Di dunia yang memadukan sihir kuno dengan teknologi modern, seorang prajurit muda bernama Shaka bermimpi besar untuk menjadi Raja Ksatria. Demi mencapai tujuannya, Shaka mendirikan guild bernama Red Wings, tempat berkumpulnya para petualang pemberani dan unik. Setiap anggota Red Wings memiliki keterampilan dan tujuan yang berbeda-beda, namun semuanya berjuang demi mimpi Shaka yang ambisius: membangun era baru bagi para ksatria.
Impian Shaka untuk menjadi Raja Ksatria tak lepas dari pengaruh legenda Jovan Ardent, seorang ksatria pertama di dunia ini yang hidup seribu tahun lalu. Jovan tidak hanya menjadi tokoh legendaris; ia dianggap sebagai pendiri tatanan ksatria yang memengaruhi seluruh dunia hingga hari ini. Selama hidupnya, Jovan membawa kehormatan dan kekuatan yang mendefinisikan para ksatria sejati dan meninggalkan jejak sejarah yang memicu munculnya banyak pahlawan, termasuk Shaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zyura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
segitiga bermuda
Shaka dan timnya bergerak cepat menuju Lembah Naga. Di dalam pesawat Mighty Eagle, suasana masih tenang ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Sun Ling muncul tanpa peringatan, membuat semua anggota terkejut.
“Sun Ling? Kau habis dari mana?” tanya Shaka, masih terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba.
“Aku sejak tadi di sini,” jawab Sun Ling dengan santai, sambil menguap seolah baru bangun tidur.
Shaka mengernyitkan dahi. "Apa kau tidak tahu apa yang sedang terjadi? Sebagian dari anggota guild kita sekarang sedang menuju Negeri Teratai Biru."
Sun Ling tampak kebingungan, lalu bertanya, "Jadi kita sekarang menuju Lembah Naga?"
Semua anggota tim mengangguk. Sun Ling kemudian berkata, “Lembah Naga… itu tempat yang sangat sulit dicapai. Setiap kali kau sudah dekat, jalurnya akan selalu berubah.”
Kael, yang penasaran, langsung bertanya, "Bagaimana kau tahu soal itu?"
Sun Ling menjawab dengan sedikit ragu, “Ayahku dulu bertarung di sana dengan seseorang. Itu saja yang aku tahu.”
Sejenak, suasana di dalam pesawat kembali sunyi, hanya terdengar deru mesin pesawat yang melaju cepat. Nei tiba-tiba muncul dari belakang membawa peta besar di tangannya. “Kita sudah hampir dekat dengan Lembah Naga,” katanya sambil menempelkan peta di dinding pesawat. Semua anggota tim mendekat untuk melihat.
Shaka menatap peta itu dalam-dalam. "Tapi ini bukan misi mudah. Kita harus siap untuk apa pun yang mungkin terjadi di sana."
Namun, sebelum Shaka bisa melanjutkan instruksinya, tiba-tiba awan hitam tebal datang tanpa peringatan, menyelimuti langit. Badai besar menghantam dengan keras, mengguncang pesawat. Angin mengaum, menghempaskan pesawat ke segala arah.
“Kita kehilangan kendali!” teriak Arthur, yang berada di kemudi. Dia berusaha keras untuk menjaga Mighty Eagle tetap di jalur, namun badai begitu kuat.
“Kita harus bertahan!” Kael berteriak, memegangi salah satu tiang dalam pesawat.
Pesawat berputar-putar dalam badai, hampir tidak terkendali. Semua anggota tim saling berpegangan, mencoba agar tidak terlempar ke seluruh sudut pesawat. Shaka segera mendekat ke Arthur dan membantunya menarik tuas kendali.
“Arthur, lakukan pendaratan darurat!” perintah Shaka sambil berusaha mengendalikan situasi.
Arthur berkeringat deras, wajahnya tegang. "Aku sedang mencoba! Pegang erat semua orang, ini akan kasar!"
Mighty Eagle mulai turun tajam. Badai menghantam sayap pesawat dengan kekuatan brutal, membuat pesawat bergetar hebat. Dengan satu tarikan keras pada tuas kendali, pesawat terjun menuju tanah.
“Bersiaplah untuk pendaratan!” teriak Kael.
Pesawat akhirnya menghantam tanah dengan keras. Badai yang mengamuk tiba-tiba berhenti. Hanya dalam hitungan detik, badai itu lenyap seolah-olah tak pernah ada. Keheningan yang mencekam menggantikan suara gemuruh yang baru saja terjadi.
Arthur duduk terengah-engah di kursi kemudi, tubuhnya gemetaran. “Itu... sangat gila,” ujarnya, masih syok dari pengalaman tadi.
Shaka berdiri dari tempatnya terjatuh dan melihat ke sekeliling. Mereka tiba-tiba berada di tempat asing. “Di mana kita?” tanyanya sambil memandang keluar dari jendela pesawat.
Nei mendekati pintu keluar dan membukanya dengan perlahan. "Ini bukan Lembah Naga," katanya, suara pelan namun tegas. "Ini... sepertinya pulau besar."
Semua anggota keluar dari pesawat dan melihat sekeliling. Pulau itu dipenuhi dengan pohon-pohon raksasa yang tak pernah mereka lihat sebelumnya, dengan dedaunan yang tampak seperti kaca, memantulkan cahaya aneh dari kristal yang tersebar di tanah. Kristal-kristal itu bersinar lemah, memberikan suasana magis yang tak terjelaskan.
“Apa-apaan ini?” tanya Panda, memandang tanah penuh kristal yang aneh. “Aku belum pernah melihat tempat seperti ini.”
Ray, yang sedikit lebih tenang daripada yang lain, mendekati salah satu kristal dan menyentuhnya. “Ini tidak berbahaya,” katanya setelah memeriksanya. "Tapi aku juga tidak tahu apa fungsinya."
Shaka melihat sekeliling dengan hati-hati. “Kita mungkin mendarat di tempat yang salah”
“Jadi, apa rencananya?” tanya Kael, masih memegang pedangnya, berjaga-jaga kalau ada bahaya mendekat.
Shaka berpikir sejenak sebelum menjawab. "hei teman teman, hati hati dan lihatlah sekeliling kalian bahaya akan muncul kapan saja"
Sun Ling mengangguk, mendekati Shaka. “Aku akan mencari tahu apakah ada jejak-jejak naga di sekitar sini. Ayahku pernah bilang bahwa pulau-pulau misterius seperti
ini kadang-kadang memiliki koneksi dengan makhluk kuno.”
