Sebuah pulpen langganan dipinjam Faiq kini tergeletak begitu saja, pemuda yang suka menggodanya, mengusiknya dengan segala cara, ia tidak pernah kehabisan akal untuk mengerjai Vika.
Vika memandanya dengan harap si tukang pinjam pulpen itu akan kembali. Ia memelototi pulpen itu seolah memaksanya membuka mulut untuk memberitahu dimana keberadaan Faiq.
••••••••
Goresan Pena terakhir ini
Kini tinggalah kenangan
Yang pernah kita ukir bersama
Sekarang kau tak tahu dimana
Tak ada secarik balasan untukku
Akankah titik ini titik terakhir
Yang mengakhiri kisah kita?
Kisah kau dan aku
-Vika Oktober 2017
⏭PERHATIAN CERITA MURNI HASIL PEMIKIRAN AUTHOR, BILA ADA KESAMAAN TOKOH MAUPUN TEMPAT, DLL. MERUPAKAN MURNI KETIDAK SENGAJAAN⏮
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kepik Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pandangan Pertama
Pagi ini Vika akan pergi ke sekolah barunya, begitu selesai bersiap-siap ia segara bergabung di meja makan. Suasana canggung masih menyelimuti interaksi antara Vika dan Eyang Sinta. Karena ini adalah kali pertama mereka makan berdua. "Eyang, nanti Vika berangkat naik ojek online." Entah mengapa rasanya Vika ingin memberi tahu apa yang akan dia tumpangi untuk menuju ke sekolah barunya.
"Padahal Eyang baru aja mau suruh Pak Aryo buat anter kamu, tapi malah kamu mau naik ojek online. Yaudah kamu hati-hati aja ya, langsung pulang kalau sekolahnya sudah selesai."Ujar Eyang Sinta
Vika hanya menanggapi dengan senyuman serta anggukkan, ia masih belum nyaman saja karena ini kali pertama mereka bertemu setelah 6 tahun. Sudah lebih dari cukup Vika rasa, semua yang eyang berikan kepadanya. Vika berjanji akan menebus semua ini, ia akan rajin belajar supaya bisa membanggakan eyang.
Vika memandang takjub akan sekolah barunya. Sekolah ini sangat megah, pasti eyang harus membayar SPP yang tinggi untuk menyekolahkannya di sini. Dari luar saja sudah terlihat betapa tak pantasnya Vika bersekolah di sini. Vika itu kurang pintar, nilai ujian pas KKM saja dia sudah bersyukur. Bagaimana dia bisa menyesuaikan diri di sekolah baru ini?
"Semangat Vik, kamu pasti bisa!" Vika memberikan semangat pada dirinya sendiri, jika bukan dirinya siapa lagi?
10 IPA 3, itu kelas yang akan ia tempati saat ini. Mungkin di sekolah yang sebelumnya ia bisa bertahan di kelas IPA, tapi entah kalau sekarang. Sepanjang jalan banyak yang menatapnya, atau mungkin lebih ke tas bermerek yang di gendongnya, Semalam Eyang Sinta memberikan tas itu, juga yang lainnya seperti seragam yang ia kenakan saat ini, sebetulnya dia juga di berikan sepatu baru oleh eyang, tapi sayang bila di pakai sekarang karena sepatu lama Vika masih bagus. Dia diantar oleh Bu Pertiwi selaku guru BP di SMA Nusa Bakti. Vika tidak banyak bicara, dia lebih sering menunduk ketika semua orang yang di laluinya menatapnya. Sudah begitu sejak dulu karena Vika menjadi korban bully di sekolah lamanya.
"Vika silahkan duduk di pojok depan, tidak apa-apa kan?" tanya Bu Pertiwi ketika sampai di kelas baru Vika. Tentu saja semua seisi kelas melihat kedepan, tepat dimana Vika berdiri. "Yang lain sudah isi, tinggal itu saja yang masih kosong."
"Tidak apa-apa, Bu." Jawab Vika dengan singkat, setelah Bu Pertiwi mempersilahkan dan keluar dari kelas itu Vika segera menempati bangkunya. Bu Pertiwi juga sempat memberi tahu kepada murid yang lain untuk mau berteman dengan Vika. Semuanya menjawab dengan kompak, siap menjalankan amanat dari beliau.
Hal itu sama sekali bukan sesuatu yang diharapkan oleh Vika. Dia sudah terbiasa sendiri dan duduk di belakang. Tak ada yang mau berteman dengannya karena rumor dia membawa sial, katanya dia aneh, dan berotak dangkal. Semua itu tak bisa Vika tepis, karena memang begitu adanya.
