Orang bilang punya istri dua itu enak, tapi tidak untuk Kelana Alsaki Bragha.
Istrinya ada dua tapi dia tetap perjaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
“Mas –“
Kadara terkejut melihat tatapan Kelana yang berubah. Hasrat yang semula memuncak itu pun mendadak turun drastis.
“INI APA!” teriak Kelana.
Bak ada benda tajam yang menghunus dadanya. Ia tak ingin percaya pada yang dilihatnya, namun ia sangat yakin Kadara memiliki penyakit menular seksual.
“Mas, maksud kamu apa. Kamu –“
Kadara tak bisa menuntaskan kata karena baru pertama kali melihat kekasihnya marah. Seorang Kelana yang selalu lemah lembut padanya, ternyata bisa berubah saat sedang marah.
“Sekarang kamu jelasin, ini apa, Kadara?” Kelana menunjuk milik Kadara yang langsung ditutup.
“INI APA! BUKA!” Kelana menarik paksa kaki Kadara agar bisa kembali melihatnya.
“Ini –“ Kelana menunjuk benjolan aneh mirip jengger ayam yang tumbuh di milik Kadara. “Ini kutil kelamin, kan? Ini penyakit menular seksual, DARI MANA KAMU DAPAT PENYAKIT INI!” teriak Kelana.
Kadara ketakutan melihat kemarahan Kelana, tergesa-gesa ia pun bangkit untuk mengambil pakaiannya di lantai.
“Jawab pertanyaanku.” Kelana mencekal lengan Kadara. “Tolong jujur, apa kamu selingkuh? Sama siapa?”
“Lepas, Mas. Aku nggak selingkuh!” Kadara menepis tangan Kelana, lantas mengambil dressnya.
“Nggak usah bohong! Aku benci kebohongan! Apa arti 1 tahun kita pacaran kalau kamu udah dibobol orang?"
"Mas aku nggak selingkuh. Ini bukan penyakit, mas. Kamu harus percaya sama aku. Aku --"
"Jadi effortku yang ingin melindungi kamu itu sia-sia? Ternyata aku cuma disuruh jagain toko emas yang isinya dirampok maling?” Kelana seolah tak membiarkan Kadara menuntaskan kata, karena kepercayaan itu hampir sirna.
“Mas, dengerin dulu penjelasan aku –“
“Berapa kali kamu melakukan itu? BERAPA KALI! Sama siapa? SAMA SIAPA!” Kelana sudah tak bisa mengendalikan amarahnya. "Pasti sama laki-laki berpengalaman? Kamu dapat penyakit itu dari siapa, KADARA!"
“Mas, aku nggak kayak gitu. Tolong percaya aku.”
“CUKUP! Lebih baik pernikahan kita batal. Aku nggak mau kena penyakit menular!”
**
**
**
PRANG!
Kelana melempar kunci mobil saat sampai di rumahnya. Pria itu sangat amat kecewa pada calon istri yang sudah ia jaga sedemikian rupa. Rasa menyesal dan gagal pun semakin berbisik untuk membuatnya emosi, namun semuanya urung saat melihat ibunya menghampiri.
“Kelana? Anak ibu kenapa?” Agustina terkejut saat melihat kaca lemari hias yang pecah. Ibu beranak dua itu pun berdebar karena tak pernah melihat putranya tantrum.
“Kamu nggak papa kan, Nak?” Agustina mengecek tubuh Kelana yang tak ada luka apa-apa.
Kelana menarik tangan ibunya untuk duduk di sofa. Wajahnya sangat serius ingin membicarakan kelanjutan pernikahannya dengan calon istrinya.
“Bu, kalau misalnya pernikahanku dan Dara dibatalkan, apa ibu setuju?” tanyanya pelan-pelan.
“Ya Allah.” Agustina memegang dadanya yang sakit, sedangkan ia sudah sangat klop dengan Kadara.
"Gimana pendapat ibu?"
“Dibatalkan kenapa, Kelana? Persiapan pernikahan kamu itu udah 100% hampir selesai. Kalian tinggal ijab qobul. Kenapa tiba-tiba kamu bilang batal?” tanya Agustina.
“Aku berubah pikiran, Bu. Aku merasa nggak cocok lagi sama Dara.”
