Leo XII, Raja Kejahatan Dunia, adalah sosok yang ditakuti oleh banyak orang, seorang penguasa yang mengukir kekuasaan dengan darah dan teror. Namun, ironisnya, kematiannya sama sekali tidak sesuai dengan keagungan namanya. Baginya, itu adalah akhir yang memalukan.
Mati karena murka para dewa? Sungguh lelucon tragis, namun itulah yang terjadi. Dalam detik-detik terakhirnya, dengan sisa kekuatannya, Leo XII berusaha melawan takdir. Usahanya memang berhasil—ia selamat dari kematian absolut. Tapi harga yang harus dibayarnya mahal: Leo XII tetap mati, dalam arti tertentu.
Kini ia terlahir kembali sebagai Leon Dominique, dengan tubuh baru dan kehidupan baru. Tapi apakah jiwa sang Raja Kejahatan akan berubah? Akankah Leon Dominique menjadi sosok yang lebih baik, atau malah menjelma menjadi ancaman yang lebih mengerikan?
Satu hal yang pasti, kisahnya baru saja dimulai kembali!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang Kuat Berkuasa
Leon dan Fiona berjalan menyusuri jalanan kota yang ramai. Fiona memeluk lengan Leon dengan erat, wajahnya dihiasi senyuman cerah seperti gadis yang sedang mabuk cinta. Sebaliknya, Leon terlihat santai, matanya menjelajahi keramaian di sekitarnya dengan pandangan penuh perhitungan.
Fiona mendongak menatap Leon, lalu memiringkan kepala dengan penasaran. "Hei, sejak awal kita bertemu, ada sesuatu yang menggangguku. Kamu memiliki aura yang sangat berwibawa, seperti seseorang yang memiliki kekuatan besar. Tapi... kenapa pakaianmu begitu sederhana? Rasanya itu tidak cocok dengan kesan yang kamu berikan."
Leon melirik Fiona sekilas, lalu tersenyum kecil. "Aku baru saja bangun dari tidur yang panjang. Bisa dibilang, saat ini aku sedang miskin." Jawabnya santai, nada suaranya seolah-olah hal itu bukan masalah besar.
Fiona mengerutkan alisnya, lalu menatap Leon dengan curiga. "Tunggu, jadi alasanmu mendekatiku sejak awal... Apakah itu karena kamu tidak punya uang? Dan kebetulan aku ada di sana, seorang wanita yang tampak mudah dimanfaatkan?"
Leon tertawa kecil, berusaha terlihat seramah mungkin. "Tentu saja tidak. Aku mendekatimu karena kamu memiliki sesuatu yang kusukai. Kalau tidak, aku pasti sudah meninggalkanmu di tempat itu." Katanya dengan nada lembut, meski sedikit menggoda.
Fiona mendengus pelan, lalu mengabaikan penjelasan Leon. "Baiklah, itu tidak penting. Tapi aku tidak tahan melihatmu berpakaian seperti itu. Wajahmu yang tampan benar-benar sia-sia dengan pakaian sederhana. Kita harus mengubahnya." katanya dengan nada angkuh namun tegas.
Sebelum Leon sempat menjawab, Fiona sudah menariknya ke sebuah butik pakaian mewah. Leon hanya mengikutinya dengan santai, langkahnya tidak tergesa-gesa.
Di dalam butik, Fiona dengan percaya diri memilih pakaian terbaik untuk Leon, mengabaikan semua masukan pria itu. Bahkan Leon, yang dulunya adalah seorang raja paling ditakuti, terlihat menurut di bawah kendali Fiona. Beberapa pegawai butik mencuri-curi pandang, kagum dengan betapa serasinya pasangan itu.
Setelah selesai, Leon kini mengenakan pakaian baru yang membuat penampilannya semakin memikat. Fiona tersenyum puas, menepuk bahu Leon. "Lihat? Sekarang kamu terlihat seperti seseorang yang benar-benar istimewa. Begini caranya memanfaatkan wajah dan auramu!"
Leon hanya tersenyum kecil, membiarkan Fiona menikmati kemenangannya.
Mereka kembali berjalan-jalan di kota, dengan Fiona masih memeluk lengan Leon seperti gadis yang enggan berpisah dari kekasihnya. Namun, langkah Leon tiba-tiba terhenti, matanya menatap tajam ke arah sebuah gang kecil di sisi jalan.
Fiona mengikuti pandangannya, lalu bertanya, "Ada apa?"
Leon menunjuk ke gang itu dengan dagunya. Di sana, beberapa orang terlihat terlibat dalam pertarungan mematikan. Bahkan, ada beberapa tubuh tergeletak di tanah, darah menggenang di sekitar mereka.