Setelah beberapa jam menyisir setiap sudut pulau, anggota Red Wings akhirnya berkumpul kembali di titik pertemuan. Shaka, sebagai pemimpin, menunggu laporan dari anggota guild-nya. Namun, semuanya tampak bingung dan waspada.
"Kosong. Tidak ada penduduk, tidak ada tanda-tanda kehidupan," lapor Ray dengan tatapan heran. Kael mengangguk setuju, memutar trisulanya seolah menyiapkan diri untuk sesuatu yang tidak terduga. "Ini bukan pulau biasa," tambahnya.
"Memang aneh," gumam Shaka sambil memandangi lautan yang tenang, tangannya sedikit bergetar karena merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Kalian semua merasakan hal yang sama, kan? Seperti ada yang mengawasi."
Sun Ling, yang sedari tadi tampak tenang, tiba-tiba muncul dari balik pepohonan dengan tongkat saktinya di tangan. Ekspresi serius tergurat di wajahnya. Shaka mendekatinya dengan waspada. "Ada apa, Sun Ling?" tanyanya.
Sun Ling menatap Shaka, kemudian tersenyum sinis. "Aku tahu siapa yang membawa kita ke sini."
Sebelum ada yang bisa bertanya lebih jauh, tanah di bawah mereka mulai bergetar hebat. Pohon-pohon bergoyang, dan debu-debu berterbangan di udara. "Apa ini?!" seru Arthur, yang langsung memasang kuda-kuda dengan pedang Excalibur di tangan.
Shaka mengerutkan dahi, mencoba menstabilkan tubuhnya di tengah guncangan. "Gempa?"
"Tidak. Ini bukan gempa," jawab Sun Ling dengan senyum yang masih terukir di wajahnya. "Ini sesuatu yang lebih... hidup."
Seketika, dari dasar laut di sekitar pulau, muncul sesosok makhluk raksasa yang mengerikan. Air bergolak hebat saat enam kepala ular raksasa terangkat ke udara, masing-masing kepala menjulang tinggi dengan mulut yang dipenuhi gigi-gigi tajam. Dari tengah-tengah kumpulan kepala ular, tampak wajah menyeramkan yang pernah menjadi manusia sebelum berubah menjadi monster.
"Scylla..." bisik Kael dengan wajah terkejut. "Monster legendaris dari laut dalam."
Shaka mengepalkan tinjunya dengan kuat, energi aura mulai mengalir dari tubuhnya. Kilatan listrik biru samar-samar terlihat di sekitar tangannya, tanda bahwa ia mulai memanaskan dirinya untuk pertarungan. "Besar sekali..." gumamnya.
Scylla mengeluarkan raungan mengerikan, dan salah satu kepala ularnya langsung melesat ke arah mereka. "Hati-hati!" teriak Arthur, yang segera mengangkat Excalibur untuk menangkis serangan, namun serangan dari Scylla terlalu cepat. Shaka segera melompat ke depan, menghantam kepala ular tersebut dengan telapak tangannya.
"Blue Flash!" teriak Shaka. Kilatan listrik biru meledak dari tinjunya, menghantam kepala ular dengan kekuatan luar biasa, mendorongnya mundur beberapa meter.
Namun, Scylla tidak tinggal diam. Dua kepala ularnya lagi menyerang serentak, membuat anggota Red Wings terpencar untuk menghindari. Kael memutar trisulanya dengan gesit, menangkis serangan dari kepala ular lainnya sambil mengarahkan kekuatannya seperti palu Thor untuk memukul balik. Panda, dalam wujud gorila, melompat tinggi, menghantam salah satu kepala dengan tinju kuatnya.
Sementara itu, Sun Ling berdiri di belakang, mengamati dengan tenang. "Scylla adalah makhluk yang memiliki daya tahan luar biasa. Kita harus menghancurkan pusat kekuatannya," katanya, sambil memutar tongkatnya. "Tapi itu butuh waktu. Shaka, tahan mereka sementara aku menyiapkan serangan final."
Shaka tersenyum tipis. "Serahkan padaku."
Satu per satu kepala Scylla menyerang Shaka, namun dengan kecepatan dan kekuatannya yang luar biasa, dia berhasil menghindari setiap serangan. Setiap kali salah satu kepala ular mendekat, dia menghantamnya dengan Blue Flash, menghujani makhluk itu dengan ledakan energi biru.
Namun, meski serangan Shaka mampu mendorong mundur Scylla, monster itu tidak menunjukkan tanda-tanda melemah. Energi yang dikeluarkan oleh Shaka semakin meningkat, dari biru ke oranye, menandakan bahwa dia mulai menggunakan kekuatan sedangnya.
Sun Ling, di sisi lain, mulai memfokuskan kekuatan magisnya. Tongkatnya berputar semakin cepat, dan energi mulai terkumpul di sekitarnya. "Shaka, pertahananku sudah siap," teriak Sun Ling.
Shaka mengangguk. "Baik! Aku akan memberimu celah!"
Dengan satu serangan besar, Shaka menghantam salah satu kepala Scylla dengan pukulan Blue Flash yang jauh lebih kuat dari sebelumnya, ledakan listrik biru meledak di udara, membuat makhluk itu mundur beberapa meter. Semua kepala Scylla tampak kebingungan, dan itu memberikan waktu yang cukup bagi Sun Ling.
"Sekarang!" Sun Ling menancapkan tongkatnya ke tanah, dan energi magis yang telah dikumpulkannya mulai keluar dengan cepat. Awan gelap mulai terbentuk di atas mereka, dan kilat menyambar di sekeliling Scylla. "Aku akan menutup ini!"
Dari langit, turun hujan energi magis yang menargetkan Scylla, menghantam kepala-kepala ular dengan presisi. Sun Ling menggerakkan tongkatnya, memanipulasi kilat-kilat tersebut untuk menyerang bagian tubuh monster yang lebih lemah.
"Ayo kita akhiri ini!" Shaka mengeluarkan kekuatan penuh, auranya yang sebelumnya oranye mulai memudar, namun energi biru cerah kembali bersinar, memperkuat pukulannya sekali lagi.
Shaka melompat tinggi, menyiapkan serangan terakhir. "Inilah akhirnya!"
