Di sekolah, Dikta jatuh hati pada gadis pengagum rahasia yang sering mengirimkan surat cinta di bawah kolong mejanya. Gadis itu memiliki julukan Nona Ikan Guppy yang menjadi candunya Dikta setiap hari.
Akan tetapi, dunia Dikta menjadi semrawut dikarenakan pintu dimensi lain yang berada di perpustakaan rumahnya terbuka! Pintu itu membawanya kepada sosok gadis lain agar melupakan Nona Ikan Guppy.
Apakah Dikta akan bertahan dengan dunianya atau tergoda untuk memilih dimensi lain sebagai rumah barunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellowchipsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perkelahian Dua Sahabat
...٩꒰。•‿•。꒱۶...
...𝙏𝙐𝘼𝙉 𝙆𝙐𝘿𝘼 𝙇𝘼𝙐𝙏 & 𝙉𝙊𝙉𝘼 𝙄𝙆𝘼𝙉 𝙂𝙐𝙋𝙋𝙔...
...© Yellowchipsz...
...—Estetika hujan menghidupkan asa bernyawa.—...
...꒰˘̩̩̩⌣˘̩̩̩๑꒱♡...
Tanpa disuruh pak Satria, Lingga menjawab, "Seni itu mahakarya yang dipuja karena memberi warna kehidupan, sedangkan hujan tak berwarna dan hanya dianggap indah oleh yang memujanya."
"Woaaah, Lingga Jorell!" sorak Puri dan murid lainnya bertepuk tangan.
Pak Satria berdeham dan hampir menyetujui pernyataan Lingga.
"Benar," ucap Dikta menoleh sinis ke arah Lingga, “karena lo golongan yang suka mengutuk hujan, lo anggap hujan nggak berwarna. Gue apresiasi pendapat lo, tapi ... gue diam sebentar bukan berarti gue nggak bisa jawab."
Pak Satria diam-diam menyeringai karena berhasil memancing kemampuan Dikta. Sungguh, pak Satria ingin mendengar jawaban dari adik sahabatnya itu.
Dikta lanjut berbicara kepada pak Satria. "Sebagai pengagum hujan, izinkan saya menjawab dengan bebas, Pak."
Pak Satria mengangguk sembari menguncir rambutnya berbentuk cepol, lalu ... menunggu jawaban unik dari Dikta.
“Silakan, Peringkat Tiga,” ucap pak Satria mengangkat muka untuk menantang Dikta.
"Dari pengagum hujan yang mengharamkan tandus semesta," ujar Dikta sebagai kata pembuka.
"Wooo!" sorak Puri dan murid lainnya terpukau akan kata-kata indah Dikta, kecuali Lingga.
Dikta lanjut berujar, "Yang kutahu, seni itu indah. Yang kutahu, seni itu membuat nyaman hati yang hampir mati. Yang kutahu, ada sebuah galeri mewadahi kemuliaan seni. Seperti itulah yang terjadi dengan hujan. Hujan itu penuh guna bagi seluruh makhluk hidup yang mengakui atau bahkan yang tak mengakui kerelaan hujan. Air karunia itu menebarkan warna indahnya melalui suara—tik ... tik ... tik—perlahan menderas sebagai lullaby yang kita sebut sebagai senandung nyaman pengantar tidur. Tak lupa, dunia sebagai wadah bagi hujan mempertunjukkan estetikanya yang menghidupkan asa bernyawa."
Pak Satria menganga dengan eskpresi ingin memindahkan kata-kata indah Dikta tadi ke dalam catatan smartphone-nya.
"DIKTAAA!!!" teriak Puri kagum tak menyangka jika Dikta akan memamerkan kata-kata indah setara seni, "Apa lo kerasukan Malaikat Hujan sampai sedetail itu ngejelasin tentang keindahan hujan?!"
Murid lain ikut takjub sampai membandingkan pernyataan si Peringkat Satu (Lingga) dengan si Peringkat Tiga (Dikta).
"Pernyataan yang terlalu panjang dan bertele-tele!" celetuk Lingga tidak suka.