“Tuh kan, ibu bilang juga apa. Kalau mau menikah itu jangan banyak keluar rumah, jangan banyak ketemu calon, semua itu pamali, Kelana, PAMALI.”
“Bu, tolong stop bicara pamali. Ini nggak ada hubungannya sama pamali-pamali. Aku udah mantap ingin membatalkan pernikahan ini.”
“Ya tapi kenapa?”
Pertanyaan Agustina membuat Kelana bungkam. Ia bukan typical pria yang tega membuka aib orang.
“Kenapa harus batal, Kelana? Jawab ibu. Pernikahan kamu itu udah dipersiapkan secara matang. Kita udah keluar banyak uang tabungan. Ditambah lagi akan banyak tamu ibu dan tamu orang tua Kadara yang akan datang. Mau taruh di mana wajah ibu kalau semuanya batal?”
“Bu –“
“Satu lagi, ibu itu udah srek mau punya calon mantu kayak Kadara. Calon istrimu itu anak dari sahabat ibu. Bu Dewi itu teman ibu dari SMA, Pak Rusli juga teman Almarhum ayahmu dari kecil. Kami sudah saling cocok untuk jadi besan, Kelana.”
“Enggak, Bu. Pokoknya aku nggak bisa nikahi Dara. Aku punya alasan yang nggak bisa kujelaskan.”
“Nggak! Pokoknya ibu nggak setuju! Kamu harus menikahi Dara apa pun yang terjadi. Kalau enggak, lebih baik ibu mati.”
**
**
**
Di dalam kamar, Kelana sedang bingung ugal-ugalan. Ia tak bisa memberitahukan hal yang sebenarnya pada ibunya, namun tak bisa juga menolak ibunya yang sudah memaksa. Tapi jika mengingat penyakit yang menempel pada bagian tubuh Kadara, Kelana semakin kecewa hingga runtuh lah rasa cintanya.
“Nggak nyangka, perempuan yang udah kujaga baik-baik taunya bukan perempuan baik-baik. Ternyata istilah jangan pandang buku dari cover itu nggak sepenuhnya benar, sampulnya Dara memang sama dengan isinya. Busuk! Perempuan murahan!” umpatnya sangat kecewa.
“Dengan siapa kamu selingkuh, Dara? DENGAN SIAPA! 1 tahun kita bersama, apa pun selalu kuberikan, tapi ini balasannya?” Kelana berbicara pada foto Kadara yang menempel di dinding kamarnya.
Rasa kecewa itu semakin menjalar saat mengingat kebahagiaannya yang ingin lepas perjaka dengan wanita perawan, namun semuanya hancur karena jengger ayam.
TOK! TOK! TOK!
Ketukan pintu itu membuat Kelana menoleh, ia pun langsung melihat Harum – Kakak kandung Kelana, yang sudah berhasil menjadi seorang bidan di kota itu.
“Mbak? Ngapain ke sini?” tanya Kelana.
“Mbak disuruh ibu ke sini, padahal di klinik masih banyak pasien kontrol ibu hamil. Tapi untungnya ada asisten Mbak yang tanganin mereka,” sahut Harum, lantas duduk di hadapan Kelana.
“Oh, terus ibu lagi ngapain di bawah?” sahut Kelana.
“Ibu lagi masak, Bu Ajeng kan masih pulang kampung. Jadi nggak ada yang bisa bantu-bantu kerjaan ibu.”
“Loh, jadi Bu Ajeng belum pulang? Kasian dong ibu ngerjain kerjaan rumah sendirian?” Kelana jadi mengkhawatirkan ibunya.
“Suami Bu Ajeng meninggal, masa iya dia nggak boleh pulang kampung? Jangan jadi majikan yang kejam. Nanti juga Bu Ajeng balik lagi.” Harum mencubit lengan adiknya.
“Oh,” sahutnya datar.
“Adik Mbak yang paling ganteng ini kenapa? Ada masalah apa? Kata ibu, kamu mau batalkan pernikahan kamu sama Dara? Kenapa, Kelana? Apa kamu dan Dara bertengkar?”
Harum sudah mendengar semuanya dari ibunya, karena hanya anak-anaknya lah tempat Agustina mencurahkan isi hatinya.
Kelana memicing. “Jadi ibu udah ngadu sama Mbak?”
