Semua ini berawal dari kata sandi sambungan Wi-Fi di rumah gue. Kedengarannya sepele, kan?
Tapi percaya, deh, lo salah besar kalau mengira ini cuma hal kecil yang enggak bakal bisa mengubah nasib seseorang.
Sekarang, kata sandi itu bukan cuma gue yang tahu, tapi juga mereka, tiga lelaki keren dari keluarga Batari yang tinggal di belakang rumah gue.
Bukan karena gue pelit, ya.
Tapi ini masalah yang jauh lebih besar, menyangkut harga diri gue sebagai seorang perempuan. Karena begitu dia tahu isi kata sandi itu, gue yakin hidup gue bakal berubah.
Entah akan jadi lebih baik, atau justru makin hancur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cowok yang Suka Kabur
"Dia enggak boleh mati!" Gue teriak ke layar TV. Ini, nih yang gue benci dari Ryu-Sun-Jae, gue paling benci kalau karakter favorit gue tiba-tiba mati seenaknya saja.
Gori ada di samping gue, dia lagi santai ngemil Basreng. "Udah mau habis nih episode-nya, tapi kita enggak tahu gimana nasib Im-Sol, kali aja nasibnya sama kayak lo," katanya.
Gue langsung ambil bungkus Basreng dari tangannya. "Diam, deh. Kalau benaran gitu, sumpah, gue enggak bakal nonton lagi."
Gori cuma gulung mata sambil membenarkan kacamatanya. "Itu, kan, yang selalu lo bilang dari episode pertama."
"Gue emang lemah, oke?"
Kita berdua duduk di lantai, bersandar ke kasur di belakang. Cuaca lagi panas, jadi gue cuma pakai celana pendek dan kaos putih tanpa Bra. Gue sudah biasa bersikap kayak begini di depan Gori, dan gue tahu dia juga santai saja.
Anoi, anjing gue, tidur nyenyak di samping jendela.
Kamar gue ukurannya lumayan, ada kasur gede dan dindingnya dipenuhi poster KPOP favorit gue dengan warna ungu muda. Ada lampu natal kecil menempel di bagian atas dinding, bagus banget kalau malam.
Di depan kasur ada TV, di sebelahnya jendela, dan di sisi lain pintu kamar mandi gue.
Kita fokus nonton drama Korea sampai episode-15 berakhir. "Enggaaakk! Gue benci kalian, Produser sama Penulis Lovely Runner! Gue benciii!"
"Udah gue bilang, kan?" kata Gori sok pintar sambil cemberut. Gue cubit belakang kepalanya.
"Aduh! Jangan lampiasin ke gue, dong."
"Kenapa mereka tega sama kita? Kok bisa endingnya gini?"
Gori elus-elus punggung gue. "Udah, udah, tenang." Dia kasih gelas Fanta dingin ke gue. "Nih, minum dulu."
"Gue bakal mati, nih."
"Santai, lagi pula masih kurang satu episode lagi."
Gue matikan TV dengan rasa galau, lalu duduk depan Gori. Tapi, dia kelihatan gelisah dan gue tahu itu bukan karena series barusan.
Mata coklat mudanya bersinar beda, ada sesuatu yang enggak pernah gue lihat sebelumnya. Dia senyum canggung.
"Ada apa?" tanya gue.
"Iya."
Suasana tiba-tiba jadi berat, ada hal aneh yang bikin gue resah, tapi gue biarkan dia ngomong pelan-pelan. Gue mau tanya apa yang mau dia omongin, tapi kayaknya dia butuh waktu.
Gori jilat bibir bawahnya, terus mulai ngomong. "Gue butuh saran lo."
"Oke. Gue dengerin."
Dia lepas topinya, membebaskan rambut acak-acakannya. "Apa yang bakal lo lakuin kalau lo suka sama teman lo?"
Jantung gue berdebar, tapi gue coba buat tetap biasa saja. "Hmm, mungkin gue bakal nyoba temuin sisi lezbi gue."
Gue senyum, tapi Gori enggak balas senyuman itu. Muka dia makin serius. "Gue serius, Zielle."
"Oke, oke, sori, Pak Serius." Gue pura-pura berpikir sambil pegang dagu. "Gue bakal bilang ke dia kali, ya?"
"Lo enggak takut kehilangan status pertemanan lo sama dia?"
Dan di saat itu, otak gue baru sadar sama apa yang Gori maksud.
Tunggu...
