai kita bertemu Sri baginda kaisar". Ucap Xiansu yang terpaksa di turuti oleh panglima Bu.
BERSAMBUNG. . .