Di dunia di mana para dewa pernah berjalan di antara manusia, sebuah pedang yang terlupakan bangun, melepaskan kekuatan yang dapat mengubah dunia. Seorang pemuda, yang ditakdirkan untuk kehebatan, menemukan sebuah rahasia yang akan mengubah nasibnya, tetapi dia harus memilih pihak, pilihan yang akan menentukan nasib dunia. Cinta dan kesetiaan akan diuji ketika dia menjelajahi dunia sihir, petualangan, dan roman, menghadapi ancaman yang dapat menghancurkan jaringan eksistensi. Warisan Para Dewa menunggu... Apakah kamu akan menjawab seruannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pramsia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28: Bayangan Menuju Cahaya
Bau darah dan logam terbakar menusuk hidung, bau yang bikin mual dan bikin jantung berdebar kencang. Jian, Kai, dan Mei, napas mereka tersengal-sengal, berdiri di tengah reruntuhan pertempuran yang baru saja mereka hadapi. Bangunan-bangunan kristal yang dulu megah kini hancur berkeping-keping, bukti keganasan serangan makhluk-makhluk bayangan. Debu kristal halus menggores kulit mereka saat mereka berlari melalui gang sempit, dinginnya kristal menyentuh tangan mereka, mengingatkan mereka akan bahaya yang mengintai di balik keindahan Aurora. Suara langkah kaki mereka bergema di antara reruntuhan, bercampur dengan desisan angin yang dingin dan menusuk tulang.
"Mereka tahu di mana kita berada," desis Kai, matanya memindai puing-puing dengan campuran rasa takut dan amarah. "Mereka tahu tentang artefak itu." Masa lalu yang mengerikan itu kembali menghantuinya, menjerumuskannya ke dalam jurang ketakutan yang dalam, membuat Kai merasa bagaikan boneka kayu yang ditakdirkan untuk menari mengikuti irama hantu masa lalunya. "Kita harus menemukannya sebelum mereka berhasil," gumamnya, suaranya dipenuhi dengan keputusasaan. "Aku tidak bisa melupakan apa yang telah kulakukan," lanjutnya, suaranya bergetar. "Aku takut mereka akan datang untuk membalasku."
"Kai, tenang," bisik Jian, tangannya mencengkeram bahu Kai, berusaha menenangkannya. "Kita harus fokus sekarang. Kita bisa mengalahkan mereka."
"Mudah untuk mengatakannya," balas Kai, suaranya bergetar. "Aku tidak bisa melupakan apa yang telah kulakukan. Aku takut mereka akan datang untuk membalasku."
"Kai," kata Mei, suaranya lembut namun tegas. "Kita semua memiliki masa lalu yang menghantui kita. Tapi kita tidak bisa membiarkannya mengendalikan kita. Kita harus maju bersama."
Mei, tangannya menggenggam bola cahaya yang berdenyut dengan cahaya samar dan ethereal, mengangguk muram. "Mereka mengejar kita, bukan hanya artefaknya. Mereka ingin menghentikan kita dengan cara apa pun." Ketakutan akan kekuatan yang tidak diketahui dari sosok misterius itu merayap ke dalam dirinya, tetapi Mei berusaha mengendalikannya dengan tekad yang kuat. "Kita harus tetap bersama," ucapnya, suaranya berbisik dengan keyakinan yang tersembunyi.
"Kita tidak punya pilihan," kata Mei, suaranya tenang namun tegas. "Kita harus menghadapi mereka."
Jian, tatapannya tertuju pada peta kuno yang diterangi oleh cahaya lembut bola itu, merasakan hawa dingin merayap di tulang punggungnya. Peta itu, jaringan jalan berkelok-kelok dan simbol-simbol misterius, menunjuk ke tiga lokasi: tempat suci tersembunyi dari Batu Cahaya, Pedang Kegelapan, dan Gelang Kehidupan. Artefak yang mereka cari, kunci untuk menyegel Gerbang Kegelapan.
"Kita harus menemukannya," kata Jian, suaranya tegas meskipun tangannya gemetar. "Sebelum terlambat." Jian berusaha menahan rasa takutnya terhadap ancaman yang lebih besar dari Gerbang Kegelapan, tetapi bayangan ketakutan itu tetap menghantuinya. "Kekuatan itu lebih besar dari kita!" teriak Kai, suaranya dipenuhi kecemasan. "Kita tidak bisa melawannya sendirian," gumam Jian, matanya tertuju pada bola cahaya di tangan Mei. "Kita perlu menemukan sumber kekuatan lain."
Mereka berlari menuju sebuah pintu tersembunyi di balik air mancur yang berkilauan, airnya kini berwarna merah kehitaman. Bau kuno yang menyeramkan seperti bau makam tua memenuhi udara, suara desiran lembap yang menyerupai bisikan memenuhi telinga mereka. Jian mendorong pintu itu dengan susah payah, mencium bau tanah basah dan sesuatu yang kuno dan menyeramkan.
Di balik pintu itu, mereka menemukan sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan artefak kuno yang tertutup debu tebal. Di tengah ruangan, terletak sebuah meja batu besar dengan peta kuno yang terukir di atasnya, bercahaya dengan cahaya lembut, menunjukkan jalan yang berliku dan rumit. Di sudut ruangan, sebuah buku tua dengan sampul kulit tampak seperti berbisik rahasia, halaman-halamannya tampak rapuh dan kuning.
"Ini dia," bisik Jian, matanya terpaku pada peta, suaranya bergetar karena kelelahan dan ketegangan. "Petunjuk menuju tiga artefak: Batu Cahaya, Pedang Kegelapan, dan Gelang Kehidupan. Kita harus menemukannya sebelum Gerbang Kegelapan sepenuhnya terbuka."