"Fiona," Leon mulai berbicara, suaranya terdengar datar tapi penuh rasa ingin tahu, "sejak kemarin, aku memperhatikan sesuatu. Ketika aku membunuh beberapa orang di penginapan, resepsionisnya bertindak seolah itu hal biasa. Dan sekarang, ini? Apakah semua ini normal di kota ini?"
Fiona tersenyum kecil, lalu menjawab santai, "Tentu saja. Kota ini adalah tempat di mana kekuatan menjadi hukum. Jika kau kuat, kau dihormati. Jika tidak, kau hanya menjadi mangsa. Uang juga punya kekuatan di sini—kau bisa membeli apa saja, termasuk keselamatan atau nyawa seseorang. Sederhananya, ini adalah surga bagi para kriminal."
Leon mengangguk kecil, matanya kembali mengamati gang itu. "Apakah tidak ada yang memerintah kota ini? Seseorang yang memberikan hukum dan aturan?" tanyanya, kali ini nadanya lebih serius.
Fiona mengangkat bahu, terlihat tidak peduli. "Mungkin ada, tapi aku tidak tertarik. Mengingat nama atau urusan orang lain itu membosankan. Hidupku terlalu berharga untuk mengurusi hal-hal seperti itu."
Leon tersenyum tipis, kembali melangkah. "Yah, aku hanya penasaran saja. Tidak terlalu penting."
Mereka melanjutkan perjalanan, meninggalkan hiruk-pikuk kota yang penuh dengan kekerasan dan intrik, sementara Fiona tetap menggenggam lengan Leon dengan erat.
"Apakah kau penasaran?" Suara dingin dan penuh arogansi menghentikan langkah Leon. Nadanya seolah-olah berbicara pada seseorang yang jauh di bawah derajatnya.
Leon berhenti melangkah, tatapannya jatuh pada sekelompok orang yang berdiri menghalangi jalannya. Matanya menyipit, dingin, penuh ancaman. "Siapa kau?" ucapnya datar. "Jika jawabanmu tidak memuaskan, aku akan menghabisi seluruh keluargamu."
Nada suaranya tenang, namun setiap kata terdengar seperti pisau tajam yang siap menusuk.
Fiona yang berada di sisinya hanya tersenyum tipis, meski matanya kini memancarkan kekejaman yang terpendam. Jika Leon tidak ada di sana, hasilnya mungkin akan lebih buruk bagi orang-orang yang berani mengganggu waktunya. Baginya, seseorang yang lancang harus membayar mahal atas tindakannya.
Namun, pria di hadapan mereka justru tidak terpengaruh. Wajahnya malah semakin sombong, seolah tidak takut sedikit pun. "Sungguh mulut yang arogan," katanya dengan nada mencemooh. "Kau tahu? Bahkan kriminal paling berbahaya di kota ini akan berlutut di depanku. Dan kau masih berani berbicara dengan begitu angkuh? Ketahuilah tempatmu!"
Leon mendengus pelan. Tanpa mengucapkan sepatah kata, ia mengangkat tangan kanannya dengan santai, lalu mengibaskannya ke udara. Seketika, badai angin yang dahsyat muncul, melanda dengan kekuatan yang cukup untuk mencabik-cabik tubuh manusia.
Pria sombong itu terhuyung, hampir saja tubuhnya terpotong-potong. Namun, seseorang melompat di depannya, melindunginya dengan tegas. Sosok ini mengenakan jubah hitam panjang, tudungnya menutupi sebagian besar wajahnya. Di tangannya tergenggam sebuah sabit hitam yang memancarkan aura mengerikan.
Leon menatap sosok itu dengan ekspresi datar, tetapi ada ketertarikan yang tersirat di matanya. "Menarik," katanya perlahan. "Aku hanya berniat menerbangkan beberapa sampah, tapi tampaknya ada yang cukup tangguh untuk menahannya. Katakan, siapa kau?"
Sosok berjubah itu tidak langsung menjawab. Suaranya akhirnya terdengar, tenang namun sulit dikenali apakah ia pria atau wanita. "Tuan," katanya, "cara anda menyapa seseorang terlalu kasar, terutama untuk pertemuan pertama. Klien saya di sini menjadi ketakutan. Jika dia tidak mampu membayar tagihannya karena anda, saya khawatir akan ada konsekuensi buruk untuk anda."
Leon tersenyum kecil, sinis. "Jadi, kau pengawal bayaran," katanya sambil mengamati sosok itu dengan lebih teliti. "Tapi karena kau berdiri di jalanku, aku rasa ini harus segera diselesaikan."
Leon mengangkat tangannya lagi, kali ini dengan keseriusan yang terpancar jelas di wajahnya. Aura di sekitarnya berubah drastis, menciptakan tekanan yang berat di udara. Fiona melangkah mundur sedikit, memberi ruang untuk Leon.
"Sekarang," katanya dingin, "mari kita lihat apakah kau cukup tangguh untuk bertahan lebih lama."