Apa gue teman yang dia sukai itu?
Gori enggak punya teman cewek, selain gue dan beberapa kenalan saja.
Sial…
Jantung gue serasa naik ke tenggorokan sementara sahabat gue dari kecil itu memperhatikan dengan serius, menunggu saran dari gue.
"Lo yakin sama perasaan lo?" tanya gue pelan, mainkan jari di pangkuan.
Mata indahnya fokus ke arah gue. "Ya, gue yakin banget, gue benar-benar suka dia."
Tenggorokan gue tiba-tiba kering. "Sejak kapan lo ngerasa suka sama dia?"
"Dari dulu, cuma gue pengecut aja. Tapi sekarang gue enggak bisa simpan lagi." Gori menunduk, menghela napas, lalu menatap gue lagi dengan mata penuh perasaan. "Gue kepingin banget cium dia."
Gue gigit bibir bawah, refleks. "Oh, ya?"
Gori sedikit maju mendekat. "Iya, bibirnya itu bikin gue tergoda, gue jadi enggak bisa berpikir jernih."
"Berarti bibirnya cantik banget, dong."
"Bibir paling cantik yang pernah gue lihat, gue benar-benar terpesona."
Terpesona...
Pesona...
Sihir...
Anan...
Oh, enggak!
Jangan mikirin Anan!
Jangan sekarang!
Tapi itu enggak bisa dicegah, mata biru yang kayak lautan itu muncul di kepala gue, senyuman sombong dan tajam itu, bibir lembutnya waktu menempel di leher gue.
Aduh, gue benci banget sama otak gue!
"Zielle?" Suara Gori menarik gue buat kembali ke kenyataan. Dia kelihatan bingung, gue malah melamun di saat genting kayak begini. Tapi di satu sisi, lamunan tadi bikin gue sadar juga.
Melihat Gori seterbuka ini, gue sadar kalau gue belum siap dengarkan pernyataan cintanya. Setidaknya, bukan sekarang.
"Gue mau ke kamar mandi bentar." Gue langsung berdiri sebelum Gori sempat ngomong.
Gue masuk ke kamar mandi dan bersandar ke pintu. Frustrasi, uring-uringan sambil meremas rambut sendiri.
Gue pengecut dan bodoh banget. Bahkan gue enggak pegang HP buat minta nasihat dari Niria.
"Zielle?" Gue dengar Gori memanggil dari balik pintu. "Gue pergi dulu, kita ngobrol lagi nanti."
Enggak, jangan!
Gue buru-buru buka pintu secepat mungkin, tapi gue keburu lihat punggungnya waktu dia sudah keluar kamar.
"Arrgh!"
Gue lempar tubuh gue ke kasur dan biarkan diri gue tenggelam di situ. Gue enggak mau memikirkan lagi apa yang Gori mau omongin. Gue cuma ingin istirahat. Gue merem, dan enggak lama langsung jatuh ke alam mimpi.
...***...
Tiba-tiba gue terbangun karena Anoi, anjing gue, menggonggong keras. Ini tipe gonggongan dia yang serius, yang dia keluarkan setiap ada orang asing di rumah. Gue buru-buru bangun dari kasur sampai pusing, terus malah menabrak dinding di sebelah.
"Aw!"
Gue kedipkan mata, dan lihat Anoi lagi menggonggong ke arah jendela. Sudah malam, angin pelan-pelan mengibarkan gorden gue. Gue enggak lihat siapa-siapa di luar, jadi gue coba tenangkan diri.
"Anoi, gak ada siapa-siapa di sana." Tapi Anoi enggak berhenti. Mungkin ada kucing lagi jalan-jalan di luar, dan naluri anjingnya kasih tahu dia?
Akhirnya gue jalan ke jendela buat menenangkannya. Tapi begitu mengintip ke luar, gue menjerit sekencang-kencangnya sampai Anoi ikutan lompat.
Anan.
Di tangga.
Lagi naik ke jendela kamar gue.
"Apa yang lo lakuin?!" Hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari mulut gue begitu melihat dia setengah jalan naik di tangga kayu.
Dia kelihatan tetap cakep seperti biasa, pakai jeans dan kaos ungu, tapi situasi absurd ini bikin gue enggak sempat buat ambil napas.
"Ini namanya manjat, lo harus coba kapan-kapan," jawabnya santai.
"Gue lagi enggak mood buat dengar bercandaan lo," kata gue, serius.
