Malam itu langit dihiasi bintang-bintang yang gemerlap, seolah ikut merayakan pertemuan kami. Aku, yang biasanya memilih tenggelam dalam kesendirian, tak menyangka akan bertemu seseorang yang mampu membuat waktu seolah berhenti.
Di sudut sebuah kafe kecil di pinggir kota, tatapanku bertemu dengan matanya. Ia duduk di meja dekat jendela, menatap keluar seakan sedang menunggu sesuatu—atau mungkin seseorang. Rambutnya terurai, angin malam sesekali mengacaknya lembut. Ada sesuatu dalam dirinya yang memancarkan kehangatan, seperti nyala lilin dalam kegelapan.
"Apakah kursi ini kosong?" tanyanya tiba-tiba, suaranya selembut bayu malam. Aku hanya mengangguk, terlalu terpaku pada kehadirannya. Kami mulai berbicara, pertama-tama tentang hal-hal sederhana—cuaca, kopi, dan lagu yang sedang dimainkan di kafe itu. Namun, percakapan kami segera merambat ke hal-hal yang lebih dalam, seolah kami sudah saling mengenal sejak lama.
Waktu berjalan begitu cepat. Tawa, cerita, dan keheningan yang nyaman
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achaa19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melodi diantara bintang
Bab 10: Melodi di Antara Bintang
Setelah percakapan yang penuh makna di malam itu, Reina dan Arya merasa bahwa mereka sedang membangun lebih dari sekadar hubungan yang biasa. Setiap percakapan, setiap langkah, dan setiap ketakutan yang mereka bagikan adalah seperti melodi yang semakin membentuk kisah mereka—melodi yang berbaur dengan semangat, keberanian, dan cinta. Kini, mereka mulai melihat bahwa kebahagiaan adalah tentang perjalanan itu sendiri.
Reina semakin serius dengan keinginannya untuk menulis. Setiap malam, ia duduk di meja kerjanya, menulis dengan ketukan jari yang cepat dan penuh semangat. Menulis menjadi semacam tempat perlindungannya, tempat ia bisa mengungkapkan perasaannya tanpa rasa takut. Arya selalu mendukungnya, memberi semangat dan membaca setiap kata yang Reina tulis.
Suatu hari, Reina menunjukkan satu naskah yang ia anggap sudah selesai kepada Arya—sebuah kisah pendek yang menceritakan tentang keberanian, impian, dan perasaan yang terkadang sulit dijelaskan.
Arya membaca naskah itu dengan seksama, kemudian memandang Reina dengan senyum yang penuh kebanggaan.
“Kau memiliki bakat, Reina,” ujarnya sambil mengembalikan naskah itu kepadanya. “Kisah ini hidup. Ada perasaan yang bisa dirasakan setiap orang ketika membacanya. Aku yakin banyak yang akan terinspirasi oleh tulisanmu.”
Reina menunduk, wajahnya bersemu merah. “Terima kasih, Arya. Dukunganmu berarti banyak bagiku.”
Arya memegang tangan Reina dengan lembut. “Kita selalu saling mendukung, bukan? Ini baru awal, Reina. Jika kita berani memulai, tidak ada yang mustahil.”
Dengan kata-kata itu, Reina merasa lebih percaya diri. Perasaannya yang sebelumnya penuh keraguan kini mulai berubah. Ia tahu bahwa impiannya bukan hanya sebuah angan-angan, tetapi sesuatu yang bisa ia wujudkan dengan usaha dan keberanian.
Setelah beberapa minggu menjalani rutinitas mereka, Reina dan Arya memutuskan untuk berlibur bersama. Perjalanan ini bukan hanya tentang melepaskan penat tetapi juga tentang menciptakan kenangan yang akan selalu mereka ingat.
Mereka memilih untuk pergi ke sebuah pantai kecil di daerah yang memiliki ketenangan luar biasa. Selama perjalanan, mereka saling berbagi tawa, bercerita tentang masa lalu, dan merencanakan masa depan mereka bersama.
Pagi hari di pantai itu sangat indah. Ombak yang berdebur lembut, pasir yang hangat, dan sinar matahari yang memantul di permukaan air menciptakan suasana yang sempurna untuk merenung dan merasakan kebahagiaan sederhana. Reina berdiri di tepi ombak sambil memandang horizon yang luas.
