"Ah, aku berada di mana?"
Sebuah tempat yang mengesankan! Sial, tapi ini bukan duniaku. Ini adalah dunia sihir! Tunggu, aku terjebak di dalam tubuh seorang pemuda hina yang memiliki sihir sama sekali.
Bodoh, kenapa aku ini mencintai seorang putri kekaisaran sedangkan aku bukan siapa-siapa?
Ahahaha tidak masalah, mari kita genggam dunia ini menggunakan sebuah kecerdasan yang luar biasa. Tidak apa-apa aku tidak memiliki sihir, tapi aku memiliki sebuah seni yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Ini adalah dunia yang dipenuhi oleh pedang dan juga sihir. Kau tidak punya sihir? maka kau akan dikucilkan. Tapi mari kita lihat, bagaimana pemikiran dunia modern diterapkan di dunia yang tidak pernah menyentuh sains yang menakjubkan. Juga, mari kita taklukkan dunia ini dengan sebuah kecerdasan dan perkembangan teknologi yang luar biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arachanaee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wabah Kolera
Cahaya matahari tiba-tiba merambat, menyinari katup mata Kazuto yang tertutup sehingga membuat dia semakin memejamkan matanya sebentar. Tapi saat itu, kesadarannya sudah kembali dan harus membuka matanya karena instingnya tahu bahwa hari ini sudah pagi hari.
Dia bisa melihat disekelilingnya hutan rimbun yang dirinya seperti berda di antara dua lereng yang memiliki jarak yang tak sempit. Paling tidak, syukur apabila cahaya matahari bisa menembus tempat ini walaupun keadaannya seperti hutan belantara. Di sekelilingnya, bekas api unggun dan sisa makanan menunjukkan bahwa dia baru saja berpesta tadi malam.
“Sekarang aku tidak tahu berada di mana, aliran sungai ini yang membawaku. Kazuto yang lama pasti sudah meninggal karena tenggelam, jasadnya terombang-ambing entah kemana sungai ini membawa. Aku juga pasti sudah jauh dari kekaisaran.” Ucapnya pada diri sendiri, “Tapi siapa yang peduli, jikapun aku tidak memiliki sihir, aku bisa hidup dengan sebuah kecerdasan modern.”
Bayangan Albert Einstein, Nicola Tesla dan juga Newton terlintas di pikirannya. Sekarang tidak peduli lagi memikirkan laboratorium yang terbakar, atau mungkin penkhianatan seorang kekasih. Namun ini adalah perjalanan kehidupan yang baru yang memang entitas tertentu seperti seorang dewa sedang membuat sebuah takdir pada orang yang bernama Kazuto ini.
Akan tetapi, apa yang harus dia lakukan pertama kali?
Dia ingin keluar dari hutan ini untuk mencari sebuah desa atau apa saja dengan cara menyisiri sungai yang ada di sampingnya.
Hingga beberapa lama, dia menemukan puluhan bangunan yang sebagian rusak. Tampaknya seperti sebuah pemukiman, hanya saja sungai di dekatnya tercemar, bau kotoran menyengat hidung, airnya saja terlihat sangat keruh dan juga kumuh sehingga Kazuto sendiri terlihat ingin muntah.
Ini menarik, sedikit. Mungkin saja dia bisa membuat sebuah peradaban dunia modern di sini. Walau dia tidak tahu kenapa mereka benar-benar sangat jorok. Juga kenapa beberapa bangunan ada sebagian yang hancur termakan oleh alam, dan sebagian masih tersusun rapi.
Kazuto pun datang untuk melihat-lihatnya. Sayangnya kondisi pemukiman ini sangat hancur, bukan hancur dari segi fisik, tapi dari segi apapun yang menunjang hidup mereka. Sawah tak terurus, ada beberapa ternak yang mati. Juga, dirinya menyium bau bangkai yang membuat dia muntah.
“Ada apa dengan pemukiman ini?” ucapnya sambil menutup hidung.
Ketika dia berjalan, salah seorang wanita yang mungkin bisa dibilang remaja keluar dari rumah gubuk. Kazuto berhenti sejenak. Wanita kurus itu menggunakan penutup hidung dan hendak ingin melakukan sesuatu. Akan tetapi, ketika wanita itu melihat Kazuto, dia agak terkejut dan langsung menuju ke arah Kazuto.
“Tuan, maafkan aku. Sebaiknya anda pergi. Ini bukan tempat yang bagus bagi tuan karena sihir buruk telah menimpa desa ini.” Ucapnya dengan nada yang begitu lembut.
“Apa yang terjadi pada desa ini?” Ujar Kazuto sambil mengerutkan dahinya.
“Separuh dari populasi penduduk meninggal karena sihir buruk. Mereka muntah, kotoran mereka encer. Hanya ada sekitar 30 penduduk yang hidup, di antaranya 5 yang sehat sehingga kami harus mengurus mereka. Setiap minggu akan ada yang meninggal, dan persediaan makanan kami juga menipis.”
“Itu rumahmu?”
“Ya, itu rumahku. Dan kedua orang tuaku terbaring di sana. Aku juga harus memberi makan penduduk yang lainnya.” Jawabnya dengan tatapan yang sedih.
“Bawa aku kesana.”
“Tapi tuan.”
“Tidak ada tapi-tapian!”