"Tapi siapa mereka?" tanya Kai, masih terengah-engah, suaranya dipenuhi dengan kekhawatiran dan kemarahan. "Apakah mereka tahu tentang artefak ini? Aku tidak suka ini..."
Mei, dengan intuisinya yang tajam, menunjuk ke arah buku tua itu, suaranya tenang namun tegas. "Mungkin buku ini bisa memberikan jawabannya. Kita harus bertindak cepat."
Saat mereka mulai mempelajari peta dan buku kuno, suara langkah kaki terdengar dari pintu masuk lorong. Bukan langkah kaki makhluk bayangan, tetapi langkah kaki yang lebih berat, lebih kuat, dan lebih teratur. Sebuah bayangan gelap muncul di pintu masuk, mengunci mereka di dalam ruangan rahasia. Bau anyir darah yang kuat tiba-tiba memenuhi ruangan.
"Kalian tidak akan berhasil," suara serak dan dingin terdengar, suara yang penuh dengan kebencian dan kekuatan. "Gerbang Kegelapan akan terbuka, dan kegelapan akan menguasai semuanya."
"Siapa kau?" tanya Jian, pedangnya sudah terhunus, suaranya bergetar karena amarah dan ketegangan.
Sosok itu tertawa, suaranya penuh dengan kekejaman, suara yang menggema di ruangan rahasia itu. Cahaya mata merah yang menyeramkan menembus kegelapan, suara langkah kakinya mengalun dengan irama yang mengancam. "Aku adalah bagian dari kegelapan... dan aku akan memastikan bahwa rencanamu gagal. Kalian tidak akan menghentikan apa yang sudah dimulai."
"Tidak mungkin," desis Mei, tangannya menggenggam bola cahaya yang berdenyut dengan cahaya samar dan ethereal. "Kami tidak akan membiarkanmu menguasai Aurora."
"Kalian tidak mengerti," kata sosok itu, suaranya berbisik dingin. "Kalian tidak mengerti kekuatan kegelapan. Kalian tidak akan pernah bisa melawannya."
"Coba saja," tantang Jian, matanya menyala dengan tekad. "Kami akan mengalahkanmu."
Sosok itu tertawa lagi, suaranya bergema di ruangan itu, menciptakan gema yang menyeramkan. "Kalian hanya akan mempercepat kehancuranmu sendiri," katanya. "Kegelapan akan menguasai semuanya. Tidak ada yang bisa menghentikannya."
"Kita tidak akan menyerah," kata Kai, suaranya bergetar karena rasa takut dan ketakutan. "Kita akan menemukan artefak itu, dan kita akan menyegel Gerbang Kegelapan."
"Kalian hanya menunda yang tak terhindarkan," kata sosok itu, suaranya dingin dan penuh ancaman. "Kegelapan akan datang. Dan ketika itu terjadi, tidak akan ada yang tersisa."
Sosok itu melangkah maju, bayangan gelapnya mendekat. Jian, Kai, dan Mei bersiap untuk bertarung. Pertempuran akan segera dimulai.
Tiba-tiba, cahaya dari bola cahaya yang dipegang Mei menyala lebih terang, menerangi ruangan dan membuat sosok gelap itu tersentak. Cahaya itu memancarkan gelombang energi yang kuat, mendorong sosok itu mundur. Udara di ruangan itu terasa lebih hangat, seperti embun pagi yang menyelimuti mereka. Bau anyir darah dan logam terbakar sedikit mereda, digantikan oleh aroma yang lembut dan manis, seperti bunga-bunga Aurora yang sedang mekar.
"Apa ini?" geram sosok itu, suaranya dipenuhi dengan kejutan. "Cahaya... Kekuatan cahaya... Ini tidak mungkin."
"Ini adalah kekuatan cahaya," kata Mei, suaranya bergetar karena ketegangan. "Dan itu akan menghentikanmu."
Sosok itu menatap bola cahaya itu dengan tatapan penuh dendam. "Aku akan menghancurkanmu," desisnya.
Sosok itu menyerbu, menyerbu ke arah Mei dengan kecepatan yang menakutkan. Jian dan Kai bersiap untuk melindungi Mei, pedang mereka siap untuk menyerang.
Namun, sebelum sosok itu bisa mencapai Mei, bola cahaya itu mengeluarkan cahaya yang menyilaukan, menciptakan gelombang kejut yang mengguncang ruangan. Sosok itu terhuyung mundur, terhuyung karena kekuatan cahaya yang kuat. Cahaya bola cahaya itu menyinari ruangan, membuat mereka semua bisa melihat dengan jelas. Sosok itu tampak seperti makhluk bayangan yang mengerikan, dengan mata merah menyala dan tubuh yang terbuat dari asap hitam.
"Tidak..." geram sosok itu, suaranya dipenuhi dengan rasa takut. "Ini tidak mungkin..."
Sosok itu mundur, bersembunyi di balik bayangan. Cahaya bola cahaya itu perlahan meredup, tetapi ruangan itu masih dipenuhi dengan cahaya yang lembut. Jian, Kai, dan Mei saling memandang, terkejut dan penuh harapan.
"Apa yang terjadi?" tanya Kai, suaranya penuh dengan kekaguman.
"Aku tidak tahu," jawab Mei, matanya masih tertuju pada bola cahaya itu. "Tapi aku merasa... kita memiliki kesempatan."
Jian mengangguk. "Kita harus menemukan artefak itu," katanya. "Kita harus menyegel Gerbang Kegelapan sebelum kegelapan itu menguasai semuanya."
Mereka bertiga menatap peta kuno yang terukir di meja batu, matanya dipenuhi dengan tekad. Perjalanan mereka baru saja dimulai.
( Lanjut ke chapter 29 )