(Warning !! Mohon jangan baca loncat-loncat soalnya berpengaruh sama retensi)
Livia Dwicakra menelan pil pahit dalam kehidupannya. Anak yang di kandungnya tidak di akui oleh suaminya dengan mudahnya suaminya menceraikannya dan menikah dengan kekasihnya.
"Ini anak mu Kennet."
"Wanita murahan beraninya kau berbohong pada ku." Kennte mencengkram kedua pipi Livia dengan kasar. Kennet melemparkan sebuah kertas yang menyatakan Kennet pria mandul. "Aku akan menceraikan mu dan menikahi Kalisa."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sayonk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 3
Kalisa berpapasan dengan Kennet yang sedang rapi ke kantornya. "Kennet aku menyiapkan sarapan untuk mu. Oh iya, aku juga sudah mengantarkan sarapan pada Livia. Tapi sepertinya Livia masih marah. Kennet, ini semua salah ku. Tidak seharusnya ..."
Kennet mengusap kepala Kalisa. "Bukan salah mu, ayo kita sarapan." Ia tidak ingin menyalahkan Kalisa. Jauh sebelum kenal Livia, ia lebih dulu kenal dengan Kalisa.
"Kennet apa aku boleh membawakan mu makan siang nanti?" tanya Kalisa. Dulu ia sering mendatangi perusahaan Kennet.
Kennet mengangguk, ia merasa senang jika Kalisa melakukannya. "Terserah kau saja." Ia tidak melarangnya karena Kalisa teman baiknya.
Kennet dan Kalisa pun sarapan bersama. Kennet memandangi kursi di sampingnya. Dia mengingat Livia yang selalu memperhatikannya. Entah mengapa ia merasa ada yang kosong.
Kalisa memandangi kursi di hadapannya. Ia berpikir Kennet teringat dengan Livia. "Kau teringat dengan Livia. Apa perlu aku membawa Livia kesini?"
"Tidak perlu, siapa yang ingat padanya." Kennet menepis ucapan Livia.
Kalisa menggenggam tangan Kennet. "Kennet kalau kau merindukan Livia, aku bisa membawanya kesini. Aku senang melihat mu bahagia."
"Tidak, buat apa aku masih memelihara wanita itu. Biarkan saja, aku mau ke kantor saja." Moodnya berubah ketika membahas tentang Livia. Sebelum masuk ke dalam mobil dia melihat ke arah balkon, entah apa yang ia inginkan namun merasa kesal karena tidak melihat Livia.
...
Livia melihat Kennet yang sudah pergi ke kantor. Dia menutup kembali gorden warna putih itu. Ingin sekali ia mengantarkan Kennet. Namun karena sudah ada Kalisa, ia tidak di butuhkan lagi.
Ceklek
"Livia."
Livia menoleh, entah apa lagi yang ingin dibicarakan oleh Kalisa. "Livia kau tidak ingin keluar? Oh iya aku lupa bahwa kau sedang di kurung. Livia, tadi Kennet mengizinkan aku untuk membawa bekal makan siang. Pasti senang sekali bisa pergi ke kantor Kennet."
Livia mengelus dadanya agar tidak gampang marah demi kesehatannya dan janinnya. "Apanya yang senang, biasa saja. Kantor itu tidak enak se enak di ranjang."
Kalisa menyorot Livia dengan mata yang tajam. "Kau jangan sombong, kau hanya budak di ranjang." Kesombongan wanita itu hanya sebentar lagi.
Livia menatap tangannya, ia berbalik dan melangkah lebar. Entah semenjak kapan tangannya menampar Kalisa. "Aku budak ranjang karena aku wanita yang telah di nikahinya. Seharusnya kau tidak mencari masalah dengan ku dan seharusnya kau membantu ku pergi dari Kennet."
Kalisa memegangi pipinya yang memar. Ia tidak akan memudahkan Livia pergi begitu saja sebelum Kennet membenci Livia sebenci-bencinya. "Hah, lihat saja Livia."
....
Kalisa mendatangi Kennet dengan membakan bekal makan siang. Dia menatap Kennet dengan wajah menunduk. Kennet mengangkat wajahnya. Ia melihat memar di pipi Kalisa.
"Kalisa kenapa pipi mu?" tanya Kennet. Dia menarik dagu Kalisa dan melihatnya. "Ini kenapa?"
Kalisa menunduk, raut wajahnya begitu jelas kesedihannya. "Kau jangan menyalahkan Kak Livia, dia begitu mungkin hanya karena emosi."
Kennet mengambil jas yang di taruh di sandaran kursi. Dia bergegas keluar dan meninggalkan beberapa pekerjaannya itu.
"Tuan ini ..." Pria berkaca mata itu mengekori Kennet dan ingin tau kemarahan tuannya itu.
Begitupun dengan Kalisa yang mengekori Kennet. Mereka masuk lift yang sama dan kemudian menaiki mobil yang sama.