Wanita itu terpaksa mengangguk dan membawa Kazuto ke rumahnya. Dan Kazuto harus membuka matanya lebar-lebar dan menutup hidungnya dengan rapat-rapat saat tahu kondisi orang tua wanita itu buruk. Keduanya terbaring di atas ranjang dalam kondisi lemas dan juga kurus. Kotoran mereka berceceran kemana-mana yang tampak jauh lebih buruk. Tatapan mereka juga kosong seolah hendak menunggu kematian.
“Sungai yang kotor, diare, muntah. Desa ini bukan terkena sihir! Ini wabah kolera!”
“Wabah kolera?”
“Cepat, panggil semua rekanmu! Buat api sekarang juga!. Carikan wadah untuk merebus, carikan juga gula dan juga garam. Aku akan mencari air bersih.”
Ini bukan masalah sepele. Kazuto tanpa menjelaskan lebih lanjut dia memerintahkan wanita ini untuk segera mencari apa yang dia butuhkan. Lagipula ini bukan sihir buruk! Ini adalah wabah yang menimpa mereka. Wabah kolera yang pernah menimpa Afrika pada abad ke 19 yang mana penyebabnya adalah air yang terkontaminasi.
“A-aku adalah penyihir api. Tapi untuk apa?” Tanya wanita itu dengan penuh pertanyaan. Dia juga melihat Kazuto mengambil sebuah wadah berukuran besar sambil keluar dengan tergesa-gesa.
“Itu bagus, tapi jangan banyak tanya.” Jawabnya secara singkat.
Kazuto segera menuju sungai yang airnya belum tercemar, lebih teptnya dia bergerak ke hulu dan segera menimba air. Walaupun agak sedikit jauh, tapi ini bukanlah sebuah masalah. Baru, dia segera kembali dengan seember air.
Kemudian, ketika dia kembali, ada sekitar 5 orang. 2 laki-laki yang sudah dewasa, 1 wanita dewasa, dan 2 perempuan yang salah satunya adalah wanita tadi. Mereka semua segera dikumpulkan oleh wanita tersebut secara cepat untuk membentuk api di tungku. Dan dia juga berhasil mendapatkan gula serta garam walaupun hanya sedikit.
“Apa yang harus kita lakukan tuan?” Tanya wanita dewasa, yang berambut pirang dengan dada besar yang menonjol ke depan. Walaupun sebenarnya, dia sangatlah kurus.
Api yang dibuat oleh wanita itu besar, dengan bahan dari kayu kering. Kemudian ada kendi besar yang ada di sampingnya.
“Letakkan segera kendi itu!” Ucap Kazuto secara tergesa-gesa.
Dua pria meletakkan kendi di atas tungku. Kemudian Kazuto menruh air yang dia ambil ke dalam tungku untuk merebusnya. Ini adalah salah satu cara untuk membunuh bakteri yang tengah mengkontaminasi air.
“30 orang yang terkena wabah. Kita kekurangan gula. Apakah hanya ada gula ini saja?” Tanya Kazuto ketika dia melihat hanya ada 10 gula batu di wadah. “Cari ke seluruh rumah jika ada. Dan kalian para pria, carikan dua air lagi.”
“Baik tuan.” Satu wanita dewasa, dan dua pria itu langsung mengangguk tanpa banyak pertanyaan. Bahkan mereka tanpa curiga langsung melakukan perintah dari orang asing itu tanpa berpikir panjang.
Padahal, jika mereka curiga, banyak celah agar mereka curiga kepada Kazuto. Sayangnya mereka benar-benar polos. Tidak, Zuto tidak memiliki niat jahat. Mereka tidak curiga juga karena mereka dalam kondisi terdesak dan terpuruk. Jadi ketika ada secercah harapan, mereka harus memperjuangkan harapan tersebut.
“Tuan, apa yang anda buat, dan, siapa sebenarnya anda?” Tanya wanita yang pertama kali bertemu dengan Kazuto tadi dengan rasa penasaran.
“Aku sedang membuat oralit. Sebenarnya ini bukan penawar. Kasus kematian dari korela bukan disebabkan oleh muntah dan diare mereka secara langsung. Secara umum, itu karena mereka kekurangan cairan karena cairan tersebut dikeluarkan lewat muntah dan juga feses. Sehingga fungsi oralit adalah menjaga cairan tubuh mereka tetap terjaga.” Ujar Kazuto sambil menghela napas sebelum dia melanjutkan ucapannya, “Namaku adalah Kazuto. Kebetulan aku tengah tersesat dan bertemu dengan pemukiman ini.”
“Me-mereka bisa sembuh?” Tanya wanita yang satunya. Wanita dengan usia yang jauh lebih muda dengan wanita yang Kazuto temui pertama. Wajahnya memiliki tanda lahir tepat di bibirnya.
“Bisa, 90% aku menjamin mereka selamat. Tapi kalian harus membantuku.”
Mereka berdua saling memandang dan tersenyum bahagia. Bahkan hampir menangis. Harapan muncul di depan mereka. Mereka tidak akan lagi terkena sebuah nasib buruk sehingga membuat mereka tidak lagi mengeluh dan putus asa. Penduduk di desa ini juga akan selamat dan tidak akan terbaring di atas tempat tidur mereka dengan penuh kotoran.
“Terimakasih tuan, mohon bantuannya.” Ucap mereka secara serentak semua membungkukkan badan dengan senang. Menganggap bahwa Kzuto adalah seorang utusan dewa sekarang.
“Sebelumnya, perkenalkan namaku adalah Helen tuan.” Wanita yang pertama kali bertemu dengan Kazuto memperkenalkan diri. Kemudian di susul dengan wanita yang lebih muda.
“Namaku adalah Selena, Tuan.”