“Ya kalau bukan sama Mbak, sama siapa lagi? Cuma kita harta yang ibu miliki. Ibu udah nggak punya siapa-siapa lagi selain kita. Jadi Mbak harap kamu nggak kecewain ibu. Ibu juga yang udah berjuang sampai kita sesukses ini, kan?”
“Tapi aku beneran nggak bisa turutin kemauan ibu kali ini, Mbak. Aku tetap nggak mau ngelanjutin pernikahanku sama Dara.”
“Ya kenapa? Apa sebabnya?” Cara bicara Harum sangat lembut seperti wajahnya yang tenang.
Kelana membuka ponsel, lantas mensearching gambar yang sama dengan benda yang ia lihat pada anggota tubuh Kadara, dan ketemu.
“Ini namanya penyakit apa, Mbak?” Kelana memperlihatkan foto benda yang sangat mirip dengan milik Kadara.
“Ini –“ Harum menilik jelas sampai merebut ponsel Kelana. “Ini penyakit kelamin, Kelana. Sering disebut jengger ayam atau kutil kelamin.”
“Benar dugaanku,” gumam Kelana sangat pelan.
“Apa?” Harum tak mendengarnya.
“Nggak papa, Mbak. Aku cuma mau tanya, penyakit ini bisa menular lewat apa aja? Apa lewat hubungan seksual?”
“Tentu, orang yang sering melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang memiliki penyakit yang sama pasti akan tertular penyakit ini.”
Kelana mengepalkan tangan karena semakin kecewa pada Kadara.
“Kamu kenapa tanya soal ini, Kelana? Kamu punya penyakit ini?” Harum menyelidik.
“Bukan aku, Mbak. Tapi Dara.”
Harum terkejut saat mendengar penuturan adiknya. “Dara? Calon istri kamu punya jengger ayam?”
“Ya, tapi tolong jangan kasih tau ibu ya, Mbak. Mbak tau sendiri kan kondisi ibu?”
“Apa itu artinya kamu udah ngeliat organ kewanitaannya Dara? Kamu dan Dara udah melakukan hubungan suami ist ---“
Kelana memotong ucapan kakaknya dengan mengangkat tangan ke udara. “Ini juga yang aku takutkan, Mbak. Ibu juga pasti bakal kaget dan nuduh yang enggak-enggak kayak Mbak. Tapi aku berani sumpah, aku belum apa-apain Dara, aku masih perjaka, dan aku cuma liat aja.”
“Ya udah, tolong kamu bawa Dara ke klinik Mbak. Mbak ingin lihat sendiri ukuran dan bentuknya. Semoga aja itu bukan jengger ayam.”
**
**
**
Makan malam itu terasa sunyi karena hanya dihadiri Kelana dan ibunya saja. Tak ada suara apa pun yang keluar dari mulut mereka, selain suara sendok dan piring yang sedang beradu.
Ibu dan anak itu saling mencintai dan mengasihi karena sudah tak ada saudara satu pun yang mereka miliki. Namun jika sedang marahan seperti itu, Kelana jadi merasa bersalah pada ibunya.
“Mbak Harum mana, Bu?” tanya Kelana.
Pria itu memecah keheningan, berharap ibunya sudah melupakan permasalahan. Namun mimik Agustina yang tetap cemberut itu telah memberikan jawaban.
"Bu, Mbak Harum mana? Apa di kamar? Aku panggilkan, ya?"
“Udah pulang,” jawab Agustina ketus, sebelum Kelana meninggalkan tempat duduk.
“Kenapa nggak suruh makan dulu, Bu?”
“Mbakmu punya pasien melahirkan.”
“Oh.”
Kelana sangat canggung berbicara pada ibunya. Padahal selama ini mereka selalu cerewet dan membahas apa pun saat sedang bersama. Tapi semuanya mendadak berubah karena Agustina kecewa pada putranya yang ingin membatalkan pernikahan, padahal sudah habis puluhan juta.
Kelana menusuk-nusuk makanan karena jadi tak napsu makan. “Ibu marah?”
“Ya jelas marah. Muka ibu mau taruh di mana kalau kamu batalkan pernikahan ini? Ibu bisa malu pada Bu Dewi dan Pak Rusli. Lagian kenapa sih kamu tiba-tiba jadi gini? Bukannya kamu cinta sama Dara? Kamu nggak sabar mau menikahinya, kan? Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Apa kalian bertengkar? Pertengkaran apa sih yang nggak bisa diselesaikan?” nyerocos Agustina panjang lebar.