“Lihatlah, Arya,” ujarnya sambil memandang ke arah lautan. “Kita bisa seperti ombak ini—selalu bergerak, tetapi memiliki tempat tujuan yang jelas.”
Arya mendekatinya, lalu memeluknya dari belakang. “Kita bisa menjadi apapun yang kita mau jika kita berdua berani dan tetap berjalan bersama.”
Reina menutup matanya, merasakan angin yang berhembus lembut dan kehangatan tangan Arya. Perasaannya seperti menemukan ketenangan yang ia cari selama ini—bahwa dalam setiap ketakutan dan kebimbangan, ada harapan yang bisa mereka genggam jika mereka tetap berjalan bersama.
--
Hari-hari di pantai itu adalah refleksi tentang betapa pentingnya meluangkan waktu untuk berhenti sejenak dan menikmati momen bersama. Reina dan Arya mulai memahami bahwa cinta adalah perjalanan yang bukan hanya tentang mengungkapkan perasaan, tetapi juga tentang memahami, membiarkan diri mereka saling mendukung, dan menciptakan kenangan bersama.
Kembali dari liburan itu, Reina memiliki semangat baru untuk menulis. Ia berencana untuk mengirimkan tulisannya ke penerbit, memulai langkah baru dalam perjalanan impiannya. Arya juga memiliki semangat yang sama—bahwa perjalanan ini adalah tentang membangun bukan hanya impian, tetapi kebahagiaan dalam setiap langkah mereka bersama.
Reina dan Arya tahu bahwa mereka masih memiliki perjalanan panjang. Mereka akan terus menghadapi ketakutan, kebahagiaan, dan keraguan. Namun, mereka juga tahu bahwa selama mereka memiliki satu sama lain, mereka memiliki kekuatan yang cukup untuk menghadapinya.
Cahaya yang mereka miliki bukan hanya datang dari perasaan mereka, tetapi juga dari setiap pilihan yang mereka buat dan setiap keberanian yang mereka ungkapkan.
Dengan keberanian yang sama, mereka melangkah maju, satu hari pada satu waktu—melalui ketakutan, impian, dan cinta yang tak pernah padam.
Setelah liburan yang penuh kenangan dan semangat baru, Reina dan Arya kembali menjalani hari-hari mereka dengan penuh tekad. Perjalanan mereka bukan hanya tentang impian atau rencana masa depan, tetapi juga tentang memahami bahwa cinta adalah perjalanan yang tidak hanya berisi euforia dan kebahagiaan, tetapi juga pengorbanan, pengertian, dan kesabaran.
Reina duduk di meja kerjanya setiap malam, menulis dengan semangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Naskahnya mulai berkembang, dan ia memiliki niat untuk mengirimkan tulisannya ke sebuah penerbit terkenal. Setiap kata adalah refleksi dari perasaannya, ketakutannya, dan pengalaman yang ia jalani bersama Arya.
Namun, di balik semangat itu, ada satu perasaan yang tak bisa ia sembunyikan—rasa ragu. Kadang ia bertanya pada dirinya sendiri apakah tulisannya cukup baik atau apakah ia hanya mengejar impian yang mungkin sulit untuk diwujudkan.
Suatu malam, ketika ia sedang menulis di bawah cahaya lampu kecil, Arya muncul di ambang pintu dengan senyum yang selalu bisa menenangkan hati Reina.
“Kau sedang apa, Reina?” tanya Arya lembut sambil mendekat.
Reina berhenti menulis, meletakkan pena di atas kertas. “Aku sedang mencoba menyelesaikan naskah ini. Tapi… aku merasa ragu, Arya. Apakah ini akan berhasil? Apakah tulisanku cukup baik?”
Arya mendekat, lalu duduk di sampingnya sambil memegang tangan Reina dengan lembut. “Reina, ingat satu hal. Menulis bukan tentang seberapa baik tulisannya menurut orang lain. Menulis adalah tentang keberanian untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam hati kita. Jika ini adalah kisah yang benar-benar ingin kau ceritakan, maka lanjutkan. Percayalah pada dirimu.”
Kata-kata itu mengena di hati Reina. Ia menunduk, menghela napas. “Kau selalu tahu bagaimana membuatku lebih kuat, Arya.”