"Gue perlu benerin router lo, sinyalnya mati, dan ini satu-satunya cara buat betulin."
"Dan lo nekat buat masuk kamar gue tanpa izin, naik-naik lewat jendela? Lo tahu, kan, orang yang kayak gitu namanya apa? Maling."
"Gue udah coba hubungin lo, tapi lo enggak angkat telepon."
"Itu bukan alasan buat masuk ke kamar gue seenaknya gini."
Anan memutar mata. "Bisa enggak lo berhenti drama? Gue cuma perlu masuk sebentar."
"Drama? Drama? Gue kasih lo drama, nih." Gue pegang kedua ujung tangga yang menempel di jendela, terus gue goyang-goyangin.
Anan pegangan erat sambil melotot ke gue. "Coba ulangin itu, Zielle, dan lihat apa yang bakal gue lakuin."
"Gue enggak takut sama lo."
"Ya udah, goyangin lagi." Matanya tajam pelototi gue dengan laser merahnya kayak Superman.
"Jangan nantangin gue."
"Serius? Lo mau ngejatuhin gue?"
"Enggak."
Gue perhatikan Anan naik perlahan setiap tangga sampai akhirnya dia ada di depan gue, mukanya cuma beberapa senti dari muka gue. Anoi makin heboh jerit-jerit, dia kayak lihat penyusup, tapi gue terlalu bengong buat melakukan apa-apa.
"Bisa enggak lo tenangin tuh anjing lo?"
"Tenang aja, Anoi enggak punya kutu."
"Iya, tapi gue enggak punya waktu di sini semalaman."
Gue mengeluh, kesal. "Anoi, diam. Duduk." Anjing gue langsung menurut. "Stay."
Gue mundur buat kasih jalan Anan masuk kamar. Begitu dia masuk, tinggi badannya bikin kamar gue jadi terasa sempit. Mata dia menatap gue dari ujung kepala sampai ujung kaki, terus berhenti di area dada, dan di situ gue baru sadar kalau gue enggak pakai Bra.
"Gue mau ke kamar mandi." kata gue. Untuk kedua kalinya hari ini, gue mencoba kabur ke kamar mandi. Tapi, gue lupa satu hal. Anan bukan Gori. Anan enggak bakal biarkan gue kabur begitu saja.
Tangan dia tarik lengan gue, menghentikan langkah gue. "Enggak mungkin lo ninggalin gue sama anjing itu."
"Anoi enggak bakal ngapa-ngapain lo."
"Gue enggak mau digigit." Dia tarik gue ke arah meja komputer, paksa gue buat duduk di kursi, terus dia jongkok buat mulai memperbaiki router.
"Kenapa lo ngerasa kalau Wi-Fi ini punya lo, sih?" Dia cuma mengangkat bahu. "Gue bisa aja laporin lo karena masuk ke rumah gue kayak gini, lo sadar gak?"
"Ya, gue tahu," jawabnya santai, bikin gue bingung. "Dan gue juga tahu lo enggak bakal ngelaporin gue."
"Kenapa lo bisa yakin gitu?"
"Biasanya, penguntit enggak ngelaporin korbannya. Justru sebaliknya."
"Gue kasih tahu ya," gue tunjuk jendela terus tunjuk dia lagi, " yang lo lakuin ini juga bisa dibilang nge-stalking."
"Beda."
"Bedanya apa?"
"Karena lo suka sama gue," sahutnya, "tapi gue enggak suka sama lo."
Wah, sial!
Rasanya hati gue kayak di lempar batu.
Gue ingin melawan dan tonjok dia, tapi kata-katanya benar-benar menusuk. Dia lanjut selesaikan routernya, sementara gue cuma bisa diam.
...Karena lo suka sama gue, tapi gue enggak suka sama lo?...
Dia ngomong begitu dengan santainya. Kalau memang dia enggak merasa apa-apa, terus kenapa dia sempat-sempatnya cium leher gue waktu itu di kuburan?
Tenang, Zielle, jangan biarkan kata-kata dia mempengaruhi lo.
Anan melihat gue dari bawah. "Apa? Gue nyakitin perasaan lo, ya?"
"Ah, please, deh!" Gue pura-pura cuek sambil tahan sakit hati. "Udah buruan kelarin itu, gue pingin balik tidur."