Dengan Blue Flash yang lebih kuat dari sebelumnya, Shaka meninju tepat ke pusat tubuh Scylla, kilatan biru meledak dengan keras, membuat monster itu mengeluarkan raungan terakhir sebelum tubuhnya roboh ke laut dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga.
Semua anggota Red Wings menatap dengan kagum saat Scylla tenggelam ke dalam laut, tubuhnya perlahan menghilang di bawah permukaan. Sun Ling menyandarkan tongkatnya ke tanah, terengah-engah namun tersenyum puas. "Sudah lama aku tidak merasakan sensasi seperti ini," katanya.
Shaka menurunkan tinjunya, listrik di sekitarnya perlahan menghilang. Dia menoleh ke arah Sun Ling dan mengangguk. "Kerja bagus."
Sun Ling balas tersenyum. "Kamu juga."
Kael, Panda, dan yang lainnya bergabung dengan mereka, terlihat lega namun juga terkesan dengan kerja sama mereka. "Kita berhasil... tapi ini belum selesai," kata Kael, tatapannya penuh waspada.
Shaka menatap laut yang kini kembali tenang. "Iya. Ini baru permulaan. Kita masih harus mencari tahu siapa yang benar-benar membawa kita ke sini... dan kenapa."
Saat semua tampak lega setelah pertarungan sengit melawan Scylla, Nei muncul dari gua dengan raut cemas. "Hei, sudah selesai?" tanyanya, matanya menelusuri area pertempuran.
Shaka, yang berdiri di tengah lapangan, melambaikan tangannya ke arah Nei. "Kita berhasil mengalahkan Scylla, tapi ada hal yang masih perlu kita pahami," ujarnya, lalu berbalik menatap Sun Ling. "Sun Ling, bisa jelaskan soal kemunculan Scylla ini?"
Sun Ling menghela napas dalam, mencoba mengingat dengan lebih detail. "Aku sedang berkeliling di bagian curam pulau ini. Karena kesal tidak menemukan apa pun yang menarik, aku melemparkan batu besar ke dalam jurang yang dalam. Tidak lama setelah itu, raungan mengerikan terdengar, dan tiba-tiba, Scylla muncul dari dalam curam."
Anggota guild mendengarkan dengan serius. Nei menatap Sun Ling dengan bingung. "Kamu melawannya sendirian?"
Sun Ling mengangguk pelan. "Ya, aku berusaha menghalaunya, dan akhirnya dia jatuh kembali ke jurang. Tapi, aku merasa Scylla masih hidup dan akan berusaha naik lagi. Jadi, aku buru-buru kembali untuk memperingatkan kalian."
Shaka mengangguk, memproses informasi itu. "Jadi begitu ya...?"
Namun, tiba-tiba, gemuruh keras terdengar dari arah lautan. Semua mata tertuju pada pusat pusaran air raksasa yang dengan cepat terbentuk, berputar dengan kekuatan dahsyat. Gelombang air naik tinggi, meledak dengan kekuatan besar. Dari dalam pusaran tersebut, seekor cacing raksasa muncul, tubuhnya berkilau dengan kristal-kristal, mulutnya terbuka lebar seolah siap menelan apapun di hadapannya. Makhluk ini dikenal sebagai Charybdis.
Mata Shaka melebar tak percaya. "Apa-apaan ini?!"
Sebelum ada yang bisa bereaksi, Kael maju ke depan dengan tekad. "Aku akan menghadapinya!" serunya sambil mengangkat trisulanya tinggi-tinggi. "Wilayah Absolut—Cakrawala Gelap!" Dengan kata-kata itu, sebuah ruang hitam pekat tercipta, menelan Charybdis dan Kael ke dalamnya, memisahkan mereka dari dunia luar.
Di dalam Cakrawala Gelap, hanya ada Kael dan Charybdis. Di dalam ruang yang penuh dengan kegelapan dan udara yang tegang, Kael tampak siap untuk menyelesaikan pertarungan ini sendirian. "Di dalam wilayah absolut ini, hanya ada kau dan aku. Persiapkan dirimu!"
Charybdis meraung, mencoba menyerang Kael dengan tubuh besarnya, tetapi Kael menghindar dengan cepat. "Trisula Badai!" Kael meluncurkan serangan energinya, menghantam tubuh kristal Charybdis dan membuatnya terhuyung. Serangan demi serangan diluncurkan, dan untuk sesaat, tampaknya Kael unggul dalam pertarungan ini.
Namun, waktu terus berjalan, dan Kael mulai merasakan tekanan dari batasan waktu wilayah absolutnya. Meskipun dia unggul, mempertahankan Cakrawala Gelap lebih lama dari yang diharapkan mulai menguras energinya. "Sial... aku tidak bisa bertahan lama lagi," gumamnya, keringat mulai membasahi wajahnya.
Charybdis, yang awalnya terdesak, mulai menyadari perubahan dalam ritme pertarungan. Makhluk itu bergerak lebih agresif, memanfaatkan kelelahan Kael. Kael mencoba melancarkan satu serangan terakhir, tetapi serangannya meleset. "Tidak!" teriaknya, merasakan kekuatan wilayah absolutnya mulai retak.
Di luar Cakrawala Gelap, Shaka dan yang lain hanya bisa menunggu dalam kebingungan. Mereka tahu apa yang terjadi di dalam, tapi tidak bisa melihat apa-apa. Tiba-tiba, retakan muncul di udara, dan wilayah absolut Kael pecah dengan ledakan besar. Kael terpental keluar, terjatuh ke tanah, nafasnya terengah-engah.
Ray segera beraksi, melindungi Nei dengan perisai sihirnya. "Jangan khawatir, Nei. Aku akan menjagamu!" teriaknya, matanya terfokus pada Kael yang masih berusaha bangkit.
Shaka melangkah maju. "Kita tidak bisa biarkan Kael bertarung sendirian! Ayo, serang bersamaan!" Dia mengangkat tangannya, energinya mulai memancar. "Red Flash!"
Cahaya merah yang menyilaukan meluncur dari tangan Shaka, menghantam Charybdis dengan kekuatan besar, membuat makhluk itu terhuyung. Sun Ling segera mengambil posisi, meluncurkan serangan sihirnya untuk memperkuat serangan Shaka. "Kita harus cepat, Charybdis semakin kuat!"
Di sisi lain, Panda berubah menjadi gorila raksasa, bergabung dalam serangan dengan tinjunya yang kuat. "Aku akan menghancurkannya!" teriaknya, melompat ke arah Charybdis dan menghantamnya dengan kekuatan yang menghancurkan. Charybdis terhuyung lebih jauh, tapi masih berdiri kuat.
