Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Antara Hati dan Tradisi
Pagi itu, pesantren Al-Falah terasa lebih sibuk dari biasanya. Ummi Halimah mempersiapkan ruang tamu utama untuk menyambut tamu istimewa, Kiai Mahfud dan keluarga Maya. Para santri bergegas menata meja dan kursi, sementara aroma masakan khas pesantren mulai menyebar dari dapur.
Di kamar pribadinya, Gus Zidan duduk di tepi ranjang. Pikirannya bercabang antara tanggung jawab yang sudah diatur Abi Idris dan hatinya yang tak bisa lepas dari Zahra. Ia merasa seperti kapal yang terombang-ambing di tengah badai.
“Zidan, apa kamu sudah siap?” suara Ummi Halimah memecah lamunannya.
Zidan menoleh. Umminya berdiri di ambang pintu dengan senyum lembut yang khas. “Mereka akan tiba sebentar lagi. Tolong jangan terlambat.”
“Insya Allah, Ummi,” jawab Zidan sambil memaksakan senyum.
Namun, hatinya berteriak. Apa yang harus ia katakan jika keluarga Maya menyinggung soal pernikahan? Bagaimana ia bisa menolak tanpa mengecewakan Ummi dan Abi?
Setelah Ummi Halimah pergi, Zidan merapikan pakaian dan berdiri di depan cermin. Wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya. “Ya Allah,” gumamnya pelan, “tunjukkan jalan yang terbaik untukku. Aku tidak ingin mengecewakan siapa pun.”
Di ruang tamu, suasana hangat segera tercipta begitu Kiai Mahfud dan keluarganya tiba. Ning Maya, dengan kebaya sederhana berwarna pastel, duduk di samping ibunya. Pandangannya sesekali mencuri lihat ke arah Zidan yang duduk di sisi lain ruangan.
Zidan, di sisi lain, hanya menjawab seadanya setiap kali Abi Idris mengajaknya berbicara. Kepalanya terasa berat dengan berbagai pikiran. Sesekali ia melirik ke arah Ning Maya, berusaha mencari perasaan yang seharusnya ada, tetapi yang ia temukan hanyalah kehampaan.
“Zidan,” suara Abi Idris memecah lamunannya. “Kiai Mahfud ingin tahu, kapan kira-kira kita bisa mulai membicarakan tanggal pernikahanmu dengan nak Maya?”
Pertanyaan itu membuat jantung Zidan serasa berhenti. Semua mata kini tertuju padanya.
“Abi,” Zidan berdeham pelan, berusaha mengumpulkan keberanian. “Saya rasa, sebelum kita membicarakan itu, saya ingin meminta waktu untuk… memastikan diri saya siap. Saya ingin menjalankan pernikahan ini dengan sepenuh hati.”
Ruangan itu hening sejenak. Ning Maya menunduk, sementara Kiai Mahfud menatap Zidan dengan kening sedikit berkerut. Abi Idris melirik Zidan, tetapi tidak langsung berbicara.
“Kalau begitu, kami hormati keinginan Zidan,” ujar Kiai Mahfud akhirnya dengan nada bijak. “Tapi ingatlah, Nak, menikah adalah ibadah yang harus dijalani dengan niat dan tekad. Jangan biarkan keraguan terlalu lama.”
Zidan mengangguk. “Terima kasih, Kiai. Saya akan berusaha sebaik mungkin.”
Sore harinya, Zidan duduk di taman pesantren. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi pikirannya masih kacau. Bayangan Zahra muncul lagi di benaknya, membuat hatinya semakin tak menentu.
“Gus Zidan,” suara lembut menyapa dari belakang.
Zidan menoleh dan melihat Zahra berdiri tak jauh darinya. Ia membawa beberapa buku dan terlihat ragu untuk mendekat.
“Ada apa, Zahra?” tanya Zidan, mencoba terdengar tenang.