Brak
Kenent membanting pintu kamar Livia dan membuat wanita yang sedang membaca sebuah novel itu menoleh ke arah pintu. Kennet menarik lengan Livia hingga buku itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai.
"Sakit Kennet, lepaskan!" Livia meronta.
"Kau." Kennet mencekik leher Livia. "Beraninya kau menyakiti Kalisa."
Livia tersenyum, air matanya menggenang. "Saat terjadi sesuatu pada Kalisa kau langsung tanggap. Kennet bunuh saja aku. Aku sudah lelah dengan semua ini."
Deg
Kennet melepaskan tangannya. Suara lembut dan pasrah itu membuat amarahnya mereda.
Kalisa melihat Kennet menunduk dan Livia yang terdiam. "Kenapa tidak terjadi sesuatu?" Gumamnya. Padahal ia sangat yakin Kennet sangat marah dan mungkin bisa menyakiti Livia. "Emm Kennet. Sudah aku katakan Kak Livia tidak sengaja."
Kennet bergegas pergi, dia menghiraukan Kalisa yang memanggilnya.
"Kenent tunggu." Kalisa berdecak kesal karena Kennet tidak meresponnya. Dia hanya bisa melihat kepergian Kennet.
Sementara Kennet menghabiskan waktunya di sebuah club dengan ruangan Vip. Kennet menghabiskan waktunya sendiri. Dia selalu teringat wajah Livia dan ucapan lembutnya itu. "Sialan! Aku tidak akan melepaskannya. Beraninya dia mengkhianati ku." Kennet meneguk beberapa cairan merah itu.
Dia mendesah pelan, memijat pelipisnya. Sebenarnya ia bisa melepaskan Livia dan menikah dengan Kalisa, tapi hatinya tidak terima Livia pergi begitu saja.
Drt
Kennet menatap ponselnya. Dia pun mematikan ponselnya saat Kalisa menghubunginya. Sementara itu Kalisa sangat kesal karena Kennet mematikan ponselnya.
"Kennet masih sama seperti dulu." Lama menjalin cinta dengan Kennet, ia sedikit paham sifat Kennet.
Kalisa mondar-mandir menunggu di ruang tamu. Dia terus melihat pintu yang masih tertutup. Seorang pelayan membuka pintu dan menghampiri Kalisa.
"Tuan Kennet sudah pulang Nyonya."
Kalisa tersenyum, ia bergegas keluar namun tak sampai di pintu ia melihat Kennet yang berjalan sempoyongan. "Kennet." Jika banyak masalah Kennet pasti akan minum. "Aku bantu. Kau tidak boleh menolak ku. Kau pasti terjatuh."
Kennet tak menolak, ia mengangguk. Kalisa mengalungkan tangan kanan Kennet ke lehernya dan melangkah bersamaan dengan Kennet. Sampai di ujung tangga lantai atas. Kalisa berpapasan dengan Livia.
"Livia, kau bagaimana menjadi seorang istri? Kau tidak mampu mengurus Kennet." Sarkasnya.
Livia ingin menanyakan keadaan Kennet, tapi ia urungkan karena sepertinya pria itu tidak butuh bantuannya. Ia keluar karena Kennet tidak mengunci pintu kamarnya, sepertinya Kennet lupa.
...
Kalisa membuka dasi Kennet. Dia juga membuka sepatunya. "Kennet, kenapa kau bisa semabuk ini?" Ia merasa permasalahan Kennet dengan Livia berat, tapi tidak mungkin Kennet jatuh cinta pada Livia. Ia sudah bertanya-tanya pada beberapa pelayan di mansion ini setibanya ia di sini.
Ia mengusap kening Kennet dan mengecupnya. Livia mengintip dan melihat semua perlakuan Kalisa. "Ternyata mereka sudah sejauh ini." Apa yang ia harapkan dari pernikahannya ini? Hanyalah sebuah kebahagiaan semu saja. Rasa sakitnya seakan ingin menarik nafasnya.
Tangannya mengepal kuat saat melihat Kennet menggenggam lengan Kalisa yang hendak pergi.
Ia mengusap air matanya, air mata bodoh itu membuatnya menangis melihat semua sikap suaminya itu.
"Kennet." Dia melangkah ke kamar tidurnya. Rasanya begitu sesak melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain.
Sedangkan Kalisa, ia tersenyum dan menunggu Kennet melepaskan lengannya. "Kennet."
"Emm Livia."
Senyum Kalisa memudar, Kennet beranjak dan melihat Kalisa di hadapannya yang ia kira Livia.
"Kalisa kenapa kau di sini?" Tanya Kennet bingung.
Kalisa tersenyum walaupun ia merasa sakit hati. "Kau mabuk, aku yang membawa mu kesini. Tadi Livia tidak mau membantu mu. Sepertinya dia benar-benar ingin menjauh dari mu."
Suara nafas Kennet terasa panas. Sejijik itukah Livia padanya hingga tidak ingin merawatnya dan menyerahkan pada Kalisa?