Arthur juga tidak tinggal diam. Dalam bentuk apelnya yang khas, dia melemparkan dirinya ke arah Charybdis dengan kecepatan luar biasa. Meskipun kecil, kekuatan yang dia hasilkan sangat besar, menambah tekanan pada makhluk raksasa itu.
Charybdis, meski terdesak, masih mencoba melawan dengan mengayunkan tubuhnya yang besar ke arah para penyerang. Namun, dengan kekuatan gabungan dari Shaka, Panda, Arthur, dan Sun Ling, serangan demi serangan menghantam tubuhnya. "Kita bisa melakukannya!" seru Sun Ling, semakin bersemangat melihat makhluk itu mulai melemah.
Melihat situasi yang semakin terkendali, Kael kembali berdiri, meskipun tubuhnya lemah. "Aku tidak akan membiarkan ini berakhir begitu saja," katanya, menatap Charybdis dengan penuh tekad. Meskipun Cakrawala Gelap telah runtuh, Kael tetap bertekad untuk memberi pukulan terakhir.
"Kita serang bersama-sama!" Shaka memimpin serangan terakhir. Dia meluncurkan Red Flash dengan kekuatan penuh, sementara Panda dan Arthur menyerang dengan kekuatan fisik mereka, dan Sun Ling mengeluarkan serangan sihir paling kuatnya.
Kael mengangkat trisulanya tinggi-tinggi, menggabungkan seluruh kekuatannya dalam satu serangan terakhir. "Bersiaplah, Charybdis! Ini adalah akhir!" Dengan seruan itu, semua kekuatan mereka bersatu, menghantam Charybdis dengan kekuatan gabungan yang luar biasa.
Ledakan besar terjadi, energi dari serangan mereka menyala terang, membuat udara bergetar. Charybdis, yang tidak bisa menahan kekuatan gabungan itu, meraung kesakitan sebelum akhirnya terhuyung dan terhempas kembali ke lautan, tenggelam ke dalam kedalaman laut yang gelap.
Keheningan menyelimuti sesaat setelah itu, sebelum semua anggota Red Wings bersorak. "Kita berhasil!" seru Nei, wajahnya cerah dengan kegembiraan.
Shaka menghela napas lega. "Kerja bagus, semuanya." Dia menatap Kael, yang masih terengah-engah tapi tersenyum tipis. "Kamu sudah melakukan yang terbaik, Kael."
Kael mengangguk. "Tapi, kita tidak bisa lengah. Masih ada misteri yang perlu diungkap di pulau ini."
Sun Ling setuju. "Pulau ini menyimpan banyak rahasia. Kita perlu lebih berhati-hati."
Dan dengan itu, mereka menyadari bahwa meskipun pertarungan ini telah berakhir, tantangan yang lebih besar masih menunggu di depan mereka. Red Wings bersiap untuk menghadapi apapun yang d
atang, dengan semangat dan tekad yang tidak pernah pudar.
Setelah kemenangan mereka melawan Charybdis, Red Wings memutuskan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut di seluruh pulau. Namun, setelah berkeliling di berbagai sudut, mereka menyadari bahwa pulau itu seolah tidak menyimpan rahasia atau ancaman lain. Tidak ada jejak makhluk berbahaya lainnya atau tanda-tanda misterius seperti yang mereka temukan sebelumnya.
Nei tampak lega. “Sepertinya kita benar-benar sudah membersihkan tempat ini.”
Shaka berjalan menuju pesawat mereka, Mighty Eagle, untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Dia melihat ke arah sayap dan menyadari ada goresan besar yang menghiasi permukaan logamnya.
“Syukurlah hanya goresan,” gumam Shaka. "Baiklah, sekarang kita harus pergi dari sini," ujarnya dengan nada tegas. "Pulau ini sudah tidak memiliki apa-apa lagi untuk kita."
Namun, setelah beberapa jam bersiap-siap dan bersantai, sesuatu yang aneh mulai menarik perhatian mereka. Di kejauhan, tepat di ujung horizon laut, terbentang kabut hitam tebal. Meski begitu, langit di atasnya tetap cerah, dipenuhi awan putih yang tampak tidak terpengaruh oleh kehadiran kabut misterius tersebut.
Shaka memandang kabut itu dengan penuh kewaspadaan. "Aku baru menyadari ini... Sebenarnya, ada apa di pulau ini?"
Arthur, yang duduk santai sambil menggigit apel, menjawab tanpa terlalu banyak berpikir, “Sepertinya kita masuk ke dalam Segitiga Bermuda.”
Sontak, seluruh anggota guild terkejut. Mata mereka melebar, dan secara serentak mereka berteriak, “APA?!”
Shaka, yang biasanya tenang, tampak sangat kesal. Dia menendang sebuah kristal besar di dekatnya dengan frustrasi. "Ini semua gara-gara dua makhluk itu, sialan!" raungnya. “Kalau bukan karena Scylla dan Charybdis, kita tidak akan terjebak di sini!”
Sun Ling, yang biasanya penuh rasa ingin tahu, sekarang tampak sedikit cemas. "Jadi, bagaimana kita bisa keluar dari sini?" tanyanya, berharap seseorang memiliki jawabannya.
Arthur hanya mengangkat bahu dengan santai. "Entahlah," jawabnya ringan, seolah itu bukan masalah besar.
Shaka menarik napas dalam, menenangkan dirinya. “Baik, kita tidak akan panik. Setidaknya belum. Untuk sekarang, kita akan tinggal di sini sementara waktu dan mencari jalan keluar. Kita tidak boleh gegabah.”
Malam pun tiba, dan mereka berkumpul di sekitar api unggun yang mereka buat di tengah pulau. Nyala api memberikan kehangatan di tengah hawa dingin yang mulai terasa di sekitar mereka. Suara angin malam yang berdesir dan ombak yang memukul pantai menciptakan suasana yang aneh, mengingatkan mereka betapa terisolasinya mereka saat ini.
Shaka duduk di tengah, wajahnya serius memikirkan langkah-langkah selanjutnya. "Kita harus mendiskusikan rencana untuk keluar dari sini," katanya, memulai percakapan. "Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres di pulau ini. Semakin lama kita tinggal di sini, semakin besar kemungkinan kita menghadapi masalah yang lebih besar."