“Bu –“
“Assalamualaikum ....” Suara salam seseorang menengahi pembicaraan ibu dan anak itu.
“Wa’alaikum salam, Bu Ajeng?” Agustina berbinar saat melihat asisten rumah tangganya datang.
“Maaf saya baru balik, Bu. Saya harus selesaikan 7 hari tahlilan almarhum suami saya dulu,” sahut Ajeng – Asisten rumah tangga yang sudah bekerja hampir 6 tahun.
“Nggak papa, Bu Ajeng. Sini duduk dulu, Bu Ajeng pasti belum makan, kan?” ajak Agustina.
“Terima kasih, Bu. Saya memang belum makan, tapi apa saya boleh meminta tolong sama ibu?” tanya wanita berhijab itu.
“Minta tolong apa, Bu? Tinggal bilang,” sahut Kelana yang lanjut makan.
“Di luar, saya bawa anak saya, Mas, Bu. Saya belum bisa menyuruhnya masuk sebelum mendapat izin dari ibu dan Mas Kelana."
"Oh, ya udah suruh masuk aja, Bu," sahut Agustina.
"Tapi apa boleh anak saya tinggal di sini, Bu, Mas? Anak saya udah nggak punya siapa-siapa lagi di kampung. Rencananya saya juga ingin menyekolahkan dia di sini. Anak saya bisa disuruh apa aja dengan bayaran tinggal di sini kok, Bu, Mas,” jelas Ajeng.
“Nggak papa, Bu. Nggak perlu izin,” jawab Kelana yang mulai bisa menikmati makannya.
“Iya, Bu. Nggak papa kalau anak ibu mau tinggal di sini. Saya nggak keberatan, lagian saya juga udah menganggap ibu seperti keluarga di sini,” sambung Agustina.
“Alhamdulillah, Ya Allah. Terima kasih banyak, Bu, Mas. Saya panggil anak saya dulu.” Ajeng pun berlari meninggalkan Kelana dan Agustina.
Hening.
Hening.
Hening.
Suasana kembali tegang saat sudah tak ada siapa-siapa. Agustina pun kembali menyorot tajam wajah putranya.
“Makan yang banyak, Kelana. Kamu harus kuat ngeliat ibu mati kalau kamu nggak jadi nikah,” ujar Agustina kembali ketus.
“Bu –“
“Assalamualaikum,” Suara seseorang kembali memotong ucapan Kelana.
“Ck, waalaikum sa –“ Salam Kelana tak tuntas saat melihat si pengucap salam.
Kelana melihat seorang gadis yang sangat cantik natural. Tubuh gadis itu tinggi proporsional seperti seorang model, berkulit putih, hidungnya mancung, alisnya sangat tebal berbulu, rambutnya hitam pekat dan panjang terurai. Namun penampilan dan pakaiannya sangat kuno seperti orang yang datang dari desa. Bahkan gadis itu memakai sendal jepit swalow dengan keranjang ayam di tangannya. Keranjang itu pun tidak kosong, melainkan berisi ayam jago berjenis ayam pelung.
“Ini siapa, Bu Ajeng? Putri ibu?” tanya Agustina.
“Benar, Bu. Ini putri saya. Sekali lagi tolong izinkan anak saya tinggal di sini dan sekolah di sini ya, Bu,” pinta Ajeng.
“Iya, Bu. Nggak papa jangan sungkan,” jawab Agustina. “Nama kamu siapa?” tanyanya pada putri Ajeng.
“Nama saya Bening, Bu,” sahut gadis yang suaranya terdengar belia.
“Bening? Bagus banget namanya sebening orang,” ujar Kelana.
Agustina sontak memicing pada putranya. “Kamu akan menikah dengan Dara, Kelana. Tolong jaga hati dan mata,” omelnya.
“Oke, kamu kuliah semester berapa, Mbak? Perlu saya carikan kampus yang cocok?” tanya Kelana, ingin membantu.
“Saya belum kuliah, om. Saya masih S M P.” Jawaban bening membuat Kelana menganga.
‘Masih S M P udah subur kayak gini?’ batin Kelana.