Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencoba Hal Berbeda
Nanda hanya bisa terdiam dalam ramainya pesta pertemuan keluarga Dimas. Suara tawa, percakapan, dan musik yang mengalun dari dalam rumah terasa begitu jauh dari dirinya. Seolah ia adalah seorang asing yang hanya hadir sebagai pelengkap, bukan sebagai bagian dari kebahagiaan yang tengah dirayakan. Setiap langkahnya terasa berat, seolah beban yang terpendam dalam hatinya semakin menambah berat tubuhnya.
Dengan hati yang gelisah dan pikiran yang buntu, Nanda memutuskan untuk meninggalkan keramaian itu. Perlahan, ia berjalan menuju pintu belakang rumah yang terbuka. Tanpa ada yang menghentikannya, Nanda melangkah keluar dan menuju ke taman belakang yang luas. Di sana, pemandangan yang indah menyambutnya. Pepohonan hijau yang rimbun, bunga-bunga berwarna-warni yang bermekaran, dan udara malam yang segar, seolah menawarkan kedamaian yang sangat dibutuhkan Nanda.
Setiap langkahnya semakin menjauh dari suara gaduh di dalam rumah. Ia merasakan kedamaian di taman itu, meskipun hatinya masih terombang-ambing dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Kenapa ia harus menikah dengan Dimas? Mengapa ia merasa begitu terasing dalam hubungan yang seharusnya penuh kasih? Nanda duduk di bangku taman yang menghadap ke kolam kecil, menikmati sejenak ketenangan di sekitarnya.
Di tengah keheningan malam itu, pikirannya melayang kembali pada segala perasaan yang ia pendam. Ia teringat pada masa-masa sebelum pernikahan, ketika segala sesuatu tampak begitu jelas—bahwa pernikahan ini bukanlah pilihannya, bahwa dirinya tidak benar-benar mencintai Dimas, dan bahwa dirinya hanyalah bagian dari sebuah perjanjian yang lebih besar, yang melibatkan keluarga dan bisnis. Nanda merasa seperti sebuah boneka yang bergerak mengikuti keinginan orang lain, tanpa bisa mengendalikan jalan hidupnya sendiri.
Namun, di tengah kesepian itu, pikirannya kembali tertuju pada Sanjana. Lelaki yang hadir dalam hidupnya setelah sekian lama, yang tiba-tiba muncul di dunia Nanda dengan cara yang tak terduga. Bayangan wajah Sanjana menyusup dalam pikirannya, membawa rasa hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Apakah ini hanya kekaguman sesaat? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam, yang membuat hatinya bergetar setiap kali ia memikirkan Sanjana?
Sambil memandang bulan yang bersinar terang di atas langit, Nanda menarik napas panjang. Ia tahu, jalan yang ada di depannya tidak mudah. Tidak hanya soal perasaan, tetapi juga tentang bagaimana ia akan menghadapi kenyataan bahwa pernikahannya dengan Dimas jauh dari harapannya. Ia tak bisa terus hidup dalam kebohongan, namun ia juga tahu bahwa untuk keluar dari pernikahan ini, ia harus menghadapi konsekuensi besar yang tak mudah.
Saat itu, sebuah suara mengganggu kesunyian malam. "Nanda?" Suara itu lembut namun penuh perhatian. Nanda menoleh, dan melihat sosok yang sangat dikenalnya berjalan menuju taman belakang. Itu adalah Dimas.
Hati Nanda berdegup kencang, meskipun ia tidak merasa senang atau antusias melihat suaminya datang menghampirinya. "Kamu kenapa? Kenapa keluar dari pesta?" tanya Dimas dengan nada yang tidak terlalu peduli, namun cukup membuat Nanda merasa bahwa Dimas tidak benar-benar memperhatikannya.
"Saya hanya butuh sedikit waktu sendiri," jawab Nanda pelan, mencoba untuk tidak memperlihatkan kekosongan hati yang sebenarnya ia rasakan. "Terkadang, keramaian seperti itu justru membuat saya merasa lebih kesepian."
Dimas terdiam sejenak, lalu mendekat dan duduk di sebelah Nanda, meskipun ada jarak yang jelas di antara keduanya. Ia tidak mengucapkan kata-kata lebih lanjut, hanya menatap ke depan dengan pandangan kosong. Nanda bisa merasakan ada ketegangan di udara, namun tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Dimas. Seolah semuanya sudah terlalu terlambat untuk diperbaiki.
Malam itu, di bawah cahaya bulan dan di tengah keheningan taman, Nanda merasa seperti berada di persimpangan jalan yang berat. Ia tahu bahwa pernikahan ini bukanlah tempat yang membuatnya bahagia, tetapi ia juga tahu bahwa keluar dari situasi ini bukanlah hal yang mudah. Apalagi, dengan perasaan yang masih tersisa untuk seseorang yang jauh lebih tulus daripada Dimas.
Saat Nanda menatap ke arah Dimas yang duduk di sampingnya, ia menyadari satu hal: meskipun mereka duduk berdampingan, hatinya tetap terasa begitu jauh dari suaminya. Bahkan dalam kebersamaan yang terpaksa dipaksakan, Nanda merasa lebih terasing daripada sebelumnya.
Merasa semakin terhimpit oleh kehidupan yang tak lagi bisa ia tanggung, Nanda duduk di bangku taman, menundukkan kepala. Meskipun berada di tengah kebahagiaan keluarga Dimas yang riuh, hatinya terasa begitu sepi. Semuanya terasa jauh, bahkan keberadaan Dimas di dekatnya tak mengubah apapun. Ia merasa seperti sebuah bayangan, tak lebih dari sekadar pelengkap dalam kehidupan orang lain.
