Pembaca baru, mending langsung baca bab 2 ya. Walaupun ini buku kedua, saya mencoba membuat tidak membingungkan para pembaca baru. thanks.
Prolog...
Malam itu, tanpa aku sadari, ada seseorang yang mengikuti ku dari belakang.
Lalu, di suatu jalan yang gelap, dan tersembunyi dari hiruk-pikuk keramaian kota. Orang yang mengikuti ku tiba-tiba saja menghujamkan pisau tepat di kepalaku.
Dan, matilah aku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Bripda Cikita Mengulik Tragedi Di Ba'an
"Ok, baiklah. Untuk sementara aku tidak akan memaksamu untuk mengatakannya kok." kata Bripda Cikita. "Yak, saat ini aku rasa sudah cukup sesi tanya jawabnya."
"Baik. Kalau sudah saatnya aku cerita, pasti akan aku ceritakan kok." jawabku.
"Setelah ini, kamu mau kemana Bu Cikita?' tanya Pak Jatmiko.
"Entahlah, saat ini saya sedang cuti, dan tanya jawab ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan saya. Saya juga bingung mau kemana lagi setelah ini. Hahaha."
"Riyona. Apakah sebaiknya kamu ajak Bu Cikita jalan jalan? Banyak tempat menarik di sini kan?" kata Pak Jatmiko sambil nyengir kuda kepadaku. Apa maksudmu oi pak Tua?
"Benar! lebih baik jalan jalan! Ayo, temanin aku!" seru Bripda Cikita penuh semangat.
"Tapi, aku harus menyelesaikan pekerjaan rumah ku. Banyak soal yang tidak aku mengerti. Maaf, lebih baik anda saja Pak Jatmiko." jawabku.
"Mana? Lihat? Siapa tahu aku bisa bantu." sahut Bu polwan cantik bernama Cikita itu.
Nex
Dia menjawab semua pertanyaan pertanyaan PR yang di berikan oleh Pak Nur dengan mudahnya. Dan dia mengajari aku rumus rumus yang sulit dengan gamblang, sehingga aku bisa mengerti dengan mudah. Tengkyu Bu Cikita, sudah cantik baik hati, pinter pula. Komplit deh.
Cukup dengan dua puluh menit saja semua PR ku beres. Dan dia menagih janji kepadaku untuk mengajaknya jalan jalan, padahal yang ngomong kan Pak Jatmiko, bukan aku. Dasar Pak tua sialan. Mau menjadi Mak comblang buat kami kah? Dia lima tahun lebih tua dariku lho.
Saat di depan rumah. "Dulu juga pernah ada tragedi kan?"
"Haa? tragedi? Kapan?" jawabku.
"Di tahun delapan puluhan. Ada dukun santet yang di eksekusi mati oleh korbannya."
Mak Jleb gaes. Itu kayaknya tragedi nya Pak Bejo dan Bogel yang di bantai oleh Mas Andri!!
"Hahaha. Tahun segitu aku belum lahir... Em Bu Cikita." jawabku.
"Jangan panggil 'Bu' donk. Aku jadi merasa sudah jadi Ibu Ibu nih. Panggil nama saja ya?"
"Kamu kan lima tahun lebih tua dari aku. Ga enak lah. Panggil Mbak Cikita gimana?"
"Tidak. Panggil nama saja. Lihat, saat kita berdekatan, kita terlihat seumuran kan?" dia berpose centil layaknya anak SMP pada umumnya.
"Terserah deh. Kalau boleh tahu, Mbak..." dia melotot ke arahku saat aku memanggilnya Mbak. "Eeh, anu... Cikita...." dia langsung tersenyum manis sambil ngedip ngedip kan matanya. "Kamu tau cerita soal dukun itu dari mana?'
"Cuma baca dari arsip di kantor polisi. Karena ceritanya sangat tidak masuk akal, kasus itu di tutup tanpa ada tersangka yang di tangkap satu pun."
Oh, jadi itu alasannya kenapa Mas Andri tidak tersentuh hukum. Karena memang, menurut cerita Efi saja sudah ga masuk akal. Jadi, buat polisi yang selalu mengedepankan logika, hal itu tidak bisa mereka terima. Apa lagi mendengar orang bisa hidup lagi dan lagi setelah kepalanya hancur berantakan. Kan ga lucu, ya kan gaes?
"Ooh. I see."
"Di dalam arsip itu, di jelaskan kalau pelaku pembunuhannya melakukan aksinya itu atas dasar rasa dendam pribadi. Karena semua saudaranya di santet sama korban. Dan salah satu korbannya sampai akhir kasus di tutup, belum pernah ketemu."
