keinginannya untuk tidak masuk pesantren malah membuatnya terjebak begitu dalam dengan pesantren.
Namanya Mazaya Farha Kaina, biasa dipanggil Aza, anak dari seorang ustad. orang tuanya berniat mengirimnya ke pesantren milik sang kakek.
karena tidak tertarik masuk pesantren, ia memutuskan untuk kabur, tapi malah mempertemukannya dengan Gus Zidan dan membuatnya terjebak ke dalam pesantren karena sebuah pernikahan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Sidang dengan Abah yai
Aza memandang Gus Zidan dan Wahyu dengan penuh kecemasan. Perasaan terjebak semakin menghimpit dirinya, dan yang ada di pikirannya hanyalah pamannya, Amir, yang pasti sedang panik mencarinya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi paman Amir jika tahu dia terjebak dalam situasi ini.
"Please... lepaskan aku. Paman ku pasti sedang mencariku. Dia akan panik kalau aku tidak kembali," Aza memohon, ia sengaja menggunakan pamannya agar bisa kabur dari dua pria asing di depannya itu.
Gus Zidan menatapnya, ekspresinya tidak menunjukkan amarah atau simpati, hanya ketenangan yang dingin. Ia tahu bahwa gadis di depannya berada dalam situasi yang sulit, tetapi melepaskannya sekarang hanya akan memperburuk keadaan, terutama dengan perintah dari Abah Yai. Namun, melihat kegelisahan Aza, ia tahu ada satu hal yang bisa ia lakukan.
"Wahyu," katanya pelan, memanggil asistennya, "serahkan ponselmu pada gadis itu. Biarkan dia menghubungi pamannya."
Wahyu menatap Gus Zidan sejenak, agak ragu, tetapi kemudian menyerahkan ponselnya kepada Aza. "Hubungi dia," ucap Wahyu singkat, mencoba menawarkan sedikit kenyamanan dalam situasi yang serba salah ini.
Aza mengambil ponsel itu dengan ragu, bukan itu yang ia inginkan. "Aku bisa pergi saja menemuinya, dia di hotel ini juga." ucap Aza beralasan.
"Telpon atau tidak sama sekali." ucap Gus Zidan dingin membuat Aza semakin terjebak. Pikirannya berkecamuk—apa yang harus ia katakan pada Paman Amir? Bagaimana ia bisa menjelaskan semuanya tanpa memperburuk keadaan? Namun, ia tahu ia tidak punya pilihan lain. Aza pun mengetik nomor pamannya dan menunggu dengan ragu.
Panggilan itu tersambung, dan suara Paman Amir terdengar di ujung sana, penuh kekhawatiran. "Aza? Kamu di mana? Kenapa belum kembali? Ini nomor siapa?"
Aza menelan ludah, mencoba meredam kegugupannya. "Paman... aku... aku baik-baik saja. Maaf, aku tidak bisa kembali sekarang. Ada masalah yang terjadi."
"Apa? Masalah apa?" Suara Paman Amir terdengar semakin cemas.
Aza mengambil napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. Aza pun mulai menjelaskan semuanya pada paman Amir tanpa terkecuali.
Di seberang telepon, terdengar keheningan yang mencekam, dan Aza bisa merasakan betapa terkejutnya Paman Amir. " Aza, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu bisa ada di sana?"
Aza menggigit bibirnya, bingung bagaimana menjelaskan semuanya tanpa membuat situasi semakin buruk. "Aku akan jelaskan nanti, Paman. Tapi sekarang, aku hanya ingin Paman datang ke sini."
Paman Amir terdengar menarik napas panjang, jelas ia masih merasa khawatir. "Baik, jangan kemana-mana sampai paman datang."
Aza mengangguk meski tahu Paman Amir tak bisa melihatnya. "Terima kasih, Paman."
Setelah panggilan itu berakhir, Aza menyerahkan ponsel kembali pada Wahyu. Ia menatap Gus Zidan yang kini menunggu dengan sabar.
"Terimakasih, pamanku akan segera ke sini dan membawaku pergi dari sini." ucap Aza, suaranya masih sedikit gemetar.
Gus Zidan hanya tersenyum hambar. "Terserah. Sekarang kita tunggu Abah Yai. Sampai saat itu, saya yakin kamu tidak bisa ke mana-mana."
Hanya butuh waktu lima menit, pintu kamar hotel itu diketuk dari luar. Wahyu pun segera membuka pintu dan tanpa salam paman Amir masuk dengan tergesa-gesa.
"Aza, kamu tidak pa pa?!" ucap ya panik dan Aza pun segara berhambur memeluk paman Amir.
"Paman, bawa aku pergi." rengek Aza membuat paman Amir meradang, ia segera menarik Aza kebelakang punggungnya.
"Siapa yang berani menahan keponakan saya?" ucapnya dengan penuh emosi.
