“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22 : Malu-Maluin!
Mas Aidan : Sepuluh hari lagi, ada acara empat bulanan kehamilan adik perempuanku. Mbak Arimbi bisa isi prasmanan pakai pecel lontong lengkap sama gorengannya? Tapi kalau bisa, gorengannya dadakan biar lebih enak renyah juga.
“Wah ...,” liirh Arimbi refleks seiring senyum cerah yang menghiasi wajah cantiknya. Ia sampai menurunkan masker putihnya lantaran kebahagiaan yang ia rasa, membuatnya merasa sesak.
“Alhamdullilah!” batin Arimbi yang kemudian buru-buru membalas pesan mas Aidan. “Pada kenyataannya, berbuat baik memang enggak ada ruginya sih. Alhamdullilah, alhamdulliah!” batin Arimbi tak hentinya bersyukur.
Di tempat berbeda, pak Kalandra yang tengah meminum air kelapa hijau menggunakan sedotan stainles, sampai melongok ponsel mas Aidan. Niatnya ingin melihat foto profil WA Arimbi, tapi ternyata foto profil yang tengah menghiasi ruang obrolan WA di ponsel mas Aidan hanya berupa hamparan langit biru.
“Kayak apa, sih?” lirih pak Kalandra kepo karena memang sangat penasaran.
“Besok datang saja ke pasar!” yakin nenek Kalsum.
“Jangan sampai, gara-gara dipojokin terus, nanti Mas Aidan jadi jauhin Mbak Arimbi,” tegur ibu Arum. “Lebih kasihannya lagi, kalau mbak Arimbi dikira sebagai orang ketiga sama pihak Didi.”
“Makanya, digosipinnya sama aku saja!” yakin Azzam yang membawa sepiring makanan ke meja makan.
Pak Kalandra menertawakan Azzam. “Si paling ngarep digosipin sama mbak Arimbi!” ucapnya sambil mengelus-elus kepala sang anak yang selalu memakai gaya rambut rapi dan itu sangat mirip dengannya.
“Ngefans, Pah!” ucap Azzam yang sudah langsung mengunyah makanan di dalam mulutnya.
Mas Aidan yang duduk di sebelah Azzam dan hanya terpaut dua kursi, sengaja berkata, “Besok kita lihat kalau Mbak Arimbi di sini, Dek Azzam mau ngapain?” Ia mengakhiri ucapannya dengan senyum yang sangat lembut.
“Kenalan lah, Mas. Biar cepat nyusul gelar acara empat bulan juga!” ucap Azzam yang mendadak terbahak.
Semuanya termasuk mas Aidan juga ikut terbahak dengan keceriaan Azzam yang begitu ingin mendekati Arimbi. Yang mana, Azzam juga dengan gentleman mengajak Arimbi berkenalan, di keesokan harinya.
“Mbak Arimbi, saya adiknya Mas Aidan,” ucap Azzam sambil mengulurkan tangan kanannya dan siap menjabat tangan kanan Arimbi.
Arimbi yang baru pertama kali diajak kenalan oleh orang berada secara terang-terangan, langsung bingung. Melalui lirikan, ia menatap mas Aidan penuh arti. Pria itu mengangguk, seolah memintanya untuk balas menjabat tangan Azzam.
“Dek Azzam ini kembarannya mbak Azzura yang sedang hamil dan kemarin Mbak Arimbi kirimi kelapa hijau,” jelas mas Aidan ketika akhirnya Arimbi yang sampai melepas sarung tangan plastiknya, menjabat tangan Azzam.
Dengan jenaka, Azzam sengaja berkata, “Tapi saya enggak sedang hamil kok Mbak Arimbi!”
Bukan hanya Arimbi yang langsung kaku karena menahan tawa. Sebab sekelas Aidan yang memang pendiam, juga.
“Tumben, Mbahnya enggak diajak?” tanya Arimbi masih dengan sisa senyum akibat lelucon Azzam.
“Walau Mbah enggak diajak, mereka selalu di hati kok. Namun kalau Mbak Arimbi mengizinkan, saya juga ingin ada di hati Mbak Arimbi,” ucap Azzam.
Mas Aidan yang baru duduk di bangku biasa dan baru menenggak air mineral, sampai tersedak. “Ya ampun, Dek Azzam beneran usahanya langsung digaspol!” batinnya.
“Mas, adik Mas kenapa?” tanya Arimbi berbisik-bisik sambil melirik panik mas Aidan. Namun, yang ditanya malah sibuk menahan tawa sambil menggeleng.
“Oh, jadi selain jualan, memang sudah terbiasa hahahehe sama laki-laki, ya? Untung banget kamu, Mas, enggak jadi jadiin dia madu aku,” ucap Aisyah yang tiba-tiba datang di saat suasana jualan Arimbi lenggang. Alasan yang juga membuat mas Aidan mengajak Azzam bersantai di sana.
