Tidak ada seorang istri yang rela di madu. Apalagi si madu lebih muda, bohay, dan cantik. Namun, itu semua tidak berpengaruh untukku. Menikah dengan pria yang sedari kecil sudah aku kagumi saja sudah membuatku senang bukan main. Apapun rela aku berikan demi mendapatkan pria itu. Termasuk berbagi suami.
Dave. Ya, pria itu bernama Dave. Pewaris tunggal keluarga terkaya Wiratama. Pria berdarah Belanda-Jawa berhasil mengisi seluruh relung hatiku. Hingga tahun kelima pernikahan kami, ujian itu datang. Aku kira, aku bakal sanggup berbagi suami. Namun, nyatanya sangat sulit. Apalagi sainganku bukanlah para wanita cantik yang selama ini aku bayangkan.
Inilah kisahku yang akan aku bagi untuk kalian para istri hebat di luar sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Pulang
Waktu berlalu sangat cepat. Tidak sampai sebulan pernikahanku dengan Dave sudah terlaksana. Kami resmi menjadi sepasang suami istri. Pesta yang sangat megah tak begitu ku hiraukan kala itu sebab pria yang berdiri disampingku lebih megah dibanding semuanya.
Hingga mentari berganti bulan. Bulan malam itu berbentuk pepat sempurna dengan cahaya kemilau. Seluruh keluarga besar meninggalkan kami berdua di kamar hotel yang megah. Bukannya aku tidak pernah menginap di hotel bersama keluarga dengan fasilitas nomor satu tapi pria yang berada di dalam ruangan yang sama denganku membuat aku salah tingkah.
Cahaya lampu yang menyilaukan bagaikan mutiara-mutiara yang melayang di langit. Sungguh lebay. Begitulah yang kurasa. Malam pengantin yang sangat ditunggu setiap pasangan suami istri membuat aku lagi-lagi salah tingkah. Jantungku melompat-lompat kegirangan.
Namun, semua itu hanya khayalan. Usai membersihkan diri, Dave langsung menuju ranjang pengantin dan tertidur pulas dalam hitungan detik. Aku yang duduk di ujung tempat tidur dengan gaun kurang bahan dan jauh dari kata tebal diacuhkannya begitu saja. Kelakuannya berhasil membuatku melongo dan tak habis pikir.
Tak hanya satu kali, kurang lebih enam bulan aku berjuang dan berusaha agar Dave mau menyentuhku. Di sini bukan berarti Dave mengacuhkanku. Dia sangat perhatian, tutur katanya sangat lembut dan sopan. Aku sangat dimanjakan sebagai seorang istri. Tapi, aku menginginkan lebih dari itu.
Aku sempat ragu padanya. Apa karena dia belum mencintaiku dan kami dijodohkan? atau jangan-jangan dia sudah memiliki pilihan hati yang lain namun tidak berani untuk melawan kehendak kedua orang tuanya. Berbagai pertanyaan dan spekulasi bermunculan di benakku.
Aku sempat menyerah dengan keadaan tapi menyerah untuk mendapat kemenangan. Seolah aku mengikuti alur ceritanya. Aku putar balik caraku untuk menarik simpatinya hingga suatu malam, Dave sendiri yang mendatangiku dan terjadilah pergelutan panas pertama kami setelah enam bulan lamanya aku menunggu.
Perjuanganku tidak sia-sia hingga di tahun kedua pernikahan, kami dikaruniai seorang putri cantik. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki. Sungguh lima tahun pernikahan yang sangat menguras tenaga dan perasaan.
"Tunggu dulu!" aku mulai menyadari sesuatu.
Flashback off
"Gue mati-matian membangun rumah tangga selama lima tahun terakhir terus kenapa sekarang gue jadi ciut!" ucapku sendiri.
Sungguh kebodohan yang terlambat kusadari. Hampir saja sia-sia perjuangan rumah tanggaku. Aku bergegas masuk ke rumah. Menapaki setiap anak tangga dengan tergesa. Kamar yang berada di lantai dua berasa sangat jauh bagiku saat ini.
Putriku masih terlelap. Melihat kelopak matanya yang masih erat membuatku tak tega membangunkannya, aku langsung meraih jaket pink muda dan mengenakan padanya perlahan. Carla bergerak sedikit tapi tidak sampai membangunkannya. Aku meraih tas kecil lalu menggendong Carla. Menuruni anak tangga perlahan.
"Bi, tolong pakaian saya dan Carla dibereskan dan dikirim nanti!" perintahku pada bi Ijah.
"Iya nyonya. Nyonya mau kemana pagi-pagi begini?" tanya bi Ijah sambil mengelap tangannya yang basah. Wanita paruh baya itu sedang mencuci piring saat aku menghampirinya di dapur.
"Saya mau pulang, bi."