Dia enggak jawab apa-apa, dan gue cuma memperhatikan dia. Rasanya aneh, gue bisa lihat tiap detail di muka dia, kulitnya yang mulus tanpa bekas jerawat sama sekali. Hidup ini kadang enggak adil. Anan punya semuanya: sehat, kaya, pintar, cakep.
"Udah beres," katanya sambil tepuk-tepuk tangannya dengan ekspresi jijik. "Kamar lo kayaknya harus dibersihin sesekali, deh."
Gue ketawa sinis. "Wah, maaf, ya, pangeran, udah nginjek kamar gue yang enggak kayak kamar kerajaan."
"Bersih-bersih tuh enggak ada hubungannya sama duit, dasar lo nya aja yang pemalas."
"Jangan bilang gitu, deh! Gue enggak punya waktu buat bersih-bersih. Antara kerja part-time, tidur, makan, nge-stalking lo..."
Sial.
Gue langsung tutup mulut.
Ya ampun, kenapa gue keceplosan kayak begitu?
Kenapa?
Anan senyum lebar, mata dia bersinar. "Wah, nge-stalking gue sampai nyita waktu lo, ya?"
Mata gue berkedip panik. "Enggak, bukan, bukan itu maksud gue!" Gue buru-buru buat jelaskan.
Anan, yang masih jongkok, merayap ke arah gue, dan jantung gue langsung deg-degan. Dia menatap erat dengan mata biru itu, makin lama makin dekat sampai gue terpaksa buka kaki buat kasih dia ruang.
Wajahnya cuma beberapa senti dari muka gue sekarang. "Heh. Apa yang lo lakuin?" bisik gue.
Dia enggak jawab.
Tangannya menahan di pegangan kursi, tepat di samping pinggang gue. Panas tubuh dia terasa jelas, bikin udara di sekitar gue langsung berat dan bikin susah napas. Mata gue enggak bisa tahan buat enggak lihat bibirnya, dan gila, kelihatan jelas banget dari sini.
Mata dia juga melihat gue dari atas ke bawah muka gue, terus turun ke dada, terus ke paha, habis itu balik lagi ke mata gue, dengan senyum nakal yang bikin bibirnya terlihat basah. Rasanya makin panas dan sesak di antara kita.
Anan pegang tangan gue dan menaruhnya di pegangan kursi, menghalangi gerak gue. Dia masih tahan tatapan itu sambil menyelip di antara paha gue.
"Anan, lo lagi...." Kalimat gue terputus begitu dia mencium pelan lutut gue. Gue langsung lemas.
"Mau gue berhenti?" Mata dia mencari konfirmasi, dan gue cuma bisa geleng.
"Enggak."
Otot-otot di lengan dan bahunya bergerak pas dia cium pelan paha gue, astaga, terlihat seksi. Tato di lengannya menambah kesan liar yang bikin hati gue makin bergejolak. Bibirnya mulai mencium, bergerak terus mencibir kulit sensitif di paha bagian dalam gue.
Tubuh gue bergetar, gelombangnya mengalir di tiap syaraf, bikin semua pikiran gue kabur. Rambut hitamnya menyentuh paha gue,.
Anan mengangkat kepala dan menggigit kulit gue pelan, dan gue enggak tahan buat enggak keluarkan suara. Napas gue mulai enggak teratur, jantung gue berdetak kayak mau meledak. Dia masih terus menjelajah, naik turun paha gue, bibirnya kayak lagi berburu sesuatu, menelan habis-habisan.
Tanpa sadar, pinggul bergerak kebingungan, mencari-cari sentuhan dia di tempat yang lebih tinggi.
Mata gue terpejam dengan sendirinya. "Anan." Gue bisikan namanya di antara desah, dan gue bisa merasa bibirnya tertarik senyum. Senyumnya menyentuh kulit gue, tapi gue sudah enggak peduli lagi.
"Kalau lo mau gue..." bisiknya sambil menyentuh area sensitif gue di atas celana pendek. Jantung gue berdegup kencang, dan gue cuma bisa mengangguk pelan. "Gue mau lo bilang."
"Gue mau lo...." bisik gue.
Dia berhenti, dan gue membuka mata, mendapati wajahnya yang cuma sejengkal dari bibir gue, napasnya terasa di kulit gue. Tatapannya tajam, menyerang langsung ke mata gue.
"Lo bakal jadi punya gue, Zielle," ucapnya dengan suara tulus yang terdengar seperti janji.
Dan secepat dia masuk ke kamar gue, secepat itu juga dia menghilang.
Dia kabur.