“Eh, Ukhty, kalau punya mulut, sekalian beli remnya. Biar enggak nyakitin yang dengar termasuk Ukhty sendiri. Enggak malu, sudah tertutup begitu, tapi kelakuan enggak beradab. Mikir jangan pakai ilmu udel. Sembarangan asal senggol orang! Masih pagi sudah ngajak ribut!” sewot Azzam.
Aisyah langsung tak terima, dan seketika menatap marah Azzam. “Yang ngajak ribut kamu! Kamu enggak tahu saya ini siapa? Pengin kamu saya panggil teman-teman aku buat keroyok kamu sampai mampuusss?!” kesalnya sambil menunjuk-nunjuk wajah Azzam menggunakan tangan kanannya.
“HEY!” bentak Mas Aidan sampai berdiri dari duduknya dan sukses membuat Aisyah bungkam ketakutan. Ia menggeleng tak habis pikir, menatap wajah Aisyah maupun Ilham, silih berganti.
“Innalilahi, ... ini yang namanya wanita suci ...?” Arimbi sampai tak bisa berkata-kata. Ia menatap Ilham yang sedari tadi gelisah sekaligus sibuk berusaha membawa pergi Aisyah dari sana.
“Kalau kamu enggak mau celaka, TUTUP MULUT KAMU!” teriak Aisyah kali ini sampai menunjuk-nunjuk wajah Arimbi.
Arimbi langsung mingkem. “Salahku apa sih? Maaf, ... kamu ... kamu ada masalah hidup apa, sih?”
“Yang punya masalah hidup itu kamu! Ngapain kamu sibuk tebar pesona ke mertuaku dengan sok sibuk, sok jadi wanita paling cantik, sok jadi wanita paling mandiri sekaligus baik!” teriak Aisyah tapi kali ini langsung diam setelah mas Aidan mengguyur wajahnya menggunakan air mineral dan awalnya tengah pria itu minum.
“Maaf ... maaf!” Menahan malu dengan kelakuan sang istri, Ilham susah payah membawanya pergi menuju motor. Namun, Aisyah memberontak dengan tenaga yang lebih mirip tenaga badak.
“Berani kamu bikin keributan di sini, saya kandangin kamu ke polsek!” ancam Mas Aidan yang sampai berdiri di depan meja Arimbi mendagangkan pecel lontong berikut gorengannya.
Aisyah langsung bungkam menatap takut mas Aidan yang jelas jauh lebih emosional dari dirinya. Ia dapati, beberapa orang di sekitar yang langsung memperhatikan. Tukang ojek maupun tukang parkir yang awalnya hanya mengawasi dari kejauhan juga berbondong-bondong mendekat.
“Ibaratnya suami kamu itu sudah dilepeh, terus dibuang ke tempat penampung paling enggak layak oleh Mbak Arimbi, tapi kamu pungut, dan kamu bangga-banggakan. Kamu yang memungut, kamu juga yang merasa Mbak Arimbi mau merebut. Buka matamu, Mbak. Suami kamu ini sudah dibuang karena Mbak Arimbi sadar, dia enggak lebih dari parasit. Dan kemarin saya sudah bilang, jodoh itu ibarat cerminan dari. Jadi, alasan kalian jodoh karena kalian sangat mirip. KALIAN SAMA SAJA! SUDAH, JANGAN BIKIN GARA-GARA. JANGAN MENGANGGAP DIRI MBAK PALING SUCI KALAU KELAKUAN MBAK SAJA, BEGINI!” lanjut mas Aidan paling geram kepada manusia macam Aisyah.
“Mbak Arimbi, ini ada apa?” tanya rombongan tukang ojek dan juga tukang parkir yang sebagiannya juga berpenampilan layaknya preman.
“Itu, Mang Ujang. Wanita itu kalau ngomong enggak lewat jalan. Asal njeplak, tiba-tiba main senggol.” Arimbi mendengkus kesal.
“Lah, Bu Haji, masa enggak punya rem mulut?” ucap tukang ojek berpenampilan preman tadi, dan Arimbi panggil Mang Ujang. Ia menatap kesal Aisyah yang langsung mendengkus dan memberinya tatapan tajam sebelum wanita itu buru-buru memilih pergi.
“Ayo, Mas. Kita cari sarapan di tempat lain,” sergah Aisyah membawa paksa Ilham dari sana, padahal sebelumnya, ia yang terus menolak.
“Kamu malu-maluin banget, sih?!” kesal Ilham sampai menepis genggaman tangan sang istri.
Semua mata memandangi Aisyah, tapi Aisyah tidak peduli. Termasuk itu ketika Ilham mengabaikannya, Aisyah tetap tidak peduli karena terlalu yakin, dirinya masih bisa mengendalikan Ilham.