Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Konspirasi di Balik Pintu Tertutup
Pagi itu, suasana di lokasi proyek terasa lebih sibuk dari biasanya. Mesin-mesin berat bergemuruh, para pekerja bergerak cepat dari satu tempat ke tempat lain, dan pengawas proyek sibuk mengawasi pekerjaan yang berjalan. Namun, bagi Raka, semua hiruk-pikuk itu hanya seperti latar belakang samar. Pikirannya dipenuhi dengan langkah berikutnya: bagaimana mengungkap kebenaran tanpa menempatkan dirinya atau orang lain dalam bahaya.
Setelah percakapan intens dengan Pak Hasan, Raka merasa semakin yakin bahwa ini bukan hanya tentang ketidakberesan finansial. Masalah ini jauh lebih dalam, melibatkan oknum berpengaruh yang berusaha menutupi korupsi mereka dengan segala cara. Namun, ia juga tahu bahwa waktu tidak berpihak kepadanya. Setiap hari yang berlalu meningkatkan risiko bahwa ia akan "dihilangkan" dari permainan ini, baik secara fisik maupun profesional.
**Informasi Rahasia dari Dalam**
Siang itu, Raka sedang memeriksa laporan harian ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal muncul di layar.
_"Jika kamu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, temui saya malam ini di Taman Menteng. Jangan bilang siapa-siapa."_
Pesan itu membuat Raka terdiam sejenak. Siapa pengirimnya? Apakah ini jebakan, atau benar-benar seseorang yang ingin membantunya? Ia memandangi layar ponselnya, mencoba mencari petunjuk dari kata-kata dalam pesan itu, tetapi tidak menemukan apa pun yang mencurigakan.
Setelah beberapa menit berpikir, Raka memutuskan untuk menghadiri pertemuan itu. Meskipun ada risiko, ia tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mendapatkan informasi baru.
**Pertemuan di Taman**
Malam itu, Raka tiba di Taman Menteng tepat pukul delapan. Tempat itu cukup sepi, hanya ada beberapa orang yang berjalan-jalan atau duduk di bangku taman. Ia merasa gugup, tetapi mencoba untuk tetap tenang.
Beberapa menit kemudian, seorang pria paruh baya dengan jaket kulit hitam mendekatinya. Pria itu membawa sebuah tas kecil dan menatap Raka dengan sorot mata yang penuh kewaspadaan.
“Raka, kan?” tanya pria itu dengan suara pelan.
“Iya. Anda siapa?” balas Raka.
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia memandang sekitar, memastikan tidak ada yang memperhatikan mereka, lalu duduk di samping Raka.
“Saya dulu bekerja di bagian keuangan proyek ini sebelum kamu masuk. Nama saya Haris,” katanya dengan nada rendah.
Raka mengangguk pelan, menunggu pria itu melanjutkan.
“Apa yang kamu temukan baru sebagian kecil dari masalah sebenarnya. Proyek ini sudah diatur sejak awal untuk menjadi mesin pencuci uang bagi beberapa orang di manajemen. Markup harga yang kamu lihat hanyalah salah satu cara mereka mencuri uang proyek,” ujar Haris.
“Kamu punya bukti?” tanya Raka dengan nada serius.
Haris mengangguk. Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan beberapa dokumen serta flash drive. “Ini adalah data-data transaksi yang saya simpan sebelum saya keluar. Mereka memalsukan invoice, mengalihkan dana ke rekening pribadi, dan bahkan membuat laporan fiktif untuk menyembunyikan kekurangan material.”
Raka memandangi dokumen-dokumen itu dengan perasaan campur aduk. Bukti ini bisa menjadi kunci untuk mengungkap seluruh skandal, tetapi juga menempatkannya dalam bahaya yang jauh lebih besar.
“Kenapa Anda memberikan ini kepada saya?” tanya Raka.
“Saya sudah cukup lama diam. Kalau terus seperti ini, mereka akan terus lolos dari hukum. Saya butuh seseorang yang cukup berani untuk melanjutkan ini, dan saya pikir kamu orangnya,” jawab Haris sambil menatap Raka.
**Pengejaran di Malam Hari**
Setelah pertemuan itu, Raka berjalan cepat meninggalkan taman sambil membawa dokumen-dokumen dari Haris. Namun, di tengah perjalanan pulang, ia merasa ada yang tidak beres. Sebuah mobil hitam tampak mengikutinya dari kejauhan.
Jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba mempercepat langkahnya, tetapi mobil itu semakin dekat. Akhirnya, ia memutuskan untuk masuk ke sebuah gang sempit, berharap bisa menghindari perhatian.
Tiba-tiba, dua pria bertubuh besar muncul dari ujung gang dan menghadangnya.
“Lo pikir bisa main-main sama proyek ini, ya?” kata salah satu pria dengan nada mengancam.
Raka mundur selangkah, berusaha tetap tenang. Namun, sebelum ia bisa mengatakan apa pun, salah satu pria itu mengayunkan tinjunya ke arah Raka. Dengan refleks cepat, Raka menghindar, tetapi pukulan itu tetap mengenai bahunya, membuatnya terjatuh ke tanah.