Ketika Dimas beranjak dan pergi untuk berbicara dengan beberapa tamu, Nanda merasakan dorongan kuat untuk melakukan sesuatu yang berbeda, untuk melarikan diri dari semua kebohongan dan keterasingan yang ia rasakan. Tidak ada yang peduli padanya. Tidak ada yang benar-benar mengerti perasaan yang terpendam dalam hatinya. Rasanya ia telah berada di dalam sangkar, terkurung dalam pernikahan yang tidak diinginkannya, tanpa bisa berbuat apa-apa.
Dengan hati yang penuh kebingungan dan keputusasaan, Nanda berdiri perlahan dan menoleh ke sekitar. Tidak ada seorang pun yang memperhatikannya. Suasana di dalam rumah semakin riuh, suara tawa dan musik yang mengalun semakin jauh terdengar. Ia melihat pagar di ujung taman, dan ide untuk melarikan diri muncul begitu saja di pikirannya. Ia tahu itu adalah langkah nekat, tapi sesuatu dalam dirinya berkata bahwa inilah saatnya. Inilah kesempatan untuk bebas.
Dengan langkah hati-hati, Nanda mendekati pagar di sisi belakang taman. Ia tidak tahu harus pergi ke mana, hanya tahu bahwa ia tidak bisa lagi tinggal di tempat ini, dalam kehidupan yang menyakitkan ini. Dengan hati yang berdegup kencang, Nanda melangkah ke dekat pagar. Ia memanjatnya dengan gesit, meskipun jantungnya terasa berdebar kencang. Selama ini, ia selalu merasa terperangkap dalam hidupnya, tetapi kali ini, ia merasa ada secercah harapan di luar pagar itu.
Tangan Nanda meraih bagian atas pagar, dan dengan satu tarikan kuat, tubuhnya berhasil melompati pagar tersebut. Ia merasa angin malam yang segar menerpa wajahnya, seolah memberi rasa lega yang jarang ia rasakan dalam beberapa bulan terakhir. Meski ia tahu bahwa ini adalah tindakan yang bisa berisiko, ia merasa tak ada pilihan lain. Ketika ia mendarat di sisi luar pagar, ada rasa kebebasan yang mengalir dalam dirinya. Namun, rasa takut dan cemas mulai merayapi hatinya.
Di luar pagar, dunia terasa asing. Lampu jalanan yang redup menyinari jalanan yang sepi. Nanda berdiri di situ, tak tahu harus ke mana. Hatinya bergejolak, namun juga terasa ada ketenangan yang sejenak mengalir. Ia mencoba melangkah, berusaha untuk tidak memikirkan apa yang telah ia tinggalkan. Hanya satu yang ia tahu: ia butuh keluar dari kehidupan ini, yang terasa begitu mengekang dan penuh kebohongan.
Namun, sebelum Nanda sempat melangkah lebih jauh, sebuah suara memanggilnya dari belakang. "Nanda!" suara itu terdengar familiar, dan tanpa sadar, ia membekukannya. Suara itu adalah suara Dimas.
Tanpa menoleh, Nanda berhenti. Ada perasaan campur aduk yang datang begitu saja. Ia ingin berlari lebih jauh, menjauh dari suaminya yang tak pernah peduli, namun ada dorongan kuat di dalam dirinya untuk menghadapi kenyataan. Ia berhenti sejenak, merasakan ketegangan yang semakin memuncak.
Dimas berjalan mendekat, napasnya terengah-engah, seolah baru saja berlari. "Kamu mau ke mana?" tanyanya dengan nada yang tajam, namun tak ada rasa perhatian yang tergambar di wajahnya.
Nanda menatap Dimas, merasakan campuran kebingungan dan amarah yang memenuhi dirinya. "Aku ingin pergi. Aku tak bisa terus hidup seperti ini," jawabnya, suaranya bergetar, namun penuh tekad. Ia tidak bisa lagi menjadi bagian dari kehidupan ini yang hanya mengurungnya.
Dimas terdiam, matanya menatap Nanda dengan bingung, seolah tidak mengerti apa yang baru saja ia dengar. "Apa maksudmu?" tanyanya, seolah tak percaya.
"Aku sudah cukup, Dimas. Aku lelah. Aku tak bisa terus terjebak di dalam pernikahan yang tidak pernah aku inginkan," jawab Nanda dengan tegas, meski suaranya mulai pecah karena emosi yang tak terbendung.
Dimas terlihat terpukul, namun ia tidak menunjukkan penyesalan. Sebaliknya, ia tampak marah dan frustrasi. "Kamu tidak bisa pergi begitu saja! Kamu istri saya!" teriaknya, suaranya keras dan penuh amarah.
Nanda menatapnya dengan mata penuh air mata yang tak dapat ia tahan lagi. "Aku bukan milikmu, Dimas. Aku bukan boneka yang bisa kau perintah sesuka hati."
Setelah beberapa detik yang terasa panjang, Dimas akhirnya berbalik, meninggalkan Nanda di luar pagar tanpa kata-kata lagi. Hatinya penuh dengan kemarahan dan kebingungan. Nanda, di sisi lain, merasa beban yang terlepas dari hatinya meskipun ia tahu masih ada banyak hal yang harus ia hadapi. Namun untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, Nanda merasa sedikit lebih bebas.
Dengan langkah tergesa-gesa, Nanda berlari menuju jalan utama, meninggalkan semuanya di belakang. Ia tahu perjalanan ini belum berakhir, tetapi setidaknya ia berani untuk mengambil langkah pertama menuju kebebasannya.