Nei yang biasanya optimis kali ini tampak khawatir. "Tapi apa yang bisa kita lakukan? Pesawat kita masih bisa terbang, tapi jika kabut hitam itu mengelilingi kita, bagaimana kita bisa keluar?"
Arthur, yang masih setengah mengantuk, menjawab sambil menguap. "Mungkin saja ada jalan keluar melalui kabut itu. Siapa tahu, kita belum mencobanya, kan?"
“Arthur, ini bukan permainan,” Shaka menyela dengan nada tajam. "Jika kita menerobos kabut tanpa tahu apa yang ada di baliknya, kita bisa tersesat selamanya, atau lebih buruk lagi."
Sun Ling mengangguk setuju. "Shaka benar. Kabut ini mungkin ada hubungannya dengan energi aneh yang kita rasakan sejak tiba di pulau ini. Ini bukan tempat biasa."
Kael, yang sudah pulih dari pertarungannya, menatap api unggun dalam-dalam. "Aku rasa pulau ini adalah semacam penjara," katanya pelan. Semua mata langsung tertuju padanya.
“Penjara?” tanya Ray, merasa bingung.
Kael mengangguk. "Mungkin bukan penjara secara harfiah, tapi sepertinya ini adalah tempat yang dirancang untuk menjebak makhluk seperti Scylla dan Charybdis. Dan sekarang, kita yang terperangkap di sini."
Panda, yang berubah kembali ke bentuk manusianya setelah membantu pertarungan, menambahkan, "Kalau memang begitu, berarti kita harus menemukan kunci atau jalan keluar yang mereka coba sembunyikan di pulau ini."
Shaka merenungkan hal itu. "Jika pulau ini adalah semacam penjara, maka pasti ada sesuatu di sini yang mengontrol kabut itu, atau setidaknya petunjuk bagaimana kita bisa keluar."
Nei, yang selalu melihat hal dari sudut pandang lain, memberikan pandangannya. "Mungkin kita bisa memeriksa reruntuhan yang kita temui tadi pagi. Aku merasa tempat itu memiliki lebih banyak rahasia daripada yang terlihat."
Semua orang terdiam, memikirkan saran Nei.
Shaka akhirnya berdiri, pandangannya tajam. "Baik. Besok pagi, kita akan menjelajah reruntuhan itu lagi. Jika ada sesuatu yang bisa membantu kita keluar dari sini, pasti ada di sana. Kita tidak akan meninggalkan pulau ini tanpa menemukan jawabannya."
Malam semakin larut, dan perlahan-lahan para anggota Red Wings mulai mengantuk. Namun, rasa cemas tetap membayangi mereka. Shaka berdiri, memandang ke arah laut, kabut hitam itu tetap tampak samar-samar di kejauhan. Dia tidak bisa menghilangkan firasat bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menunggu mereka di balik kabut itu.
Sebelum beristirahat, Shaka kembali berbalik ke arah timnya. "Ingat," ucapnya tegas, "apapun yang kita hadapi di pulau ini, kita akan keluar dari sini bersama-sama. Jangan pernah menyerah, dan jangan biarkan ketakutan menguasai kalian."
Pagi hari akan datang dengan tantangan baru, dan Red Wings harus bersiap untuk menemukan kebenaran di balik misteri pulau ini. Mereka tahu bahwa kabut hitam dan awan putih itu bukanlah tanda yang baik, tapi dengan keberanian dan
persahabatan, mereka yakin bisa menemukan jalan keluar.
Pagi menjelang dengan angin yang masih sejuk. Suara burung-burung terdengar samar di kejauhan, menandakan kedatangan hari baru di pulau terpencil itu. Di saat anggota guild lainnya masih tertidur nyenyak, Arthur sudah bangun dan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar pulau, seperti kebiasaannya untuk merilekskan pikiran. Langkahnya ringan namun mantap, sementara matanya menyapu pemandangan pulau yang masih samar oleh kabut tipis di kejauhan.
Saat dia berkeliling, dia melihat sosok Shaka duduk di atas bebatuan besar, menatap lurus ke arah lautan. Pandangannya tajam dan penuh pertimbangan, seolah-olah sudah menunggu Arthur datang.
Arthur menghampiri tanpa terburu-buru, namun sebelum ia bisa mengucapkan sepatah kata pun, Shaka membuka percakapan dengan nada serius.
"Aku selalu ingin menanyakan hal ini," kata Shaka tanpa menoleh.
Arthur menghentikan langkahnya dan menatap Shaka yang masih menatap horizon. "Ada apa, kapten?"
Shaka menghela napas panjang, dan seiring dengan napasnya, aura kuat mulai terpancar dari tubuhnya. Udara di sekitar mereka terasa lebih berat, menciptakan ketegangan yang menyesakkan. "Disaat semua anggota lain panik kemarin, kenapa kau bisa begitu santai? Kau pasti tahu banyak hal soal Segitiga Bermuda, bukan?" tanya Shaka, suaranya dingin namun tajam.
Arthur mendiamkan sejenak, mengamati Shaka dengan sorot mata penuh pemahaman. Dia tahu bahwa kapten mereka ini adalah seorang yang tidak mudah diintimidasi, namun juga penuh perhitungan.
"Kau tahu bahwa aku hidup lebih lama darimu, bukan?" jawab Arthur dengan tenang.
Shaka hanya mengangguk tanpa memalingkan wajah dari lautan.
Arthur melanjutkan dengan suara yang lebih rendah, namun tetap jelas terdengar. "Dulu, aku beberapa kali terjebak di Segitiga Bermuda. Jadi itu sudah menjadi hal yang biasa bagiku. Aku tidak panik karena aku tahu selalu ada jalan keluar, meskipun setiap Segitiga Bermuda memiliki caranya sendiri."
Suasana sedikit mencair, meskipun ketegangan masih terasa. Shaka, yang semula curiga, kini mendengarkan lebih serius.
“Setiap Segitiga Bermuda,” lanjut Arthur, “memiliki penghuninya masing-masing. Di pulau ini, kemungkinan besar penghuni itu adalah Scylla dan Charybdis, tetapi bisa saja mereka hanya bertugas membawa kita ke sini. Yang sebenarnya harus kita temukan adalah raja dari tempat ini, penghuni sebenarnya yang mungkin mengontrol seluruh segitiga ini.”