"Pindahan dari mana?" tanya dua orang siswi yang menyambut kedatangan Vika. Mereka duduk di samping dan belakang bangku Vika.
Cantik, itulah kesan pertama yang Vika lihat dari kedua siswi tersebut. Apalagi kalau sedang tersenyum seperti sekarang. "Aku dari Jawa Tengah," jawabnya singkat. Vika tak pintar berinteraksi dengan orang lain, karena dia tidak biasa.
"Kenalin, nama gue Anandita. Teman-teman yang lain biasa panggil gue Dita dan sahabat gue ini namanya Nalita, panggil aja lita," siswi tersebut mengulurkan tangan, langsung saja Vika menyambut uluran tangannya begitu pun dengan siswi satunya lagi.
...***...
Jam istirahat, semua siswa langsung berbondong-bondong menuju kantin untuk mengisi perut mereka begitu pula dengan Vika, karena dia harus fokus kepada pelajaran selanjutnya. Beberapa hari berkabung atas meninggalnya kakek membuat Vika kurang berkonsentrasi ditambah ia tak belajar sama sekali. Nanti Vika harus belajar maraton agar tidak kebingungan jika guru sedang menerangkan pelajaran, bukan belajar juga sih, lebih tepatnya membuat catatan kecil dan membaca beberapa buku.
"Ke kantin bareng, Yuk!"
Pergerakan Vika ketika menarik resleting tas untuk mengambil uang pun terhenti, ketika Dita mengajaknya ke kantin bersama-sama. Sejenak Vika kebingungan, tolong sadarkan Vika dari mimpi yang indah ini jika ia tak sengaja tertidur di kelas. Vika hanya bisa memandang Dita dengan penuh tanya. Dan ketika gadis itu mengangguk, Vika tahu bahwa dia sedang tak bermimpi. Sesederhana itu tapi cukup membuat Vika senang, selama ini dia bahkan tak pernah diajak ke kantin oleh teman-teman di sekolah lamanya. Vika langsung mengikuti Dita dan Lita menuju ke kantin, tak lupa dia membawa uang saku dari eyangnya itu.
Rupanya buka cuma bangunan sekolah saja yang megah. Tapi kantin yang terletak di pojok belakang sekolah juga sama megahnya tidak seperti kantin di sekolahnya yang dulu. Setiap warung pedagang disekat dengan tembok, warung-warung itu juga memiliki garis antre, yang berarti semua harus mengantre tidak boleh mendahului sama sekali. Meja dan kursi makan ditata rapi menyebar ke seluruh penjuru kantin.
"Kalian mau beli apa?" tanya Dita, berhasil membuat kesadaran Vika kembali.
"Gue mau beli bakso. Kalian mau juga?" Ujar Lita
"Boleh," jawab Vika sambil mengekori Lita. "Eh. Gue titip sekalian!" Seru Dita. "Siap Bos." sahut Lita.
Sementara Dita mencari meja kosong, Vika dan Lita mengantre di pedagang bakso. Sama sekali tidak ada antrean yang pendek di semua warung, semua murid berjajar panjang menunggu giliran. Perbedaan yang paling mencolok dengan sekolah Vika yang dulu adalah di sini tidak ada satu pun siswa yang berteriak meminta orang terdepan untuk cepat menyingkir. Mereka mengantre dalam diam atau pun bercengkrama dengan teman yang lain. Ada juga yang sibuk dengan ponselnya, ada juga yang lebih memilih melamun seperti Vika. Sebetulnya tidak bisa dikatakan melamun juga, karena pandangan Vika terfokus pada meja dimana para cowok yang terlihat sangat akrab sekali, mereka tertawa bersama karena satu pria yang mempunyai humor tinggi menurut Vika.
Pria itu seketika berhenti tertawa, ia balik menatap Vika tajam. Sepertinya dia sadar sedari tadi Vika memandangnya. "Ngeliatin apa Vik?" Lita berbalik. Ia mengikuti arah pandang Vika. "Jangan balik ngeliatin dia Vik, bisa bahaya loh!" lanjutnya sambil memalingkan pandangan.
"Kenapa?"
Lita menggelengkan pelan kepalanya. Dia menarik lengan Vika untuk maju selangkah, kerena antrean sudah bergilir. "Itu namanya Kak Faiq salah satu most wanted di sekolah ini. Orangnya sih keliatan humoris, tapi katanya juga kejam, bahkan katanya dia pernah ngerisak kakak kelas cewek. Bukan cuma Kak Faiq aja yang kejam, tapi teman-temannya juga. Pokoknya dia dan teman-temannya bisa bikin lo dalam bahaya."