"Pernyataan gue yang terlalu panjang atau pernyataan lo yang kekurangan gizi?" balas Dikta sarkas.
Lingga dibuat makin geram, "Lo!"
Pak Satria mulai bertindak sebelum terjadi pertikaian. "Saya terima semua jawaban cerdas kalian berdua! Nggak ada yang gundul untuk hari ini. Lima menit lagi istirahat. Bapak mau ke kantor dulu!"
...꒰˘̩̩̩⌣˘̩̩̩๑꒱♡...
Sekarang waktunya menyantap si Kentang yang katanya asam. Dikta mengunyah permen kentang kenyal itu perlahan untuk membuktikannya.
Ternyata, benar apa yang dituliskan oleh Nona Ikan Guppy di surat tentang permen itu. Dikta bisa merasakan manisnya perlahan, manis yang ringan dan tak membuat jemu.
Tersenyum, Dikta bisa bangkit usai kehilangan hal berharga miliknya karena kata-kata ajaib yang sering dituliskan oleh Nona Ikan Guppy.
"Diktaaa, jajan!" peluk Puri pada kepala Dikta dari arah belakang.
"Lepas atau gue gigit!" sebal Dikta lantaran tingkah Puri yang menguasai kepalanya.
"Syaratnya harus jajan sama gue dan Lingga!" paksa Puri.
Dikta tidak berniat ke kantin hari ini meski Puri menjelma menjadi momok kelaparan untuk mengajaknya keluar kelas. Mana bisa juga Dikta pergi bersama Lingga, yang ada suasana kantin menjadi awut-awutan karena tak terlihat pertanda damai di antara keduanya.
"Sama pacar lo aja cukup, kan? Lingga udah nungguin lo di luar, tuh!" sindir Dikta menatap malas Puri.
"Apa perlu gue mutusin Lingga, terus jadian sama lo ... baru lo mau ke kantin bareng gue, Ta?" balas Puri manyun dibarengi mengibas rambut pendeknya ke muka Dikta.
Dikta meniup poninya sebagai bentuk kejengahan dengan tingkah Puri. "Kalau Lingga dengar, lo tahu apa yang bakal terjadi?" bisik Dikta kesal, lalu mengusir, "Husss! Sana. Gue mau di kelas aja."
Puri menelan saliva dengan kejut saat melihat Dikta menyantap permen kenyal berbentuk kentang goreng kuning.
"Bagi, Ta!" pinta Puri mengandalkan kitty eyes.
"Never," tolak Dikta lesu.
"Pelit banget! Beli di mana, sih? Gue bisa borong sekarung!" sebal Puri tetap mencoba merebut permen itu, bahkan telunjuk dan jempolnya tanpa izin mengapit permen yang baru saja terjepit pada bibir Dikta.
"Pur-ikan!" geram Dikta tak ikhlas jika permen dari Nona Ikan Guppy direbut orang lain, termasuk sahabatnya sendiri.
"Nyammm!" Puri mengunyahnya dengan damai.
Hati Lingga tercabik melihat adegan itu. Dia berjalan cepat kembali ke kelas, lalu menarik lengan Puri.
"Puri! Lo ngapain barusan sama si Gila ini?!" marah Lingga cemburu.
Dikta berdecih, "Heh. Bukan gue yang gila, tapi Semesta!"
Napas Lingga kian menderu.
"Gue cuma minta permen Dikta doang, Lingga!" elak Puri yang ketahuan memakan permen bekas mulut Dikta.
"Nggak harus kayak gitu mintanya!" bentak Lingga.
Puri spontan cemberut dengan mata berair.
"Kenapa harus minta bekas gigitan Dikta? Lo bisa minta beli'in gue!" marah Lingga lagi.
Padahal, sejak tadi Dikta mencoba untuk tenang. Namun, Lingga seolah menguji kesabarannya yang setipis tisu bolong-bolong jika sudah bad mood.
Belum puas memarahi Puri karena cemburu, Lingga mengambil kasar tas Dikta. Kemudian, dia tumpahkan semua barang-barang Dikta yang berada di dalamnya hingga berserakan di lantai.
