Menjadi ibu baru tidak lah mudah, kehamilan Yeni tidak ada masalah. Tetapi selamma kehamilan, dia terus mengalami tekanan fisik dan tekanan mental yang di sebabkan oleh mertua nya. Suami nya Ridwan selalu menuruti semua perkataan ibunya. Dia selalu mengagungkan ibunya. Dari awal sampai melahirkan dia seperti tak perduli akan istrinya. Dia selalu meminta Yeni agar bisa memahami ibunya. Yeni menuruti kemauan suaminya itu namun suatu masalah terjadi sehingga Yeni tak bisa lagi mentolerir semua campur tangan gan mertuanya.
Bagaimana akhir cerita ini? Apa yang akan yeni lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tina Mehna 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 3. CTMDKK
Mohon maaf anda siapa ya bu?”
“Saya mertua nya,”
“Oh iya, begini bu. Pasien sudah tidak memungkinkan lagi untuk melahirkan normal bu, Sudah ada robekan dan harus segera di tangani bu. pasien harus di rujuk ke rumah sakit.”
“Hah? Nggak bu bidan, mana ada uang ke rumah sakit.”
“Bu, pak. Mohon maaf sekali. sebaiknya anda sekalian harus segera bertindak bu, pak.”
Aku sudah merasakan sakit yang luar biasa. Tulang rusuk ku serasa di patahkan secara bersamaan. Tubuhku sangat lemas karena terus menahan.
“Mas,, sakit …” ucap ku melihat mas Ridwan dan memegang tangan nya.
DIa melepaskan tangan nya dariku. Seperti tidak ingin aku menyentuh nya. Aku semakin kesakitan semetara mertua dan bidan masih terlihat cekcok. Hingga tiba-tiba ku dengar suara orang lain yang ikut beradu mulut dengan mertua serta bidan juga. Aku tak kuat lagi, Ku ingin menutup mata ku, mataku sangat berat namun ku juga tak merasakan lagi bagian bawah tubuhku.
20 jam kemudian,
Aku membuka kedua mataku dengan perlahan. Aku merasa sangat lemas dan sangat haus.
“Haa uss, “ ucap ku dengan lirih.
Seseorang menyentuh sedotan ku kedalam mulutku. Langsung saja ku sedot itu, ternyata air. Aku langsung meminum banyak air. Setelah itu, aku teringat akan bayiku.
“Bayi ku? Mas, kamu ada di mana? Mas,”
“Di sini, anak kamu ada di samping,”
“Mana mas? Anak kita di mana? Aku kok nggak bisa lihat jelas mas,”
Dengan samar-samar, ku lihat mas Ridwan menggendong dan meletakan sesuatu di samping ku. Ku raba-raba, Terasa jemari kecil nan mungil ku pegang ini.
“Mas, Ini anak kita?” ucapku lagi menyakinkan diri.
“Iya ..” jawaban singkat dan datar yang ku dengar.
“Mas, Kenapa jawab nya datar gitu?”
“Biasa,”
“Kita kasih nama siapa ya mas?” tanya ku lagi.
“Terserah kamu aja,” jawab nya.
“Kok gitu mas? Em, udah kamu adzan ni kan mas?”
“Udah,”
“Ya sudah, kalau kita namai Reza terus belakangnya nama kamu saputra juga gimana mas?”
“Terserah, Ku mau keluar dulu,”
“Mas mau kemana mas?”
“Keluar, di dalem panas,” jawabnya.
“Sumpek? Bukannya ada AC ?” gumamku.
Dia tak menjawab dan mengacuhkan ku.
**
Beberapa hari kemudian setelah ku diperbolehkan pulang, Selama perawatan ku di rumah sakit, Mas Ridwan terus keluar dan jarang menemaniku di rumah sakit. Sementara mertua ku sama sekali tidak pernah ikut menjaga ku di sini. Selesai beberes, aku dan mas Ridwan pun pulang dengan menggunakan becak yang dia sewa.
“Mas, kenapa nggak pake taksi atau pesan online aja mas kan lebih cepat, Kamu juga kan nggak perlu mengayuh begitu. Jauh loh mas,”
"Kata mama kalau pakai taksi ongkos nya lebih mahal. Kamu juga harus mikir dong. karena kamu tabungan buat Syifa beli motor jadi habis. Seharusnya kamu bersyukur karena mama sudah kasih ijin gunain tabungan itu buat kamu."
"Kok gitu mas? Aku kan sering bilang ke kamu kalau kita harus nabung sedikit demi sedikit buat persalinan ku. Kenapa kamu malah lebih mementingkan motor buat adikmu mas?"
“Diam! Bisa nggak sih mulutmu diam? Atau ku tinggal saja kau di sini? Tanya terus, Berisik tau nggak! Sudah berulang kali aku kasih tau kamu Yeni. Mama dan Syifa itu tanggung jawab ku. Aku sudah cukup baik engga minta kamu ganti semua hak mereka ya !" Dia membentak ku sampai orang-orang di jalan melirik pada kami.
Deg!
"Mas... kok kamu bisa berfikir gitu mas." Hatiku sakit karena perkataan nya.
"Mas! Jangan bentak istrinya mas. Saya rekam loh mas." tiba-tiba orang yang ke memperhatikan kami berkata seperti itu.
"Jangan ikut campur ya!" Ancam mas Ridwan pada orang itu lalu dia menggayuh becak ini dengan cepat.