Aku mangguk mangguk. Karena aku yakin, yang dia maksud adalah aku. Tapi, mana mungkin dia menyadarinya. Ya kan gaess?
"Nama salah satu korbannya adalah, Riyono Harianto. Sama dengan namamu, kok bisa ya? Apakah kebetulan saja?" dia menatapku dengan tajam dari jarak yang sangat dekat, sehingga hidungnya hampir menyentuh hidungku.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Mencoba berpaling muka, tapi kedua tangan Bripda Cikita menahannya, sehingga wajah kami tetap saling bertatapan.
"Kiyaaa!!! Riyonooooo!!! Ciuman!!!' suara cewek mengejutkan ku dari arah belakangku. Reflek, tangan Bripda Cikita langsung mendorong wajahku supaya menjauh, sedangkan aku gelagapan sambil menoleh ke arah pemilik suara tadi. Lenny!!
"Apaan sih Len?" teriakku.
"Kakakakaakmmmuu... Cicicicicummamaan!!! Ssaaaassaaamamamaa ceeceecweeekk canntttiiikkk!!"
"Sembarang!! Kamu salah... Kita cuma..."
"Cuma apa? Wajah kalian saling berdekatan, saling tempel. Kalau ga ciuman, apa lagi namanya?"
"Oiii.. Bu Cikita!! Coba jelaskan ke dia!!"
"Kamu manggil aku apa tadi?" jawab Bripda Cikita sambil melotot ke arahku.
"Aa. Anu, Cikita, jelaskan kebenarannya kepada temanku itu dunk. Kita tidak..."
"Kita tidak ciuman kok." kata Bripda Cikita.
"Tuh, dengerin!!!" seruku ke arah Lenny.
"Kalau kamu ga ganggu pasti kita sudah ciuman!" sambung Bripda Cikita sambil tersenyum jahat.
"Oiii!!"
Nex
"Oh... Jadi anda Bu polwan yang kemarin itu ya? Maaf saya tidak mengenali Anda. Soalnya anda berbeda sekali hari ini." kata Lenny ketika Bripda Cikita menjelaskan apa yang sedang terjadi barusan.
"Tidak apa apa kok. Santa saja." jawab Bripda Cikita. "Aku terbawa suasana karena wajahnya Riyono memerah ketika aku godain."
"Berisik!!" dan mereka berdua tertawa terbahak bahak. Sedangkan aku tertunduk malu. Sialan kau polwan Cikita!!
Nex
"Lalu, apa yang selanjutnya tertulis di arsip itu?" tanyaku untuk mencoba mengalihkan pembicaraan yang sedari tadi bikin aku malu setengah mati.
"Polisi memang datang dan memeriksanya, tapi. Mereka tidak ada yang percaya, dan menyuruh para warga tidak membesar besar kan perkara itu. Dan, kasus di tutup begitu saja. Kamu tahu tempatnya?"
"Maaf, saya tidak tahu." jawabku.
"Ayolah, jangan pakai kata kata sopan kalau kita sedang berbicara. Pakai kata kata biasa saja." protes Bripda Cikita.
"Kasus apa sih?" tanya Lenny. Dan Bripda Cikita menjawab pertanyaan Lenny selengkap mungkin. "Ohh.. Kata ibuku, dia dulu juga pernah mendengar kisah itu."
"Eh? Kamu tahu kisah itu?" tanyaku.
"Tentu saja. Buat para warga Mulyorejo, kisah itu sudah seperti legenda perkotaan. Urban legend."
"Dik Lenny tau tempatnya?" tanya Bripda Cikita.
"Tau." Jawabnya.
"Bisa antar aku kesana?"
"Tidak! Jangan! Tidak boleh. Tempat itu di kenal sebagai Desa terkutuk! Dan, disana berbahaya!!" seru ku.
"Jadi, kamu memang tau kasus itu kan? Riiyoonooo???" tanya Bripda Cikita sambil mendekatkan wajahnya kepadaku seperti tadi. Lenny langsung menjewer telingaku supaya wajahku dan wajah Bripda Cikita tidak saling berdekatan. "Idih, ada yang cemburu."
"ehjehejshakashsh!!!" Lenny berteriak tidak jelas sambil berusaha untuk menyerang Bripda Cikita. Dan Bripda Cikita tertawa puas melihat kami berdua yang salah tingkah dan berlari kesana kemari untuk menghindari serangan Lenny Anggraini.