“Maaf mengganggu, Gus,” jawab Zahra pelan. “Saya hanya ingin menyerahkan ini. Ustazah Nisa meminta saya mengembalikan buku ini ke perpustakaan.”
Zidan mengangguk. “Letakkan saja di meja sana. Nanti saya bawa ke perpustakaan.”
Zahra mengangguk, lalu meletakkan buku-buku itu di meja dekat Zidan. Saat ia hendak pergi, Zidan tiba-tiba berbicara, “Zahra, tunggu!”
Zahra berhenti dan menoleh dengan tatapan bingung.
“Kamu betah di sini?” tanya Zidan.
Zahra tersenyum tipis. “Alhamdulillah, Gus. Saya merasa lingkungan di sini sangat mendukung. Semua santri dan pengajar baik hati.”
Zidan menatap Zahra sejenak, ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia tahu itu tidak mungkin. Akhirnya ia hanya mengangguk. “Bagus kalau begitu. Kalau ada kesulitan, jangan ragu untuk bicara.”
“Terima kasih, Gus,” ujar Zahra sebelum melangkah pergi.
Zidan menatap punggungnya yang semakin menjauh. Hatinya semakin berat, tetapi ia tahu ia harus membuat keputusan secepatnya.
Malam itu, Zidan memberanikan diri berbicara dengan Abi Idris. Ia tahu, percakapan ini tidak akan mudah, tetapi ia tidak bisa terus hidup dalam kebingungan.
“Abi, saya ingin bicara,” ujarnya saat menemui ayahnya di ruang kerja.
Abi Idris meletakkan kitab yang sedang dibacanya dan menatap Zidan. “Ada apa, Nak?”
“Abi, saya ingin jujur. Saya merasa hati saya… tidak sepenuhnya untuk Ning Maya,” kata Zidan dengan suara pelan, tetapi tegas.
Abi Idris menatap putranya lama, seolah mencoba memahami maksudnya. “Lalu, untuk siapa hatimu, Zidan?”
Zidan ragu sejenak, tetapi akhirnya berkata, “Untuk seseorang yang tidak pernah kita rencanakan, Zahra.”
Hening. Abi Idris menghela napas panjang. “Zidan, kamu tahu apa yang kamu katakan ini bukan hal kecil. Zahra adalah santriwati. Jika kamu memilih dia, kamu harus siap menghadapi konsekuensi dari keluarga Ning Maya dan Kiai Mahfud.”
“Saya tahu, Abi. Tapi saya juga tahu bahwa pernikahan tanpa cinta hanya akan menyakiti kedua belah pihak,” jawab Zidan tegas.
Abi Idris menatap putranya dengan tatapan penuh pertimbangan. Akhirnya ia berkata, “Berikan Abi waktu untuk berpikir, Zidan. Ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan tergesa-gesa.”
Zidan mengangguk, merasa lega meskipun keputusan akhir belum didapatkan. Setidaknya, ia telah menyampaikan isi hatinya.
Di kamar Zahra, malam itu terasa panjang. Ia tidak bisa tidur, entah kenapa pertemuannya dengan Gus Zidan sore tadi terus terngiang di benaknya.
“Ya Allah,” bisiknya dalam hati. “Jika perasaan ini adalah cobaan, bimbing aku untuk tetap berada di jalan-Mu. Jika ini adalah tanda, tunjukkan jalan yang terbaik untukku.”
Tanpa Zahra sadari, hatinya telah memasuki labirin yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sebuah labirin yang akan membawanya pada pilihan antara cinta, keyakinan, dan takdir.
Bab kali ini mempertegas pergolakan batin Zidan dan Zahra. Dengan keberanian Zidan untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Abi, konflik mulai memasuki babak baru. Apakah cinta akan menang melawan tradisi, ataukah mereka akan tunduk pada kehendak keluarga? Perjalanan mereka baru saja dimulai.
To Be Continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??