Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Kurasakan hentakan yang sangat kuat di tubuhku. Kutarik nafas panjang. Ternyata aku masih hidup. Lalu membuka mata perlahan.
"Novita, Sayang," ucap Ayah yang sudah ada di hadapanku.
Melihat wajahnya membuat amarahku kembali meningkat. Gara-gara dia, leon, Kevin dan Mbok Wati meninggal dunia. Dia pula yang menyebabkan bunda tidak sadarkan diri.
"Novita." Tangannya berusaha menggapai rambutku, tapi kutepis. Tak sudi rasanya disentuh oleh seorang pembunuh.
"AYAH JAHAT!" hardikku sambil mendorong tubuhnya dari tempat tidur.
"Maafkan ayah, Sayang."
"Sayang? Ayah gak pantes bilang sayang sama Novita. Tega-teganya ayah membunuh Kevin dan leon. Itu darah daging ayah sendiri!"
"Ayah terpaksa," balasnya tertunduk.
"Waktu itu gak ada jalan lain. Kolega bisnis ayah semuanya pergi, menghindar. Tidak ada yang mau membantu. Pihak bank terus mendesak agar pinjamannya segera dilunasi, atau rumah akan di sita. Ayah gak bisa ngebiarin itu, Novita. Jadi menuruti saran seseorang untuk mencoba pesugihan," sambungnya.
"Dan ayah malah mengikuti sarannya?"
"Maaf. Semua demi kalian juga. Ayah tidak mau hidupmu dan kedua adikmu sengsara."
"YA! Sekarang hidup Kevin dan leon gak akan sengsara, karena mereka sudah meninggal. Lalu, tinggal menunggu giliran Novita. Apa yang ada di pikiran ayah sampai tega berbuat sekejam itu?"
"Seharusnya leon dan Kevin gak jadi korban. Gara-gara Mbok Wati, semuanya jadi berantakan."
"Sekarang ayah malah menyalahkan Mbok Wati? Dia jauh lebih baik dari ayah!"
"Dukun itu bilang hanya membutuhkan satu tumbal untuk memulai perjanjian. Dan itu harus salah satu anggota keluarga," jelasnya.
"Jadi, awalnya ayah hanya akan menumbalkan bunda. DASAR JAHAT!"
Ayah menggangguk pelan. Air matanya semakin deras. Namun, aku tidak peduli lagi dengannya.
"Gak usah pura-pura nangis!"
"Ayah nyesel, Novita."
"Percuma udah terlambat."
"Perempuan sialan itu berhasil selamat karena bantuan Mbok Wati. Dan ayah harus kehilangan Kevin dan leon."
"AYAH!" hardikku.
"Jangan sekali-sekali bilang bunda seperti itu!" sambungku.
"Novita... ayah sadar sudah melakukan dosa besar. Ayah juga sangat mengerti kalau kamu tidak akan memaafkan ayah. Tapi ayah mohon untuk terakhir kalinya. Cepat kembali ke Jerman. Ayah gak mau kamu jadi korban berikutnya."
"GAK!"
"Novita, sekali lagi ayah mohon. Sekarang juga pulang ke Jerman."
Ayah terus memohon sambil terduduk di lantai. Air matanya itu tidak bisa menyembuhkan lukaku yang begitu dalam. Seorang ayah yang seharusnya menjadi pemimpin bagi keluarga kecilnya. Malah menjadi pembunuh berdarah dingin. Hanya demi uang.
"Novita lebih baik berhenti kuliah dan pulang ke Indonesia. Lalu tinggal bersama keluarga kecil ini di rumah kontrakan. Daripada harus hidup seperti ini, sendirian tanpa keluarga. Beruntung bunda selamat, jadi nanti Novita bisa hidup berdua sama bunda." Aku pun mulai menangis.
"Dari awal ayah udah bilang jangan pulang, tapi kamu gak nurut. Malah pulang tanpa sepengatuhan ayah. Sekarang makhluk itu udah ngincar kamu. Ayah gak bisa liat kamu jadi korban berikutnya."