Aku pun diam hingga sampai di rumah, begitu sampai dia langsung masuk tanpa membantuku. Dia membuat pintu dan membanting pintu dengan keras. Aku hanya bisa mengelus dada dan bingung harus turun dari becak ini. Belum lagi aku harus berjalan ke dalam rumah. Namun aku nekat dan berusaha dengan sekuat tenaga turun dari becak ini dulu.
“Aaaaa sakit …” Ku masih merasakan sakit yang luar biasa di bagian perut dan juga bagian kewanitaan ku.
“Yeni? Kenapa?” Tanya Nesa tetanggaku.
"Eh eh Yen.." Aku juga mendengar suara ibu-ibu yang ternyata ada di rumah Nesa.
“Tolong aku Nes! Sakit sekali, ku nggak bisa turun.” Ucap ku meminta pertolongan padanya.
Dia menolong ku dengan menggandeng ku sehingga aku bisa turun dari becak. Ku hendak melangkah kan kakiku, Namun ku merasa tak kuat melangkah. Rasa nyeri sekaligus perih itu sangat menyakitkan. Aku pun berpegangan pada besi pagar yang ada di sampingku persis.
“Tolong Nes! Bayiku..” Ucap ku
Ku menyerahkan bayiku kepadanya. Setelah itu, dia pun menggendong bayiku lebih dulu. Dia juga masih memegang tangan ku agar ku tak terjatuh. Ku merasakan tubuhku ingin sekali duduk dan terbaring.
“Eh Yeni ! Aduh. Hey! Ridwan! Hey! Ridwan! Tolong! Hey!” Teriak Nesa memanggil Suamiku.
"Bagaimana sih itu Ridwan?"
Suamiku tak ada jawaban. Aku masih mencoba berjalan namun tak sanggup.
“Iihh, Hey Ridwan! Budeg sekali telinga mu itu! Aduh Yeni..”
Ku tak tahan lagi, ku dengan perlahan duduk di atas aspal.
“Yeni.."
Ku menahan sakit ku, sampai para tetangga bersama-sama mengangkat ku masuk kedalam rumah.
“Ya ampun Ridwan, Bisa-bisa nya kamu tinggalin istri dan anak kamu di depan. Kamu enak-enakan tidur. Lelaki macam apa kamu,” Ucap salah seorang tetangga.
Ku tak percaya mas Ridwan malah tidur tanpa membantuku masuk kedalam rumah.
“Argh, ganggu aja kalian. Berisik.” Suamiku terbangun dan marah lalu pergi dari rumah.
"Mas, kamu mau kemana mas? Mas !" teriakku namun dia tak bergeming dan lanjut berjalan pergi.
"Astaghfirullah." Ibu-ibu yang melihat hanya bisa mengelus dada.
"Sudah Yen, mari ku bantu masuk." Ucap Nesa lalu dengan ibu-ibu lain pun membantu ku masuk.
Setelah ku dibaringkan di kamar ku, aku pun sedikit lega.
“Yen, ini minum dulu,” ku dengar suara Bu fitri yang membantu meminumkan air padaku.
“Terimakasih bu,”
“Sudah, istirahat dulu. itu Bu Sarmi lagi menyusul Ridwan biar balik ke sini lagi.”
Aku pun mengangguk dan mencoba mengatur nafas ku.
“Yen, sudah makan?”
Ku menggelengkan kepalaku."Belum Bu"
“Ya Allah.. tega sekali ya Ridwan. Dia tidak tau berterimakasih dan tidak tau diri sekali. Istri melahirkan anaknya tapi dia tak peduli. Melahirkan itu mempertaruhkan nyawa loh. Memangnya dia nggak di kasih tau sama ibu nya? Kok bisa pikiran nya seperti itu?"
“Mana ada Bu Marni kasih tau begituan. Dia kan dari dulu memang suka ikut campur di pernikahan anaknya. Gila itu orang. “
“Iya juga ya bu? Bu Marni itu ngajarin Ridwan nggak bener. Masa kita nengok di rumah sakit kemarin. Dia usir saya, mbak hani, sama mbak mita bu. Sombong sekali manusia itu.”
“Huh iya juga. Dia pasti selalu sortir tuh keuangan Ridwan. Kasihan yeni, kalau ngomong iya selalu dikaitkan sama agama, tapi malah salah kaprah penjelasan yang sebenarnya. Aduh duh, Mertua nya seharusnya ya di sini ikut bantu apalagi .. udah ada 2 jahitan di tempat lahir bayi nya sama di perut nya lagi. waktu pulih nya lebih lama kan? Aduh mertua gitu mah ku nggak akan kuat yen yen”
“Sudah bu jangan ghibah lah, lihat kasihan yeni.. Bentar ya yen, ku ambilin bubur di rumah, kebetulan ku bikin bubur sumsum.” Ku dengar suara Bu Asih juga yang berbicara padaku.
“Ma makasih bu ibu,” ucapku memaksa tersenyum.
“Iya yen, udah jangan ngomong dulu. Banyakin istirahat aja.”
“Iya bu ibu.”
“Aduh anteng nya cah bagus. Kamu nlesani temen, kamu tau ya kalau ibu mu masih sakit? Duh, cah ganteng.” Ucap Bu Yati yang sedang menggendong anakku.
Beberapa menit kemudian, setelah ku di suapi bubur buatan Bu Asih, Ku merasa kenyang.
“Kamu istirahat dulu yen. Mumpung anak kamu masih tidur. Paling bentar lagi dia nangis lapar.” Ucap Bu Asih lagi padaku.
Bersambung