"Menikahlah denganku, maka akan kutanggung semua kebutuhanmu!"
Karina Anastasya harus terjebak dengan keputusan pengacara keluarganya, gadis sebatang kara itu adalah pewaris tunggal aset keluarga yang sudah diamanatkan untuknya.
Karina harus menikah terlebih dahulu sebagai syarat agar semua warisannya jatuh kepadanya. Hingga pada suatu malam ia bertemu dengan Raditya Pandu, seorang Bartender sebuah club yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafafe 3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbongkar
Karin menatap Om Heru dengan mata membelalak, tak percaya apa yang baru saja ia dengar. Pandu, yang duduk di sampingnya, tampak terkejut, tetapi mencoba tetap tenang. Karin langsung mendelik ke arah Pandu, seolah berharap dia memiliki jawaban untuk situasi yang tiba-tiba ini.
"Om ... Om serius?" tanya Karin dengan nada ragu, suaranya sedikit bergetar. "Resepsi? Mengundang semua orang?"
Om Heru mengangguk perlahan, ekspresinya tetap serius. "Tentu saja. Jika kalian benar-benar sudah menikah, seharusnya tidak ada masalah dengan mengumumkan pernikahan ini ke seluruh keluarga dan teman-teman kalian, bukan? Itu akan membuktikan bahwa pernikahan kalian bukanlah sesuatu yang disembunyikan."
Karin menelan ludah, berusaha meredam kegelisahannya. Ia tak pernah membayangkan hal seperti ini terjadi. Dalam rencananya, pernikahan kontrak dengan Pandu seharusnya hanya formalitas yang sederhana, tidak perlu resepsi besar apalagi melibatkan banyak orang.
Pandu, menyadari ketegangan yang melanda Karin, segera mengambil alih pembicaraan. "Om Heru, saya mengerti kekhawatiran Anda. Tapi alasan kami tidak mengadakan resepsi dari awal adalah karena kami ingin menjaga privasi. Kami merasa bahwa hubungan kami lebih penting daripada perayaan besar."
Om Heru menyandarkan diri di kursinya, menatap Pandu dengan tatapan yang seakan menantang. "Privasi? Pasti. Tapi ini soal integritas, Pandu. Jika kalian benar-benar serius dan sah, tidak ada alasan untuk menyembunyikannya. Sebagai pengacara yang bertugas mengawasi urusan Karin, aku hanya ingin memastikan semuanya transparan."
Karin merasa jantungnya berdegup lebih kencang, pikirannya berpacu mencari cara untuk menghindari jebakan yang baru saja diletakkan di depannya. "Om, maksud saya, kami... kami tidak siap untuk mengadakan acara sebesar itu. Itu akan membutuhkan waktu dan biaya. Kami belum merencanakan apapun," katanya, mencoba mencari alasan.
Om Heru tersenyum tipis, seolah sudah menduga respons Karin. "Waktu dan biaya tidak masalah. Aku bisa membantumu mengatur semuanya. Lagipula, keluarga besarmu pasti ingin merayakan pernikahanmu. Kau satu-satunya ahli waris, Karin. Mereka berhak tahu."
Karin merasa tak berdaya. Ini lebih dari sekadar ujian. Ini adalah tantangan nyata yang bisa membuat seluruh rencana mereka berantakan. Ia menoleh ke Pandu, mencari dukungan, tapi di balik ketenangan Pandu, Karin tahu bahwa mereka berada dalam situasi yang sangat sulit.
"Bagaimana, Karin?" Om Heru bertanya, nadanya penuh dengan tekanan. "Kau ingin hakmu, bukan? Maka, tunjukkan bahwa pernikahan ini bukanlah sandiwara."
Karin menundukkan kepala, pikirannya berputar-putar mencari jalan keluar. Pandu, yang menyadari beratnya situasi ini, akhirnya menatap Om Heru dengan tegas.
"Kami akan membicarakannya, Om," ucap Pandu perlahan. "Ini adalah keputusan besar, dan kami ingin memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik."
Om Heru mengangguk, masih tersenyum tipis. "Tentu. Ambil waktu kalian. Tapi jangan terlalu lama. Keputusan ini akan menentukan apakah pernikahan kalian dianggap sah dalam urusan hukum yang menyangkut warisan."
Setelah mendengar kata-kata itu, Karin merasa semakin terjebak. Pertemuan ini telah mengambil arah yang tidak terduga, dan sekarang ia dan Pandu harus menemukan cara untuk menjalankan rencana mereka tanpa terbongkar.
Karin menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang sebenarnya telah dia pendam sejak awal. Kegelisahan yang terus menghantuinya sejak pertemuan dimulai kini tak bisa lagi ditahan. Pandu menatapnya dengan alis sedikit terangkat, tidak menyangka Karin akan mengambil langkah ini.