"Alhamdulillah. Bibi senang nyonya mau pulang ke rumah tuan," ujar bi Ijah sambil tersenyum. "Eh, tapi ini bukan maksud bibi mengusir ya, nyah!" timpalnya lagi dengan nada sedikit takut.
Aku tersenyum, "Aku tahu kok, bi. Bibi selalu menginginkan yang terbaik untuk rumah tanggaku."
"Sejak nyonya cerita sama bibi tiga hari yang lalu, bibi selalu berdoa sama Allah SWT. agar nyonya kuat menghadapi cobaan rumah tangga."
"Makasih bi," jawabku singkat.
"Bi Ijah jangan cerita-cerita ke siapa pun ya! Gimana juga ini aib rumah tanggaku, bi," pintaku pada bi Ijah.
"Tenang aja nyonya. Pokoknya tokcer," ucap bi Ijah sambil melayangkan ibu jarinya ke udara.
"Hah, tokcer!" seruku keheranan.
Bi Ijah menutup mulut dengan salah satu tangannya, "Itu loh, nyah. Yang ada di film-film kalo simpan rahasia itu."
"Oh, top secret, bibi!" terang ku sambil tertawa pelan takut membangunkan Carla.
Bi Ijah juga ikut tertawa sambil menutup mulut.
"Kalau begitu bibi suruh pak Ujang siapin mobilnya dan nyiapin bekalan buat nona Carla. Takut non Carla terbangun di tengah perjalanan terus mau minum susu dan makan," ujar bi Ijah.
"Makasih ya, bi."
"Sama-sama nyonya. Lagian juga udah kewajiban saya," bela bi Ijah.
"Kalau begitu saya tunggu di teras depan ya, bi."
"Siap nyonya," bi Ijah menundukkan kepala sedikit sambil tersenyum.
Aku masih bisa mendengar ocehan bi Ijah saat melangkah keluar dari dapur.
"Dasar tuan besar goubloknya ngga ketulungan. Punya istri cantik, baik, sabar, masih aja cari yang lain. Kalo aja nyonya itu anakku, udah ngga kasi ampun," oceh bi Ijah sambil meremas kain lap di tangannya.
Aku tersenyum mendengar ocehannya. Setidaknya menjadi sedikit penawar untuk hatiku. Tidak sampai lima belas menit segala keperluan Carla telah disiapkan bi Ijah. Aku salut dengan geraknya yang sangat cekatan.
"Makasih banyak ya, bi," ucapku lagi sambil menyalami dan mencium tangannya.
Spontan saja bi Ijah melepas tangannya sebelum punggung tangannya ku cium.
"Eh, ngga boleh gitu nyonya!" Bi Ijah terkejut mendapat perlakuan seperti itu dariku.
"Bibi kan lebih tua dari saya. Sudah sewajarnya saya menghormati bibi." Aku tidak ingin pengajaran kedua orang tuaku tentang adab menjadi sia-sia.
"Tapi nyo-,"
"Bibi itu seumuran sama mama aku. Jadi, bibi ngga perlu sungkan. Jangan pernah bibi berpikir karena bibi bekerja di sini, bibi sampai lupa adab yang benar itu seperti apa," aku segera memotong kalimat bi Ijah.
Tampak kedua netranya berkaca-kaca mendengar penjelasan dariku. Aku tersenyum, Lalu, aku raih kembali tangannya dan mencium punggung tangan wanita yang tidak muda lagi.
"Aku pamit ya, bi. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Aku pamit pada bi Ijah sambil berdiri dari kursi yang menopang bobot tubuhku dan Carla.
"Hati-hati di jalan, nyonya. Jangan lupa kabari bibi saat sudah tiba di rumah!" ucap bi Ijah melepas kepergian ku.
"Iya bi."
Kendaraan roda empat yang kunaiki melaju perlahan. Meninggalkan halaman vila. Aku sengaja membuka kaca mobil sedikit agar dapat melihat bi Ijah yang masih melambaikan tangannya dan enggan masuk ke dalam villa.
Perjalanan pulang ke rumah membutuhkan waktu kurang lebih dua jam. Waktu yang cukup untukku sekedar memejamkan mata. Mengumpulkan kembali tenaga yang terkuras selama tiga hari terakhir. Ya, pikiran, hati, dan tenagaku harus optimal saat aku tiba di rumah nanti.
Beberapa pertanyaan sudah kusiapkan saat berhadapan dengan Dave. Terakhir kali aku pergi dengan meninggalkan secarik kertas dengan pesan singkat yang ku tulis dengan huruf kapital, AKU PERGI. JANGAN MENCARI DAN MENGHUBUNGI ORANG TUAKU. Beserta sebuah foto yang menampilkan sosok suami tercintaku dengan seorang wanita. Ponsel juga ku nonaktifkan. Entah bagaimana keadaan suamiku saat itu? Huh! Takdir sangat lucu dan kejam.