Mendengar penjelasan itu, Shaka akhirnya merasa lebih lega. Selama ini dia berpikir bahwa Arthur mungkin menyembunyikan sesuatu atau bahkan memiliki rencana buruk. Namun setelah mendengar hal itu, Shaka bisa memahami ketenangan Arthur. Wajar jika Arthur bersikap santai, mengingat pengalamannya yang panjang dan berbagai rintangan yang telah dia lalui.
Senyum tipis muncul di wajah Arthur. "Santai saja, kapten. Kita akan keluar dari sini, seperti biasanya."
Saat hari mulai cerah, anggota guild lainnya satu per satu mulai terbangun. Ray sedang menguap lebar, sementara Panda yang baru saja kembali ke bentuk manusianya meregangkan tubuhnya yang kekar. Kael tampak lebih bugar setelah malam yang cukup panjang.
Sun Ling sudah memutuskan untuk pergi sendiri lebih awal. Ia merasa ada sesuatu yang aneh di bagian curam yang ia temukan sebelumnya, dan rasa penasaran itu mendorongnya untuk mengeksplorasi lebih jauh tanpa menunggu yang lain. Saat dia menatap ke dasar curam yang dalam, sebuah pemikiran melintas di benaknya. "Aku tidak akan terkejut jika di dalam sana akan muncul monster-monster lagi," gumamnya pelan.
Dengan lompatan yang gesit, Sun Ling meluncur turun dari atas curam. Angin menerpa wajahnya saat dia mendarat dengan ringan di dasar curam yang gelap. Saat ia melihat sekeliling, cahaya dari atas hampir tidak terlihat. Kegelapan di dasar curam begitu pekat, seakan menelan setiap sinar yang mencoba masuk.
Namun, Sun Ling tetap tidak gentar. Dengan hati-hati, dia mulai menjelajahi tempat itu, berusaha mencari petunjuk atau sesuatu yang bisa menjelaskan keberadaan mereka di pulau misterius ini.
Di sisi lain, Shaka dan timnya memutuskan untuk menyelidiki reruntuhan yang mereka temukan kemarin. Mereka merasa tempat itu menyimpan rahasia penting tentang bagaimana cara keluar dari pulau ini. Setelah beberapa jam investigasi yang intens, akhirnya Nei, yang memiliki mata tajam untuk benda-benda kuno, menemukan sesuatu yang menarik perhatian.
"Aku menemukannya!" teriak Nei sambil mengangkat sebuah benda kuno berbentuk segitiga dari bawah puing-puing. Benda itu memiliki jarum dan titik-titik bundar di tengahnya, dan di salah satu sudutnya ada lingkaran yang tampak seperti ruang kosong, seolah membutuhkan benda berbentuk bulat untuk melengkapinya.
Mereka berkumpul di sekelilingnya, memperhatikan dengan seksama. Arthur mengamati benda itu lebih dekat, mengernyit seolah-olah mencoba mengingat sesuatu.
"Ini pasti kunci untuk sesuatu," gumamnya. "Tapi kita perlu mencari tahu apa yang cocok dengan ruang kosong ini."
Shaka mengangguk setuju. "Benda ini mungkin adalah petunjuk pertama kita. Kita harus membawanya kembali ke pesawat dan mempelajarinya lebih lanjut."
Mereka pun kembali ke pesawat sambil berdiskusi tentang kemungkinan fungsi dari benda segitiga itu. Namun, dalam perjalanan kembali, Shaka menyadari sesuatu yang membuatnya khawatir. "Sun Ling belum kembali," katanya dengan cemas.
Sun Ling, yang masih berada di dasar curam, mulai merasakan sesuatu yang aneh. Meskipun tempat itu gelap dan dingin, ada kehadiran yang tidak bisa dia jelaskan. Sesuatu, atau seseorang, sedang mengawasinya dari kegelapan. Namun, dia tahu bahwa rahasia yang dia cari ada di tempat ini, tersembunyi di balik bayang-bayang.
Di dasar curam yang gelap dan sunyi, Sun Ling terus melangkah dengan hati-hati. Dengan setiap langkahnya, ia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang mengawasinya, sesuatu yang besar dan kuat. Ia mengepalkan tongkat sakti miliknya erat-erat, seolah siap menghadapi apa pun yang datang. Tongkat tersebut, yang bisa berubah panjang sesuai keinginannya, bergetar seolah merasakan ancaman yang mendekat.
Tiba-tiba, getaran yang halus di tanah semakin menguat. Suara berat terdengar dari kejauhan, langkah kaki besar yang seolah menggema di antara tebing-tebing curam. Sun Ling menghentikan langkahnya dan memandang ke arah kegelapan yang semakin pekat. Ia tahu, sesuatu sedang mendekat.
Dari balik bayangan tebal, muncul sepasang mata merah yang menyala, menatap Sun Ling dengan intensitas yang mematikan. Makhluk itu keluar dari kegelapan—seekor serigala raksasa, besar dan garang. Rahangnya yang penuh dengan taring tajam terbuka sedikit, memperlihatkan keganasan alaminya. Serigala itu berdiri sendiri, menyatu dengan kegelapan, seolah-olah dialah penguasa tempat ini.
Sun Ling tersenyum tipis, sedikit meremehkan situasi yang tampak berbahaya. "Kau pikir bisa mengalahkanku dengan ukuran besar saja?" ujarnya pelan sambil menyiapkan tongkat sakti miliknya. “Ini akan menjadi menarik.”
Serigala raksasa itu, Amarok, melompat ke arah Sun Ling dengan kecepatan luar biasa, cakarnya menghantam tanah dengan kekuatan besar. Tapi Sun Ling sudah siap. Dengan gesit, ia melompat tinggi, berputar di udara seperti monyet liar, dan menghindari serangan pertama dari Amarok.
Dengan sekali hentakan, Sun Ling mengarahkan tongkat saktinya ke tanah, dan tongkat itu memanjang seketika, membuatnya melayang lebih tinggi. Dengan lompatan cepat, ia meluncur ke arah kepala Amarok, bersiap untuk melancarkan serangan. Namun Amarok tidak semudah itu dikalahkan. Serigala besar itu menggerakkan kepalanya dengan cepat, mencoba menangkap Sun Ling dengan rahangnya yang besar.
Sun Ling memutar tongkat saktinya di udara, menahan gigitan rahang Amarok. Dentuman keras terdengar ketika tongkat sakti itu menghantam gigi besar serigala raksasa tersebut, namun tidak patah. Dengan satu gerakan cepat, Sun Ling memendekkan tongkatnya dan melompat mundur, mendarat di atas batu besar.