"Saya." ucap Gus Zidan membuat Amir menoleh ke arah Gus Zidan, melihat siapa yang berada di depannya Amir segera membungkukkan badannya dengan hormat.
"Gus Zidan, bagaimana anda di sini?" tanya Amir sungkan.
"Tanya sama keponakan 'njenengan', saja." ucap Gus Zidan dengan sopan.
***
Di dalam ruang VVIP hotel, suasana begitu tegang. Seorang pria dengan rambut dan jenggot yang hampir sepenuhnya memutih duduk tegak di kursinya, menatap Gus Zidan dan Aza dengan mata tajam namun teduh. Sosok itu adalah Abah Yai, ulama besar sekaligus kakek Gus Zidan yang sangat dihormati. Di sampingnya, Ustaz Zaki—ayah Aza—juga hadir, setelah diberi kabar oleh Paman Amir.
Abah Yai memandang kedua anak muda itu dengan ekspresi penuh pertimbangan. Meski tatapannya lembut, ada kekuatan dalam sorot matanya yang membuat Gus Zidan merasa terpaku di tempatnya, sementara Aza semakin gelisah di kursi yang ia duduki. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani memulai bicara.
"Saya ingin penjelasan," suara Abah Yai akhirnya terdengar, pelan namun tegas. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Gus Zidan menelan ludah, mengumpulkan keberanian untuk bicara. Sebagai cucu Abah Yai, ia sangat menghormati kakeknya, namun kali ini situasinya terlalu rumit untuk dijelaskan dengan mudah. Ia menoleh sebentar ke arah Aza yang tampak gugup, lalu kembali menatap kakeknya.
"Abah Yai, ini semua hanya kesalahpahaman," Gus Zidan memulai dengan nada hati-hati. "Kami hanya terjebak dalam situasi yang tidak ia inginkan, gadis ini masuk tanpa ijin ke dalam kamar saya dan tanpa sengaja wartawan menemukan kami dalam kondisi yang salah. Kami tidak melakukan sesuatu yang melanggar, tapi... keadaan terlihat buruk."
Aza yang duduk di sebelah Gus Zidan segera mengangguk, mencoba menegaskan pernyataan itu. "Benar, Abah. Saya hanya... saya sedang mencoba kabur dari paman saya yang mau membawa saya ke pesantren, dan kebetulan saya masuk ke kamar Gus Zidan tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Saya tidak bermaksud menyebabkan masalah ini."
Abah Yai tetap diam, mendengarkan setiap kata dengan seksama. Sementara itu, Ustaz Zaki—ayah Aza—tampak tegang dan tidak sabar. Ia menatap putrinya dengan campuran rasa marah dan kecewa, tetapi ia menahan diri untuk tidak memotong penjelasan mereka.
"Saya tidak menyangka ada wartawan yang akan datang," lanjut Gus Zidan. "Dan karena situasinya begitu rumit, Wahyu terpaksa memberikan klarifikasi bahwa gadis ini adalah istri saya untuk meredam situasi. Tapi jelas, itu hanya untuk menghentikan wartawan agar tidak memperburuk keadaan."
Mendengar penjelasan itu, Ustaz Zaki menghela napas panjang, matanya terpejam sejenak seolah berusaha meredam emosinya. Ketika ia membuka mata, tatapannya langsung tertuju pada putrinya.
"Aza, apa yang kamu lakukan ini sangat mencoreng nama baik keluarga kita," katanya dengan nada rendah namun sarat dengan kekecewaan. "Mengapa kamu kabur dari pamanmu? Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?"
Aza menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. Ia tahu ia telah membuat kesalahan besar, namun di saat itu ia hanya ingin melarikan diri dari tekanan yang ia rasakan. "Ayah, aku... aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku merasa terjebak. Maafkan aku."
Abah Yai menghela napas panjang, menenangkan suasana yang semakin memanas. "Zidan, nak Aza," katanya lembut tapi tegas, "kalian berdua telah membuat situasi ini menjadi jauh lebih rumit. Jika kami para orang tua tidak turun tangan sekarang, nama baik pesantren dan keluarga kita akan dipertaruhkan."
Gus Zidan dan Aza saling menatap, keduanya tahu bahwa apa pun yang terjadi selanjutnya akan sangat menentukan. Mereka hanya bisa menunggu apa yang akan diputuskan oleh Abah Yai dan Ustaz Zaki, serta berharap bahwa solusi terbaik akan ditemukan.
Bersambung
Happy reading
emak nya Farah siapa ya...🤔...
aku lupa🤦🏻♀️
yang sebelm nya ku baca ber ulang²....
hidayah lewat mz agus🤣🤣🤣🤣🤣🤣....
eh.... slah🤭.... mz Gus....😂😂😂
100 dst siapa ikut😂😂😂😂
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....