"Om Heru," suara Karin akhirnya pecah, sedikit bergetar tapi penuh dengan tekad. "Aku harus jujur. Sebenarnya ... kami belum menikah secara resmi. Kami hanya menikah di bawah tangan. Ini ... ini belum legal."
Om Heru menatap Karin dengan sorot mata yang tajam, tapi tidak tampak terkejut. Dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, tangan disatukan di atas meja. Sejenak, ruangan itu dipenuhi keheningan yang mencekam, hanya terdengar detak jam dinding di sudut ruangan.
"Aku sudah menduganya," ucap Om Heru dengan nada datar, nyaris tanpa ekspresi. "Karin, aku sudah mengenal keluargamu terlalu lama untuk tidak memahami bahwa kau akan mencoba segala cara untuk mendapatkan harta warisan. Sayangnya, kebohongan ini terlalu mudah untuk ditebak."
Karin merasa dadanya sesak. Ia menunduk, tak bisa menahan rasa malu yang meluap-luap. Om Heru, pengacara yang telah dianggapnya seperti keluarga sendiri, kini mengungkapkan bahwa ia selalu tahu. Pandu, di sampingnya, hanya bisa diam, menyadari bahwa mereka telah terpojok.
Om Heru melanjutkan, suaranya tenang tapi penuh ketegasan. "Karin, aku tahu betapa besar tekanan yang kau rasakan setelah orang tuamu meninggal. Aku paham. Tapi harta warisan ini bukan sekadar soal uang. Ini soal tanggung jawab dan integritas. Aku telah diberi amanah untuk memastikan bahwa semuanya berjalan sesuai dengan keinginan orang tuamu. Dan yang jelas, mereka tidak ingin kau berbohong atau melakukan sesuatu yang tidak benar."
Karin menggigit bibirnya, menahan rasa perih di hatinya. Semua yang ia rencanakan dengan Pandu kini terasa sia-sia.
"Kau seharusnya tahu lebih baik, Karin," lanjut Om Heru. "Jika pernikahanmu tidak sah secara hukum, tidak ada apa pun yang akan berubah. Warisan itu akan tetap berada di bawah kendaliku, seperti yang diamanatkan orang tuamu. Satu-satunya cara agar kau bisa mengklaimnya adalah dengan melakukan hal yang benar. Menikah secara sah, bukan dengan pernikahan kontrak yang penuh kebohongan."
Pandu akhirnya bersuara, mencoba meredakan situasi. "Om Heru, kami tahu kami salah. Kami seharusnya tidak berbohong, tapi maksud kami bukan untuk menipu atau mengambil harta ini dengan cara yang salah. Kami hanya ... kami hanya tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk melakukannya."
Om Heru menatap Pandu dengan tatapan yang sama tajamnya. "Jika kau benar-benar ingin membantu Karin, bantu dia dengan cara yang benar. Menikahlah dengan benar, atau biarkan dia menemukan jalan yang lebih baik. Kalau kau hanya di sini untuk membuat sandiwara, lebih baik kau pergi sekarang."
Karin akhirnya mengangkat wajahnya, air mata menggenang di matanya. "Aku ... aku minta maaf, Om. Aku terlalu takut kehilangan semuanya. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
Om Heru menghela napas panjang, lalu berdiri dari kursinya. Dia berjalan mengelilingi meja, mendekati Karin dan Pandu. "Karin, kau masih muda. Hidupmu belum berakhir hanya karena orang tuamu sudah tiada. Harta ini bukanlah satu-satunya hal yang bisa menjamin kebahagiaanmu. Dan aku akan tetap ada di sini untuk membimbingmu, asalkan kau siap untuk mendengar dan melakukan hal yang benar."
Karin mengangguk pelan, merasa beban besar di pundaknya mulai sedikit terangkat meski rasa bersalah masih mendesak dalam dirinya.
"Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Om Heru, tatapannya melembut.
Karin terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara yang lebih mantap. "Aku akan memperbaiki semuanya. Kami akan menikah secara resmi ... jika Pandu masih bersedia. Dan aku akan berhenti berbohong, Om. Aku janji."
Pandu, yang duduk di sampingnya terlonjak kaget. "Hah!"
"Oh iya, kita bisa melakukannya dengan cara yang benar." sahut Pandu setelah mendapatkan lirikan dari Karin.
Om Heru mengangguk puas. "Baiklah. Kalau begitu, kita akan atur semuanya. Tapi ingat, Karin, ini bukan sekadar tentang mendapatkan harta. Ini tentang menjadi dewasa dan bertanggung jawab. Aku harap kau benar-benar siap untuk itu."
Karin mengangguk sekali lagi, merasa bahwa ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, di mana ia harus mulai menata ulang segalanya dengan lebih jujur dan terbuka.