"Kalau Novita gak pulang. Selamanya gak akan tau kalau ayah ternyata orang jahat," ucapku terisak.
"Lagian, apa bedanya Novita sama leon dan Kevin? Kita bertiga sama-sama anak ayah. Sekarang kalau perempuan ular itu mau membunuh Novita. Novita udah siap! Biar Novita bisa nemenin Kevin dan leon di tempat dia," sambungku
*
Aku bangkit dari tempat tidur. Saat mencoba untuk berdiri, tiba-tiba kakiku terasa tak bertulang. Lemas sekali.
Dug!
Aku terjatuh ke lantai.
"Novita." Ayah bergerak menghampiriku, berusaha membantuku berdiri. Namun kembali kutepis uluran tangannya. Dengan tenaga yang tersisa aku memegang ujung tempat tidur dan berdiri.
"Mau kemana, Kamu?"
"Apa peduli, Ayah? Novita bebas mau ke mana aja!" balasku ketus sambil berjalan perlahan ke luar kamar.
"Barang-barang kamu sudah ada di mobil. Sekarang mending ikut ayah ke bandara!" Sepertinya ayah sangat serius ingin memulangkanku ke Jerman.
"novita gak mau pulang!"
"Maaf, Sayang. Kali ini ayah memaksa." Ayah menarik lenganku, kemudian mengangkat tubuhku. Aku tidak bisa melawan. Tubuh ini sudah benar-benar lemah.
Dug!
Dug!
Terdengar suara benda terjatuh yang cukup keras, saat ayah membawaku melewati ruang tengah. Arah suara itu masih sama, dari arah kamar leon dan Kevin. Kulihat ayah menengok sebentar ke sana. Kemudian mempercepat langkahnya menuju mobil.
Aku didudukan di bangku tengah, bersama satu koper dan tas ransel milikku. Dengan terburu-buru, ayah menyalakan mobil dan pergi meninggalkan rumah.
Di tengah perjalanan, ayah sempat berhenti sebentar di sebuah supermarket. Dia ke luar mobil lalu masuk ke supermarket itu. Sementara aku, tidak diperbolehkan ke luar dari mobil.
Saat sedang menunggu ayah kembali, aku terus memikirkan sesuatu. Apakah ayah akan melepaskan bunda saat dia sadar nanti? Jika tidak, kemungkinan besar bunda sedang dalam bahaya. Tiba-tiba terlintas sebuah ide untuk mengelabuhinya.
Beberapa menit kemudian, ayah kembali. Dia membawakanku satu bungkus roti sobek dan dua kotak susu kemasan.
"Kamu sarapan dulu. Takutnya nanti sakit." Ayah menyerahkan Roti Sobek dan Susu Kemasan itu.
Kali ini aku tidak menolaknya, karena untuk menjalankan rencanaku diperlukan energi yang cukup.
Mobil pun kembali melaju meninggalkan supermarket. Kini ayah langsung mengarahkannya ke bandara. Tak ada sedikit pun kata terucap dari bibirnya. Sorot matanya hanya berfokus pada jalan raya.
"Mending sekarang kita balik ke rumah," ucapku.
"Ada apa?" tanya Ayah sedikit melirik padaku.
"Passportnya ada di laci nakas."
"Ada di dalem ransel, kamu cek aja!"
Kubuka ritsleting tas untuk mengecek keberadaan passport. Ternyata benar, ada di dalamnya.
Mobil terus melaju. Sepanjangan perjalanan kami hanya diam saja. Butuh waktu 45 menit, sampai akhirnya kami tiba di bandara.
Ayah menurunkanku lebih dulu. Sementara itu, dia mencari tempat parkir yang jaraknya agak jauh. Ini kesempatan untuk menjalankan rencanaku.
Aku langsung menaiki taksi. Tujuannya adalah rumah sakit tempat bunda dirawat. Tak lupa menonaktifkan ponsel, agar ayah tidak bisa menghubungiku.
Di dalam taksi, aku teringat dengan ucapan bunda saat terakhir kami berbicara. Bunda sempat bilang pelakunya sangat dia kenal. Apa mungkin bunda sudah tau kalau itu adalah ayah?