Dikta mencoba memadamkan energi panas yang berkumpul di dadanya.
"MANA?!" kesal Lingga karena tidak menemukan benda yang dia cari di dalam tas Dikta.
“Apa?!” tanya Dikta heran.
"Mana buku catatan milik abang lo?! Mau gue bakar tuh buku terkutuk! Belum sampai gue baca separuh buku, tapi bisa-bisanya bang Dirham nulis cerita asal-asalan yang isinya nggak bagus buat kesehatan mental gue! Gue sampai muak lihat muka lo!" amuk Lingga tidak tahan lagi.
"Lingga!" marah Puri, "Kenapa 'sih kalian nggak baikan aja? Gara-gara buku catatan bang Dirham, kalian berdua beneran nggak waras!"
"Kenapa?" tantang Dikta pada Lingga. "Gue heran sama Lo, Ga. Lo selalu bilang gue gila dan penuh khayal karena antusias dengan isi buku itu. Tapi kenyataannya, kenapa lo marah dan panik? Berarti lo juga percaya kalau tulisan abang gue bukan sembarang tulisan!"
Lingga terdiam sejenak dengan netra gemetar, tapi masih saja keras hati. "Di mana buku itu?!"
"Bukunya di rumah gue," jawab Dikta masih mencoba santai. "Kalau berani ... lo ke rumah gue dan hadepin dulu tuan rumah, nenek gue!"
Lingga kehabisan kata jika sudah membahas soal neneknya Dikta. Tak sengaja atensi Lingga tertuju pada sebuah kertas binder yang mencuat di bawah kolong meja Dikta. Dengan beraninya Lingga merampas kertas itu sampai merubahnya menjadi kusut.
"Wew, Nona Ikan Guppy?" kekeh Lingga dengan senyum mengejek.
"Kembalikan," pinta Dikta dengan tatapan tajam.
Lingga tertawa geli membaca balasan Dikta untuk si Nona Ikan Guppy. "Hahahah! Siapa Nona Ikan Guppy ini? Bisa-bisanya dia mau sama orang nggak waras kayak elo!"
Dikta memperingati lagi, "Kembalikan atau ...."
"Atau apa?" tantang Lingga mendekat sembari meremuk kertas binder milik Nona Ikan Guppy tepat di depan muka Dikta, "Dikta ..., Dikta. Lo mau matahin tangan gue kayak isi cerita di buku abang lo?"
"Tangan dan kaki lo sekalian," jawab Dikta dengan tatapan serius.
"HAHAH!" Lingga tertawa tak kuasa mendengarnya, lalu menghardik, "Gue benci sama abang Dirham lo yang gila! Dia udah bikin gue stres gara-gara tulisan busuknya itu! Gue teraniaya, makanya abang lo mati muda!"
Salah satu kaki panjang Dikta menendang tubuh Lingga sangat kuat hingga Lingga ambruk menghantam meja murid lainnya.
Murid-murid yang datang membawa jajanan langsung berteriak ngeri menyaksikan perkelahian antara dua bintang kelas itu.
"Hentikan!!!" teriak Puri menyesak. Dia berusaha melerai Dikta dan Lingga yang sudah kerasukan amarah.
“Minggir, Puri! Cowok lo udah berani menghina abang gue!” kesal Dikta sakit hati.
"Udah, Dikta! Jangan pukul Lingga lagi!" tangis Puri memohon. Karena terlalu kacau, Puri berlari keluar kelas untuk pergi ke kantor guru.
Murid laki-laki lainnya mencoba menghentikan kegaduhan. Namun, hajaran Dikta terlalu kuat sampai mereka ikut terhempas.
Dikta masih menerima jika dia dihina Lingga habis-habisan. Namun, sudah beda urusannya jika Lingga berani mencemo'oh abangnya. Bagi Dikta, abangnya adalah harta berharga miliknya yang akan selalu ia jaga meski sudah luput dari amatan mata dan pelukan.
Hujan di luar gedung sekolah makin lebat, laksana amarah Dikta yang meninggi untuk segera menghabisi Lingga.\~
Bersambung ... 👑