Jo Wira, pemuda yang dikenal karena perburuan darahnya terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya, kini hidup terisolasi di hutan ini, jauh dari dunia yang mengenalnya sebagai buronan internasional. Namun, kedamaian yang ia cari di tempat terpencil ini mulai goyah ketika ancaman baru datang dari kegelapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orpmy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu-satunya Jawaban
Wira memacu Sumba dengan kecepatan penuh, membawa Kinta yang terkulai lemas di pangkuannya. Pikiran Wira fokus pada keselamatan mereka, namun nalurinya yang tajam memberikan peringatan bahaya yang tiba-tiba.
Ia segera menarik tali kekang Sumba dengan keras, menghentikan kudanya tepat di tepi area yang terlihat aman.
Seketika, dari bawah tanah, akar-akar tajam menjulang ke udara, mengoyak tanah di depan mereka dengan suara gemuruh. Jika Wira terlambat sedikit saja, Sumba dan dirinya pasti akan menjadi korban jebakan mematikan tersebut.
"Brengsek!" Wira meluapkan kemarahannya. Matanya tajam menyapu sekeliling, mencari siapa pun yang bertanggung jawab atas serangan ini. "Keluar, kau bajingan!" Teriaknya, tapi balasan yang dia dapat justru raungan keras dari dalam hutan.
*Getaran dahsyat mulai terasa, datang dari arah raungan berasal. Sura gemuruh terasa semakin dekat, Wira menyadari bahwa itu adalah derap langkah makhluk berukuran besar. Ia mempererat genggaman pada tali kekang Sumba, mempersiapkan diri menghadapi ancaman yang akan datang.
Tiba-tiba, sepasang mata merah bersinar dari kegelapan, bergerak cepat menuju mereka. Dalam sekejap, seekor badak bercula satu berukuran raksasa menerjang ke arah mereka dengan kecepatan luar biasa.
Wira memberi aba-aba kepada Sumba, dan dengan sigap, kuda itu melompat ke samping, menghindari serangan mematikan badak tersebut. Namun, keadaan berbahaya belumlah berakhir.
Akar-akar tajam yang sebelumnya hampir mencelakai mereka kini kembali bergerak seperti ular, menyerang dengan kecepatan dan presisi mematikan.
Dengan satu gerakan cepat, Wira melompat dari punggung Sumba, menghunus goloknya, dan menebas akar-akar tersebut di udara. Akar-akar itu putus, tapi anehnya, tumbuh kembali menjadi dua kali lebih banyak.
Melihat Itu Wira teringat dengan hewan mitologi yang dapat menggandakan kepalanya setelah terpotong. "Hydra!." Wira sadar jika dirinya saat ini tidak mungkin bisa mengalahkan makhluk anomali ini.
Keadaan semakin tidak menguntungkan untuknya. Badak raksasa yang sempat meleset dari serangannya kembali berbalik arah, siap melakukan serangan kedua.
Dua ancaman anomali sekaligus dengan sifat unik masing-masing, akar regeneratif dan badak besar dengan sifat ganas, adalah kombinasi mematikan. Menghadapi keduanya bukanlah pilihan bijak.
"Kita harus pergi dari sini," bisiknya.
***
Di depan, seekor badak raksasa tengah berlari dengan kecepatan tinggi, menerjang langsung ke arah mereka.
Di belakang, akar-akar berduri terus bergerak liar, berusaha menangkap mereka. Wira diliputi kebingungan, tidak tahu arah mana yang harus dia ambil untuk menyelamatkan dirinya, Kinta, dan Sumba.
Jika memilih untuk menghindar ke samping, kemungkinan besar badak itu akan mengejar mereka dengan kecepatannya yang luar biasa. Namun, tetap berada di jalur yang sama bukanlah pilihan, karena akar-akar berduri semakin mendekat.
Di tengah keraguannya, tiba-tiba Sumba, kuda yang ia tunggangi, berlari menuju akar berduri. Wira terkejut, tapi tidak punya waktu untuk mencegahnya.
Akar-akar berduri mulai bergerak cepat, mengincar mereka. Dengan sigap, Wira menghunus goloknya. Dia menebas akar-akar berduri yang mendekat.
Tapi, semakin banyak akar yang dia potong, semakin cepat dan semakin banyak akar baru yang bermunculan. Akar itu seperti hidup, berkembang biak dengan setiap serangan yang dia lancarkan.
Saat salah satu akar berduri mencambuk tubuhnya, Wira mengerang kesakitan. Luka-luka yang tercipta mulai membuat kulitnya penuh darah. Sementara itu, Sumba berjuang keras, meringkik panik, mencoba meloloskan diri dari lilitan akar-akar yang membelit tubuhnya.
Dengan tekad bertahan hidup yang tak tergoyahkan, mereka terus berjuang. Akhirnya, meski dengan luka yang parah, Wira dan Sumba berhasil melepaskan diri dari cengkeraman akar-akar berduri itu.