Saat pria itu bersiap untuk menyerang lagi, sebuah suara lantang terdengar dari belakang.
“Hei! Apa yang kalian lakukan?” teriak seorang pemilik toko yang keluar dengan tongkat di tangannya.
Kedua pria itu tampak ragu sejenak, lalu melarikan diri sebelum menarik perhatian lebih banyak orang.
“Mas, kamu nggak apa-apa?” tanya pemilik toko sambil membantu Raka berdiri.
“Terima kasih, Pak. Saya nggak apa-apa,” jawab Raka sambil menahan sakit di bahunya.
Setelah memastikan situasi aman, Raka segera meninggalkan tempat itu. Ia tahu bahwa nyawanya sekarang benar-benar terancam.
**Keputusan Terbesar**
Malam itu, Raka mengunci dirinya di kamar kos. Ia menatap dokumen-dokumen dari Haris sambil mencoba merenungkan langkah berikutnya. Apakah ia akan membawa bukti ini langsung ke pihak berwenang, atau mencoba mencari cara lain untuk melindungi dirinya?
Ia tahu bahwa melawan orang-orang berkuasa ini tidak akan mudah. Namun, ia juga tidak bisa diam. Dengan bukti yang ia miliki sekarang, ia memiliki peluang untuk mengungkapkan kebenaran, meskipun risikonya sangat besar.
“Kalau gue nggak maju sekarang, nggak akan ada yang berubah,” gumamnya dengan penuh tekad.
Pagi itu, sebelum matahari terbit, Raka memutuskan untuk menghubungi seorang jurnalis investigasi yang ia kenal melalui Nadia. Ia percaya bahwa mengungkapkan skandal ini kepada publik adalah satu-satunya cara untuk melawan mereka.
Namun, ia juga tahu bahwa langkah ini akan mengubah hidupnya selamanya.
Setelah memutuskan untuk melibatkan jurnalis investigasi, Raka merasa sedikit lega. Namun, ia juga sadar bahwa waktu tidak berpihak kepadanya. Orang-orang di balik konspirasi ini pasti sudah tahu bahwa ia memiliki bukti kuat untuk melawan mereka. Ia harus bergerak cepat.
Raka menghabiskan malam itu untuk memindai dan menyusun dokumen-dokumen yang ia dapatkan dari Haris. Setiap data diperiksa dengan teliti, memastikan bahwa tidak ada celah yang bisa digunakan untuk menyangkal bukti tersebut.
Ia juga menghubungi Nadia, meminta bantuannya untuk mengatur pertemuan dengan jurnalis investigasi keesokan harinya.
“Raka, kamu yakin mau lanjut?” suara Nadia terdengar khawatir di telepon.
“Aku nggak punya pilihan lain, Nad. Kalau nggak sekarang, kapan lagi?” jawab Raka tegas.
**Langkah Kecil Menuju Kebenaran**
Pagi itu, di sebuah kafe kecil yang jauh dari keramaian, Raka dan Nadia bertemu dengan seorang pria paruh baya bernama Reza, seorang jurnalis investigasi yang dikenal sering membongkar kasus-kasus besar.
Reza membaca dokumen-dokumen yang diserahkan Raka dengan seksama. Sesekali, ia mengangguk dan mencatat sesuatu di buku catatannya.
“Ini data yang luar biasa, Raka,” kata Reza akhirnya. “Kalau ini dipublikasikan, efeknya bisa besar sekali. Tapi kamu juga harus siap dengan konsekuensinya. Orang-orang seperti ini nggak akan tinggal diam.”
“Aku sudah siap, Mas. Aku tahu risikonya,” jawab Raka mantap.
Reza mengangguk dengan wajah serius. “Oke. Aku akan mulai menyelidiki ini lebih dalam dan menyiapkan laporan. Tapi aku butuh waktu. Pastikan kamu tetap aman sampai semua ini siap dipublikasikan.”
Setelah pertemuan itu, Raka merasa seperti beban besar sedikit terangkat dari pundaknya. Namun, ia tahu bahwa ini baru awal dari pertempuran panjang yang akan ia hadapi.
Malam itu, saat kembali ke kosannya, Raka duduk di dekat jendela dan menatap ke luar. Lampu-lampu kota Jakarta tetap bersinar, seperti biasa, memantulkan gemerlap yang tak pernah hilang.
Namun, di balik cahaya itu, ia tahu ada kegelapan yang harus dihadapi.
Meski ancaman mengintai di setiap sudut, Raka tidak merasa gentar. Bagi dirinya, perjuangan ini bukan lagi soal menyelamatkan kariernya atau melindungi dirinya sendiri, melainkan soal menegakkan kebenaran di tengah sistem yang busuk.
“Jakarta, lo keras. Tapi gue nggak akan kalah,” gumamnya sekali lagi, meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia berada di jalan yang benar.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)