“Kau cepat juga,” kata Sun Ling sambil mengusap hidungnya, gerakan khas yang menunjukkan rasa percaya diri.
Amarok melolong dengan keras, menyebabkan getaran di udara dan membuat bebatuan di sekitar mereka runtuh. Serigala itu kembali menyerang, kali ini dengan lebih liar. Sun Ling, dengan kelincahan luar biasa, melompat-lompat di antara bebatuan dan tebing, menghindari setiap serangan mematikan dari Amarok. Ia bergerak seperti angin, cepat dan tidak terduga, menggunakan tongkat saktinya sebagai penopang untuk melompat lebih tinggi dan lebih jauh.
“Ayo, besar!” teriak Sun Ling sambil tertawa kecil. “Kau harus lebih cepat jika ingin menangkapku!”
Amarok yang marah menancapkan cakarnya ke tanah dan merobek bebatuan besar. Dengan kekuatan liar, serigala raksasa itu melemparkan bebatuan besar ke arah Sun Ling, tetapi Sun Ling mengayunkan tongkatnya, menghancurkan setiap batu yang datang. Tongkat saktinya berubah panjang dan besar saat ia membutuhkannya, menghancurkan batu-batu besar dengan mudah.
Namun, Sun Ling tahu bahwa ia tidak bisa terus menghindar. Ia harus mencari cara untuk melumpuhkan Amarok. Dengan cepat, ia melompat ke udara dan mengubah ukuran tongkatnya hingga panjangnya cukup untuk menyerang Amarok dari kejauhan. Ia menebas kaki belakang serigala itu dengan tongkatnya, membuat Amarok terhuyung.
Amarok melolong keras, rasa sakit yang luar biasa terasa dari serangan Sun Ling. Namun, makhluk itu tidak menyerah begitu saja. Amarok kembali berbalik dan menyerang dengan cakarnya, tetapi Sun Ling, dengan gesit, melompat ke belakang dan kemudian berlari di sepanjang tubuh Amarok, menggunakan punggungnya seperti medan tempur.
Saat mencapai kepala Amarok, Sun Ling melompat tinggi ke udara lagi, tongkatnya memanjang ke arah langit. Dengan satu gerakan cepat, ia menjatuhkan tongkat itu ke kepala Amarok, menghantam makhluk itu dengan keras hingga tanah di sekitar mereka bergetar. Amarok jatuh terjerembab ke tanah, namun ia masih hidup, masih berusaha bangkit.
"Belum selesai ya?" Sun Ling menghela napas. Ia menatap Amarok yang perlahan bangkit, tubuhnya yang besar kini berdarah di beberapa tempat. Namun mata merahnya masih memancarkan kebencian dan keganasan. Sun Ling tahu bahwa ia harus mengakhiri ini dengan cepat.
Ia kemudian mengubah tongkatnya menjadi lebih pendek dan kembali melompat ke arah Amarok. Kali ini, ia bergerak dengan lebih cepat dan lebih agresif, memanfaatkan kelincahannya. Dengan setiap serangan, tongkatnya berubah ukuran, memanjang dan memendek sesuai kebutuhan. Ia memukul kaki, tubuh, dan kepala Amarok dengan serangkaian pukulan cepat yang tak terhentikan.
Amarok berusaha melawan, tapi gerakan Sun Ling terlalu cepat dan tidak terduga. Setiap kali Amarok mencoba menerkam atau menghantam, Sun Ling sudah berada di tempat lain, menyerang dari sudut yang berbeda. Akhirnya, dengan satu serangan pamungkas, Sun Ling melompat tinggi ke udara dan memanjangkan tongkatnya, menghantam bagian leher Amarok dengan kekuatan penuh.
Serangan itu akhirnya melumpuhkan Amarok. Serigala raksasa itu roboh ke tanah, mengeluarkan napas berat terakhirnya sebelum akhirnya diam. Sun Ling, yang masih melayang di udara dengan bantuan tongkatnya, menghela napas lega. Ia menyentuh tanah perlahan, kemudian menyandarkan tongkatnya di bahunya.
“Akhirnya selesai,” gumamnya sambil mengusap hidungnya lagi.
Sun Ling menatap tubuh Amarok yang tergeletak tak bergerak, lalu memalingkan pandangannya ke arah tebing curam di mana ia harus kembali. Pertarungan ini telah memberinya pemahaman bahwa pulau ini menyimpan lebih banyak bahaya daripada yang ia kira. Amarok mungkin bukan satu-satunya makhluk kuat di sini. Dengan hati-hati, Sun Ling mulai berjalan kembali ke tempat timnya, siap memberikan laporan tentang pertempuran ini.
"Aku harap mereka punya kabar yang lebih baik," katanya pada dirinya sendiri, sambil mengayunkan tongkat saktinya ke udara. Dengan lompatan panjang, Sun Ling meninggalkan dasar curam, kembali menuju anggota Red Wings yang lain.
Sun Ling memutar tongkat saktinya di udara sambil bersiap menghadapi apa pun yang mungkin terjadi. "Aku hampir saja mengeluarkan wilayah absolutku di bawah sana," ucapnya sambil menyeka keringat di dahinya. Matanya menatap ke bawah curam sekali lagi, dan seketika cahaya ungu yang menyala dari dalam kegelapan menarik perhatiannya.
“Hmm, apa itu?” gumam Sun Ling, penasaran. Meskipun ia baru saja kembali, rasa ingin tahunya mengalahkan rasa lelah. Ia kembali melompat turun ke dalam curam dengan gesit, kali ini bertekad untuk mengambil benda misterius tersebut.
Sementara itu, di atas pesawat, Shaka dan anggota lainnya masih terlibat diskusi tentang benda berbentuk segitiga yang mereka temukan. Goresan halus di sayap pesawat menandakan bahwa mereka harus segera memperbaikinya, tapi misteri pulau ini dan Segitiga Bermuda yang membuat mereka terjebak jauh lebih mendesak.
"Kita harus segera tahu apa yang benda ini maksudkan," ucap Shaka, melipat kedua tangannya dengan wajah serius. Namun, karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, mereka memutuskan untuk beristirahat. Shaka merebahkan tubuhnya di atas pesawat, memandangi langit yang mulai sedikit berubah warna, sementara anggota lainnya tetap terjaga.
