Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Jalan yang Terjal
Abi Idris tidak langsung memberikan keputusan setelah percakapannya dengan Zidan malam itu. Ia lebih banyak merenung di ruang kerjanya, memikirkan jalan terbaik untuk menyelamatkan nama baik keluarga sekaligus menjaga kebahagiaan anaknya. Sebagai seorang kiai, ia memahami pentingnya menjaga hubungan baik dengan Kiai Mahfud. Tapi sebagai seorang ayah, ia juga tidak ingin memaksa putranya menjalani pernikahan tanpa cinta.
Keesokan harinya, saat sarapan, Ummi Halimah menyadari bahwa suaminya tampak lebih pendiam dari biasanya. Ia meletakkan cangkir tehnya dengan perlahan, menatap wajah Abi yang penuh dengan kerut kekhawatiran.
“Ada apa, Abi?” tanya Ummi lembut.
Abi Idris menghela napas, lalu menjelaskan percakapannya dengan Zidan malam sebelumnya. Mata Ummi membesar sejenak, tetapi ia tidak langsung berbicara. Ia tahu Zidan anak yang bijak, meskipun terkadang sulit dibaca.
“Menurut Ummi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Abi akhirnya.
Ummi tersenyum tipis, berusaha menenangkan suaminya. “Abi, Zidan sudah cukup dewasa untuk memahami konsekuensi dari pilihannya. Kalau hatinya memang tidak untuk nak Maya, memaksa mereka menikah hanya akan menyakiti semua pihak.”
“Tapi hubungan kita dengan Kiai Mahfud?” Abi Idris terdengar cemas.
“Kiai Mahfud adalah orang yang bijaksana. Jika kita bicara dengan baik-baik, insya Allah beliau akan memahami,” jawab Ummi.
Abi Idris mengangguk, meskipun raut wajahnya masih menunjukkan keraguan.
Sementara itu, di pesantren, Zahra mulai merasa ada sesuatu yang berubah. Beberapa santriwati mulai berbisik-bisik setiap kali ia lewat. Ia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan, tetapi hatinya mulai gelisah.
Saat istirahat siang, Zahra memutuskan untuk berbicara dengan Ustazah Nisa, salah satu pengajar yang sangat ia hormati.
“Ustazah, apakah ada sesuatu yang terjadi belakangan ini?” tanya Zahra hati-hati.
Ustazah Nisa menatapnya dengan senyum lembut, tetapi ada sedikit keraguan di matanya. “Kenapa kamu bertanya begitu, Zahra?”
“Saya merasa… banyak santriwati yang mulai membicarakan saya. Saya tidak tahu kenapa,” jawab Zahra jujur.
Ustazah Nisa terdiam sejenak, lalu berkata, “Zahra, kamu adalah santriwati yang cerdas dan berbakat. Wajar jika banyak orang memperhatikanmu. Tapi kalaupun ada yang membicarakan hal yang tidak baik, abaikan saja. Fokuslah pada niatmu untuk belajar.”
Zahra mengangguk, meskipun jawaban itu tidak sepenuhnya memuaskan rasa penasarannya.
Di tempat lain, Ning Maya duduk sendirian di taman belakang rumahnya. Ia baru saja berbicara dengan ibunya yang mencoba meyakinkan bahwa Gus Zidan hanya butuh waktu untuk menerima perjodohan ini.
“Maya, laki-laki memang sering ragu di awal. Tapi begitu menikah, mereka akan berubah,” kata ibunya tadi pagi.
Tapi Maya tidak yakin. Ia merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Zidan. Bukan hanya keraguan, melainkan jarak yang tidak pernah ia tembus.
Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari nomor yang tidak dikenal.
"Maya, hati-hati dengan Zahra. Dia mungkin terlihat polos, tapi dia tahu cara merebut hati Gus Zidan."
Maya membaca pesan itu dengan dahi berkerut. Siapa yang mengirim pesan ini? Dan apa maksudnya?
Hari itu, Abi Idris memanggil Zidan ke ruangannya. Zidan duduk dengan gugup, tetapi ia berusaha terlihat tenang.
“Zidan, Abi sudah memikirkan apa yang kamu katakan,” ujar Abi.
Zidan menatap ayahnya dengan penuh harap.
“Abi tidak akan memaksamu menikah dengan Maya jika hatimu memang tidak untuknya,” lanjut Abi. “Tapi kamu harus siap menghadapi konsekuensi dari pilihanmu. Tidak hanya dari keluarga Maya, tetapi juga dari lingkungan pesantren ini.”
“Terima kasih, Abi,” ujar Zidan dengan suara penuh kelegaan.
“Tapi, Zidan,” Abi melanjutkan, “Abi ingin kamu memastikan bahwa Zahra adalah orang yang tepat. Jangan sampai keputusan ini hanya berdasarkan emosi sesaat.”
“Saya paham, Abi,” jawab Zidan yakin.
Di pesantren, desas-desus tentang kedekatan Zidan dan Zahra mulai menyebar semakin luas. Zahra merasa tertekan dengan semua bisikan yang ia dengar, tetapi ia tidak tahu harus berbuat apa.
Suatu sore, ia mendapati Zidan sedang berjalan menuju masjid. Zahra ragu-ragu sejenak, tetapi akhirnya memberanikan diri menghampirinya.
“Gus Zidan,” panggil Zahra pelan.
Zidan berhenti dan menoleh. Wajahnya terlihat lelah, tetapi ia tersenyum ketika melihat Zahra. “Ada apa, Zahra?”
“Maaf, Gus. Saya hanya ingin bertanya… apakah ada sesuatu yang terjadi belakangan ini? Saya merasa banyak santriwati yang mulai membicarakan saya,” ujar Zahra dengan suara gemetar.
Zidan terdiam sejenak. Ia tahu apa yang sedang terjadi, tetapi ia tidak ingin Zahra merasa terbebani.
“Jangan khawatir, Zahra. Semua itu hanya omongan orang yang tidak penting. Fokus saja pada belajar,” jawab Zidan akhirnya.
“Tapi, Gus...”
“Zahra,” Zidan memotong dengan suara lembut tetapi tegas. “Kalau kamu merasa tertekan, bicaralah dengan Ustazah Nisa atau Ummi. Mereka akan membantumu.”
Zahra mengangguk, meskipun hatinya masih penuh dengan pertanyaan.
Malam itu, Zahra berdoa lebih lama dari biasanya. Ia memohon petunjuk kepada Allah, berharap semua kegelisahannya segera berakhir.
Di tempat lain, Zidan juga merenung. Ia tahu perasaannya kepada Zahra semakin kuat, tetapi ia juga menyadari bahwa jalannya tidak akan mudah.
Abi Idris, yang diam-diam memperhatikan putranya dari kejauhan, menghela napas. Ia tahu bahwa Zidan sedang menghadapi ujian besar dalam hidupnya. Sebagai ayah, ia hanya bisa berdoa agar anaknya diberikan kekuatan untuk membuat keputusan yang benar.
Pada bab ini semakin menyoroti tekanan yang dirasakan oleh Zidan dan Zahra di tengah rumor yang mulai berkembang. Meskipun Abi Idris telah memberi lampu hijau kepada Zidan, perjalanan menuju kebahagiaan mereka masih penuh dengan rintangan. Akankah cinta mereka mampu bertahan menghadapi segala tantangan?
To Be Continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??