Saat mereka berhasil melarikan diri, Wira menoleh ke belakang. Di sana, badak raksasa yang sebelumnya mengejar mereka kini justru terperangkap di antara akar-akar berduri.
Makhluk itu meraung kesakitan, tubuhnya tertusuk oleh duri-duri tajam yang terus bergerak mencengkeramnya.
"Maaf, kawan, kita harus segera pergi," kata Wira pelan, menepuk leher Sumba. Dia tahu kuda itu terluka cukup parah akibat serangan akar tadi, tapi tidak ada waktu untuk berhenti. Mereka harus segera meninggalkan tempat itu.
Namun, baru beberapa meter mereka melanjutkan perjalanan, raungan badak kembali terdengar. Kali ini lebih keras, penuh rasa sakit. Wira menoleh lagi, terkejut melihat badak itu nyaris berhasil membebaskan diri dari jeratan akar.
Namun, sebelum badak itu benar-benar lepas, suasana tiba-tiba menjadi sangat hening. Dalam sekejap, sesuatu yang jauh lebih besar muncul dari kegelapan hutan.
Mata Wira terbelalak. Dari balik bayangan pepohonan, seekor harimau raksasa setinggi sepuluh meter menerkam badak itu. Dengan satu gerakan cepat, harimau menjatuhkan badak seperti seekor kucing kecil yang menangkap tikus.
Harimau raksasa itu memakan sebagian tubuh badak dengan tenang.
Jebakan akar yang sebelumnya hampir membunuh Wira kini terlihat sepele di hadapan makhluk besar tersebut. Cakar harimau itu dengan mudah mencabik-cabik akar berduri yang mencoba melawannya.
Saat harimau itu selesai, ia mengangkat kepalanya perlahan. Sepasang mata merah menyala menatap langsung ke arah Wira. Tatapan itu membuat tubuhnya membeku. Jantung Wira seakan berhenti berdetak.
Dia merasa seperti tengah berada di hadapan dewa kematian itu sendiri.
***
Dengan sisa tubuh badak masih menggantung di rahangnya, harimau raksasa itu menatap Wira untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Wira merasa jika hari ini adalah hari terakhirnya.
Namun, alih-alih mendekat, makhluk itu perlahan berbalik, melangkah kembali ke kegelapan hutan, meninggalkan Wira dengan jantung yang masih berdebar kencang.
Wira menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. "Hampir saja," gumamnya, sadar betapa tipisnya jarak antara hidup dan kematian yang baru saja ia lewati.
Begitu sampai di basecamp, Wira segera membawa Kinta ke dalam pondok dan membaringkannya di atas alas jerami. "Bertahanlah, Nak," katanya pelan, mengelus kepala anjing itu dengan lembut. Kinta hanya meringkuk lemah, membuat rasa khawatir Wira semakin dalam.
Setelah memastikan Kinta aman, Wira bergegas ke Sumba. Kuda itu meringkik pelan, menunjukkan rasa sakitnya akibat luka-luka dari akar berduri. Dengan hati-hati, Wira membersihkan luka-luka dengan alkohol, lalu menutupinya dengan balutan yang telah diberi obat pereda perih.
"Maafkan aku, Sumba. Kau sudah berjuang keras hari ini." Kuda itu mendengus seakan mengatakan jika dirinya akan baik-baik saja. Wira membiarkan Sumba beristirahat di dalam kandangnya.
Malam pun datang. Wira duduk di teras pondok, menatap langit malam yang diterangi cahaya bulan purnama. Udara terasa dingin, tapi pikirannya jauh lebih kacau daripada tubuhnya yang lelah.
Bayangan akar-akar berduri, badak raksasa, dan terutama harimau raksasa itu terus menghantui benaknya. Semua makhluk itu begitu kuat, begitu mematikan.
Wira mengepalkan tangannya, menyadari betapa kecil dan lemahnya dirinya dibandingkan dengan ancaman-ancaman itu. "Kalau harimau itu menyerang... aku tidak akan punya kesempatan," gumamnya, suaranya penuh penyesalan.
Dia mengalihkan pandangannya ke dalam pondok, tempat Kinta beristirahat dengan napas yang terdengar lemah, lalu ke Sumba yang berbaring di kandangnya. Mereka bergantung padanya, tapi pertanyaan besar menghantam dirinya, Bisakah dia melindungi mereka?.
"Mustahil bagiku melindungi mereka jika itu terjadi lagi," gumamnya lirih, suara itu seperti pengakuan atas ketidakberdayaannya.
Namun, di balik rasa takut dan putus asa yang membayangi, sebuah tekad mulai bangkit, kuat dan tak tergoyahkan. Wira menatap malam yang sunyi, mengingat kembali rasa kehilangan yang pernah menghancurkannya.
Kehilangan keluarganya adalah luka yang tak pernah sembuh, dan ia bersumpah tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.
"Menjadi lebih kuat," katanya dengan nada tegas, tatapan matanya kini penuh semangat juang. "Itu selalu menjadi satu-satunya jawaban."
mohon berikan dukungannya