Beberapa jam kemudian, Sun Ling muncul kembali. Tubuhnya penuh debu dan lumpur. "Apa yang terjadi denganmu?" tanya Panda, mengerutkan kening melihat keadaan temannya yang begitu kotor.
Sun Ling mengeluarkan sebuah benda dari kantongnya, sebuah mutiara bercahaya ungu. Ia menyerahkannya kepada Shaka. "Aku menemukan ini di dasar curam," katanya dengan napas terengah-engah.
Shaka menatap mutiara itu dengan seksama. "Kita harus mencari tahu apa hubungannya ini dengan benda yang kita temukan," ucapnya. Mereka segera kembali mencocokkan mutiara itu dengan benda berbentuk segitiga yang sebelumnya mereka temukan di reruntuhan. Mutiara tersebut terlihat pas di ruang kosong segitiga tersebut.
Shaka dengan hati-hati memasukkan mutiara itu, dan seketika jarum di benda segitiga itu mulai bergerak cepat. Benda itu memancarkan cahaya terang ke dinding pesawat, memperlihatkan sebuah gambar kapal nelayan yang dihantam oleh ombak besar, dengan siluet seekor naga raksasa yang mengintai di bawah laut.
"Ini... ini seperti mimpi buruk," gumam Nei dengan ketakutan.
Panda menghela napas, "Benda ini sama sekali tidak membantu. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Shaka berpikir dalam-dalam sambil menatap gambar tersebut. "Tidak, ini adalah petunjuk," jawabnya dengan tenang. Tanpa peringatan, ia keluar dari pesawat dan berjalan ke arah laut. Semua orang bingung.
"Shaka, apa yang kau rencanakan?" teriak Kael, tapi Shaka hanya melambaikan tangan dan melompat ke dalam air, menyelam dalam-dalam menuju dasar laut.
Di kedalaman, Shaka berenang hingga mencapai dasar laut paling dalam. Di sana, ia melihat siluet besar dari gambar yang mereka lihat di pesawat—seekor naga laut raksasa dengan tubuh berlapis sisik yang terlihat seperti baja, matanya berkilauan dalam kegelapan. Leviathan.
Tanpa berpikir panjang, Shaka memanggil seluruh kekuatannya, lengan kanannya berpendar dengan energi yang sangat besar. "Justice Crush!" teriaknya, menghantam dasar laut dengan kekuatan dahsyat, menciptakan gelombang kejut yang mendorong air dengan kecepatan luar biasa. Ledakan air membawanya kembali ke permukaan dengan kekuatan besar, membuat semua orang di daratan panik.
Shaka muncul di permukaan dengan nafas terengah-engah, matanya berkilat. "Bersiaplah," katanya tegas. "Kita berhadapan dengan Leviathan, penguasa Segitiga Bermuda."
Rasa khawatir menyelimuti timnya. Ray langsung memerintahkan Nei dan Panda untuk bergerak ke tempat yang lebih aman. "Kalian harus menjauh, situasinya terlalu berbahaya!" serunya.
Panda, yang telah berubah menjadi wujud gorilanya, dengan cepat melompat ke arah Ray dan Nei untuk memberikan perlindungan, sementara Shaka tetap berdiri tegak, otot-ototnya tegang dan bersiap untuk pertarungan yang akan datang.
Shaka mendesah pelan, "Mungkin sudah waktunya aku mengganti nama teknikku. 'Strong Style juggernaut' namanya terasa tidak cocok untuk lawan seperti ini."
Sun Ling tertawa kecil sambil memutar tongkat saktinya. "Juggernaut? Kurasa memang perlu dipertimbangkan. juggernaut memang terdengar terlalu ringan untuk situasi ini."
Arthur menghunuskan pedang Excalibur-nya, yang bersinar terang. "Kita tidak bisa menghadapinya sendirian. Setiap orang harus memberikan segalanya."
Kael berdiri di samping Shaka, memegang trisulanya dengan kuat, arwah yang berpendar di belakangnya mulai mengambil bentuk. "Kita mungkin tidak punya banyak waktu."
Shaka menyalakan kekuatan penuhnya, mengaktifkan Strong Style Titan Form. Tubuhnya berubah, menjadi raksasa dengan otot-otot yang mengembang, memberikan kekuatan fisik yang luar biasa dan kemampuan lompatan jauh yang membuat tanah bergetar.
Leviathan, kini terbangun sepenuhnya, muncul di atas permukaan laut. Tubuhnya yang raksasa mengguncang air, menciptakan ombak besar yang menghantam daratan. Raungan Leviathan menggema, memancarkan ketakutan dan kekuatan yang mendalam.
"Semua, bersiaplah!" teriak Shaka, melompat ke udara dan mengayunkan tinjunya ke arah Leviathan. Pukulan itu menciptakan gelombang udara yang kuat, tetapi Leviathan dengan mudah menangkisnya dengan ekor besarnya, mengirimkan Shaka terlempar ke belakang.
Sun Ling melompat dengan tongkat saktinya, menggunakan teknik bertarung dan menyerang dengan gerakan cepat dan akrobatik, mencoba menusuk mata Leviathan. Namun, monster itu begitu cepat menutup rahangnya, nyaris menjepit Sun Ling di tengah-tengah.
Arthur bergabung dalam serangan, mengayunkan Excalibur yang berkilauan dengan cahaya suci, tetapi sisik Leviathan terlalu kuat, bahkan untuk pedang legendaris itu.
Kael mencoba memanggil arwah dari trisulanya, mencoba menciptakan gelombang serangan dari elemen air, tapi Leviathan melawan dengan semburan energi dari mulutnya, membuat seluruh tim terpental ke belakang.
"Dia terlalu kuat!" teriak Kael. "Apa yang bisa kita lakukan?"
Leviathan tiba-tiba melepaskan seluruh kekuatannya. Dari tubuhnya, muncul gelombang energi besar yang menghancurkan sekelilingnya. Ombak besar terbentuk di lautan, membuat tanah bergetar hebat.
Shaka terjatuh ke tanah, terengah-engah. "Kita... kita tidak siap untuk ini," gumamnya.
Leviathan berdiri tegak di tengah lautan, menatap mereka dengan tatapan dingin, siap menghancurkan mereka sepenuhnya. Situasi semakin genting, dan Shaka serta timnya benar-benar terpojok, tak tahu harus berbuat apa lagi menghadapi kekuatan sebesar itu.
-BERSAMBUNG-