*
Sekitar satu jam, aku pun sampai di rumah sakit. Bergegas aku berjalan menuju kamar bunda. Beberapa orang sempat memandang heran dengan barang bawaanku.
"Novita, ada apa ke sini?" tanya Bunda, saat aku masuk ke dalam kamarnya.
Aku terkejut sekaligus bahagia melihatnya. Spontan menghampirinya dan memeluknya.
"Bunda," ucapku menahan tangis.
"Ada apa, Sayang?"
"Ayah ...." Aku menundukan pandangan, agar bunda tak tau kalau air mataku mulai menetes.
"Kamu sudah tau?"
Aku mengangguk pelan.
"Kenapa kamu membawa koper dan ransel?" tanya Bunda.
"Ayah tadi maksa Novita untuk pulang ke Jerman, tapi Novita gak mau. Terus kabur ke sini."
"Harusnya kamu menurutinya, Sayang. Di sini berbahaya," ucap Bunda.
"Apa kamu bawa ponsel? Bunda mau ngomong sama leon."
"Ponselnya ketinggalan di rumah, Bun." Aku terpaksa berbohong.
"Novita... sebaiknya kamu pergi ke rumah tante Maria di Jogja. Ajak juga leon dan Kevin."
Aku berusaha tetap tenang mendengar ucapannya. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk memberitahu kalau leon dan Kevin sudah tiada. Khawatir bunda akan sedih dan syok, sehingga membuat kesehatannya kembali memburuk.
"Tapi ... Bun. Aku gak tau alamatnya."
Bunda memintaku untuk menulis alamat lengkapnya di secarik kertas. Beserta petunjuk jalannya.
"Di sana kalian akan lebih aman dari kejaran Wanita Ular itu." Bahkan bunda pun sudah mengenal si Wanita Ular.
"Terus bunda gimana?" tanyaku.
"Bunda aman di sini. Selama ayahmu tidak tau kalau bunda sudah sadar."
"Memangnya kalau ayah tau kenapa?"
"Dia bisa saja menjalankan rencana awalnya. Menumbalkan bunda."
"Pokoknya sekarang kamu harus pergi ke sana secepatnya. Sebelum terjadi sesuatu yang buruk nantinya."
"Tapi Novita mau nemenin bunda di sini. Sebelum bener-bener pulang ke Jerman."
"Bunda gak apa-apa, Sayang. Yang terpenting kalian bertiga tetap sehat dan aman. Nanti jika kondisi sudah memungkinkan, bunda akan menyusul ke sana. Semoga saja, kamu belum pulang ke Jerman," pesan Bunda.
"Bunda ...," ucapku sambil memeluknya.
"Bunda sayang kalian semua," bisiknya.
Aku pun pergi meninggalkan kamar dengan air mata yang terus menetes. Kembali menaiki taksi menuju stasiun kereta.
Sesampainya di stasiun, aku langsung membeli tiket dengan keberangkatan paling cepat. Beruntung tidak perlu menunggu lama, keretaku sudah datang.
Kuambil ponsel di saku celana, lalu mengaktifkannya. Banyak panggilan telepon dan pesan yang masuk. Semua dari ayah.
*telepon berbunyi*
Panggilan telepon dari Ayah.
Awalnya aku tidak mau mengangkatnya. Terus menutuskan telepon darinya. Namun, dia tetap bersikeras menelpon, sampai akhirnya kuangkat juga.
"Kamu di mana?" tanya Ayah dengan nada marah.
"Ayah gak perlu tau!" balasku dengan nada tinggi.
"Maaf kalau tadi sikap ayah kasar. Ayah mohon, cepet kembali ke bandara dan pergi ke Jerman." Nada suaranya berubah menjadi memelas.
"Udah Novita bilang gak mau!"
"Anggap aja ini permintaan terakhir ayah."
"Ayah gak usah nelepon Novita lagi!" Kututup telepon, lalu kembali menonaktifkan ponselnya. Kereta pun mulai berangkat menuju Jogja.