Arya tersenyum. “Karena aku percaya padamu.”
Reina merasakan kehangatan itu meresap ke dalam dirinya. Dengan dukungan Arya, ia mulai menuliskan setiap kata tanpa rasa ragu lagi. Ia tahu bahwa apa yang ia tulis adalah miliknya, dan ia akan terus berjuang hingga kisah itu selesai.
Setelah beberapa hari bekerja keras, Reina akhirnya selesai dengan naskah pertamanya. Kini, ia mempersiapkan untuk mengirimkan tulisannya ke penerbit. Dengan bantuan Arya, ia mengoreksi setiap bagian, memastikan tidak ada kesalahan yang mengurangi makna dari setiap kata yang telah ia tulis.
Suatu malam, ketika mereka duduk bersama sambil memeriksa naskah itu, Reina merasa hatinya berdebar.
“Arya, jika ini tidak berhasil… jika mereka menolak naskah ini, apa yang harus aku lakukan?” tanya Reina dengan suara bergetar.
Arya menatapnya serius, lalu memegang bahunya. “Kegagalan bukan akhir, Reina. Itu hanya awal dari petualangan lain. Jika mereka menolak, kita belajar dari pengalaman itu. Tapi yang penting adalah kau sudah berusaha, kau sudah memiliki keberanian untuk mengejar impianmu.”
Reina mengangguk perlahan, mencoba menenangkan hatinya. Dukungan Arya adalah satu-satunya yang ia butuhkan.
Beberapa hari setelah mengirimkan naskahnya, Reina mulai merasakan kecemasan yang semakin membesar. Setiap hari ia mengecek kotak masuk emailnya, berharap ada kabar baik dari penerbit. Arya selalu ada di sisinya, memberikan dukungan tanpa lelah.
Suatu sore yang cerah, ketika Reina sedang menyiram tanaman di balkon, ia mendengar suara Arya memanggilnya dengan suara yang bersemangat.
“Reina! Aku pikir kau harus melihat ini!”
Reina bergegas masuk ke dalam ruangan, menemukan Arya duduk dengan senyum lebar sambil memegang ponsel.
“Ada apa?” tanya Reina, dengan jantung yang berdebar lebih cepat.
Arya menunjuk layar ponsel dengan senyum penuh kebahagiaan. “Lihat ini, Reina. Naskahmu diterima! Penerbit ingin menerbitkan kisahmu!”
Reina mematung beberapa saat. Air mata mulai menggenang di matanya. Perasaannya campuran antara lega, bahagia, dan tak percaya.
“Arya… ini benar?” suaranya bergetar.
Arya mendekatinya dan memeluknya erat. “Ini benar, sayang. Kau melakukan ini dengan keberanian dan tekad. Aku tahu kau bisa.”
Reina membalas pelukan itu, menangis dalam keharuan. Ini adalah momen yang ia tunggu-tunggu—bukan hanya karena keberhasilannya, tetapi karena ia tahu ia tidak sendirian. Arya selalu ada, mendukungnya dari awal hingga akhir.
Keberhasilan Reina menjadi titik awal bagi mereka berdua untuk melangkah ke babak baru dalam hidup mereka. Naskah Reina yang diterima bukan hanya simbol dari usaha dan semangatnya, tetapi juga simbol dari kerja sama mereka sebagai pasangan.
Mereka merencanakan masa depan dengan lebih optimis. Dengan penghasilan dari menulis dan dukungan satu sama lain, mereka mulai membangun impian—memulai perjalanan yang lebih mandiri dan penuh arti.
Di tepi balkon yang sama, ketika matahari tenggelam dan langit berwarna ungu kemerahan, Reina memandang Arya dengan senyum yang tulus.
“Kau tahu, Arya, tanpa dirimu, aku tidak akan pernah sampai di sini,” katanya.
Arya tersenyum dan memegang tangan Reina. “Kita melakukan ini bersama, Reina. Keberhasilan ini adalah milik kita berdua.”
Mereka menatap langit, merasakan angin yang berhembus lembut dan janji masa depan yang penuh harapan. Kini, mereka tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai—perjalanan mereka yang dipenuhi dengan cinta, keberanian, dan impian yang terus mereka kejar.
Dan bersama-sama, mereka siap menulis bab berikutnya dalam kisah mereka.