Kepala Vika mengangguk, pertanda dia mengerti dengan ucapan Lita. Lagian, dia bertukar pandangan barusan karena tak sengaja. Vika tidak pernah tertarik untuk memikirkan soal percintaan, apa lagi dengan pria yang terkenal kejam seperti.... Siapa tadi namanya?? Vika lupa. Yang menjadi prioritasnya sekarang hanyalah nilai nya, dia harus membuat Eyang Sinta bangga dengannya.
"Kecap dan sambalnya ada di meja ya, Mbak," ucap tukang bakso sambil memberikan pesanan kepada Lita dan vika. Kedua gadis itu mengangguk serempak dan segera mencari keberadaan Dita. Celaka, meja mereka bersebrangan dengan meja Faiq.
Setibanya di meja, Vika langsung mencari sambal untuk baksonya. Dia sangat yakin, setiap meja memiliki sambal. Tapi mengapa di mejanya tak ada?
"Cari sambal Vik?" tanya Dita. "Iya, dimana yah?" ujar Vika. "Itu di meja sebelah." ujar Dita. Akhirnya Vika mengetahui dimana sambal meja mereka. Ada di meja Faiq dan teman-temannya. Daripada harus berurusan dengan mereka, lebih baik Vika makan bakso bening saja.
"Yakin nggak mau pake sambal, Vik? Lo juga Dit?" tanya Lita. "Lo kan paling nggak bisa makan bakso tanpa sambal."
"Nggak usah, daripada gue harus berurusan sama Kak Faiq and the gank, mending bakso gue pake kecap aja."
Mendengar percakapan kedua temannya, Vika berinisiatif untuk mengambilkan sambal itu. Tapi sebenarnya dia juga takut, ia tak mau kehidupannya di ganggu oleh para perisak seperti di sekolah lamanya. Lagi pula tak ada gunanya bersikap sok pahlawan untuk mengambil sambal itu toh Lita sendiri yang berkata untuk menjauhi Faiq.
Baru setengah porsi bakso yang Vika habiskan, dia bingung ketika Dita dan siswi lainnya memperhatikan seragam bagian belakangnya. "Kenapa Dit?"
"Seragam lo kena kecap, Vik," jawab Dita ragu. Sontak saja Vika menoleh ke belakang. Benar saja rok bagian bawahnya terkena kecap. Matanya menoleh ke tiga orang pria yang duduk di belakangnya. Masing-masing pria itu memasang wajah datar seakan tak tahu apa-apa, tapi Vika tahu pasti Faiq pelakunya atau salah satu dari mereka bertiga. Sudah terbiasa menjadi korban bullying, membuat Vika lebih peka terhadap keadaan, sangat mudah bagi Vika mengetahui siapa yang menjahilinya. Dia berdiri kemudian berlalu begitu saja, menuju arah toilet. Di saat teman-temannya tegang, justru Vika merasa biasa-biasa saja. Bukanya ingin menantang kakak kelas itu, dia hanya biasa diperlakukan seperti ini di sekolah lamanya.
Vika sangat yakin bahwa tak mempunyai salah apapun kepada kakak kelas itu, ini hari pertama Vika masuk ke SMA Nusa Bakti, ini kali pertama mereka berjumpa, Vika tak melakukan kesalahan yang bisa membuat Faiq dan teman-temannya kesal. Tapi terkadang tak perlu membuat kesalahan apapun untuk di-bully. Mungkin mereka sudah mengincar Vika sedari tadi untuk bahan percobaan mereka, dari wajahnya yang lugu saja bisa dipastikan bahwa Vika adalah santapan lezat untuk mereka permainkan, bisa dipastikan Vika tidak akan melakukan perlawanan apapun.
Begitu selesai membersihkan rok bagian belakangnya di toilet, Vika berniat untuk masuk ke kelas saja, selera makannya sudah lenyap. Karena terus menunduk ketika berjalan Vika jadi tak sengaja menabrak seseorang di depan pintu toilet. Tapi tunggu dulu, kenapa seorang siswi memakai celana panjang dan bukannya rok pendek?
Perlahan, Vika mengangkat kepala. Astaga, ternyata itu bukan seorang siswi, melainkan salah satu kakak kelas yang menjahilinya tadi. Ah, Vika lupa namanya, tapi yang jelas saat ini mereka sedang bertukar pandang. Sangat lama, seakan waktu terhenti saat itu juga. Keduanya tak memperdulikan orang lain di sekitar toilet perempuan yang menjadikannya pusat perhatian. Mereka sama-sama tenggelam dalam netra satu sama lain.
...*...
...*...
...*...
...TBC...
...Thanks for Reading 💙🌻...