Lavina tidak pernah menyangka akan dijodohkan dengan seorang duda oleh orang tuanya. Dalam pikiran Lavina, menjadi duda berarti laki-laki tersebut memiliki sikap yang buruk, sebab tidak bisa mempertahankan pernikahannya.
Karena hal itu dia menjadi sanksi setiap saat berinteraksi dengan si duda—Abyan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu Lavina mulai luluh oleh sikap Abyan yang sama sekali tidak seperti bayangannya. Kelembutan, Kedewasaan Abyan mampu membuat Lavina jatuh hati.
Di saat hubungannya mulai membaik dengan menanti kehadiran sosok buah hati. Satu masalah muncul yang membuat Lavina memutuskan untuk pergi dari Abyan. Masalah yang membuat Lavina kecewa telah percaya akan sosok Abyan—duda pilihan orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my_el, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duda 3
Lavina menatap kedua orang tuanya bergantian. Sebenarnya, wanita itu meminta penjelasan lebih tentang Abyan yang tiba-tiba ada di rumahnya. Terlebih, sekarang matahari sudah menyembunyikan dirinya.
Beruntung Arumi paham akan maksud sang anak. Ikatan batin seorang ibu itu begitu kuat. Maka tak heran, tanpa perlu berkata lebih untuk menyuarakan kegundahan. Seorang ibu akan memahaminya.
“Maaf, ya, Dek. Mama lupa bilang, tadi Mama ke sini niatnya buat manggil kamu. Soalnya Abyan udah dateng buat jemput,” tutur Arumi lembut, berharap putrinya bisa mengerti.
“Untuk apa dia datang ke sini? Udah malem juga.” Lavina masih menatap ibunya, meminta penjelasan lebih lagi
.
“Kalau siang kalian, kan, sama-sama kerja. Jadi, Abyan datang setelah pulang kerja untuk beli cincin pernikahan kalian,” jelas Arumi dengan sabarnya dan mempertahankan intonasi suaranya agar tetap lembut.
Tak bisa Lavina ungkiri, dia terkejut mendengar pernyataan sang ibu. Bagaimana bisa ibunya bilang dadakan? Padahal, dia baru saja akan meminta untuk membicarakan perihal perjodohan ini untuk dibatalkan.
Wanita itu menghela napas panjang, lalu kembali menatap kedua orang tuanya bergantian.
“Jadi? Ayo siap-siap, Adek. Kasihan Abyan nunggu lama,” ujar Farhan memecah keheningan.
"Pa, Ma, pernikahan ini udah gak bisa dibatalkan, ya?” Lavina bersuara lirih, tetapi berhasil menyentak kedua orang tuanya.
Suasana seketika hening, dan hanya terdengar deru napas dari ketiga manusia itu. Sampai deheman Farhan menjadi pemecah serta mengalihkan perhatian dua wanita cantik berbeda usia di kamar itu.
“Adek, kita bicarakan hal ini nanti, ya. Sekarang kamu cepat siap-siap dan ikut Abyan dulu. Bisa, Sayang?”
Lavina menatap tatapan lembut nan hangat dari sang ayah yang penuh harap itu dengan gamang. Namun, pada akhirnya wanita itu mengangguk, setelah sebelumnya dia menghembuskan napas berat.
“Baiklah. Adek siap-siap dulu.” Jawaban Lavina menciptakan seulas senyum tipis di wajah kedua orang tuanya.
“Pintarnya anak papa.” Farhan pun keluar bersama sang istri, meninggalkan Lavina yang berjalan lesu ke kamar mandi.
***
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam dalam keadaan hening. Sepasang anak manusia yang masih merasa asing itu tiba di sebuah mall besar di ibu kota. Mall yang sama yang membuat kenangan buruk bagi Lavina, hingga tanpa sadar wanita itu menghela napas kasar.
Jelas saja hal itu menarik perhatian Abyan, menatap Lavina yang masih duduk di samping kemudinya. “Kenapa?” tanyanya singkat.
Kepala Lavina menoleh dan menggeleng pelan. Menyebabkan tiga garis horizontal terbit tanpa bisa dicegah di dahi Abyan. Namun, sepertinya pria itu tak mau memperpanjang.
“Kamu sudah makan? Kalau belum kita bisa makan malam lebih dulu,” lontar Abyan mengganti topik. Karena, jujur saja dirinya belum sempat mengisi perut sejak siang tadi.
“Boleh.” Lavina menjawab seadanya.
Lagi dan lagi Abyan tak mempermasalahkan jawaban singkat wanita di sampingnya itu. Dirinya sudah lelah, maka dari itu dia tak mau menambah kelelahan lainnya yang disengaja.
Kedua anak manusia itu berjalan beriringan menuju sebuah restoran yang cukup terkenal akan makanan Indonesia. Tentunya mereka lebih dulu memutuskannya sebelum keluar dari mobil tadi. Tanpa berdekatan berlebih, mereka berjalan bak orang tak kenal hingga tiba di tempat tujuan.
“Kamu ada pantangan sama makanan tertentu?” Abyan bertanya sembari menatap menu makanan yang dia baca.
“Tidak ada.”
Kembali jawaban singkat pria itu terima. Lantas, Abyan memesan dua porsi makanan dan memusatkan perhatiannya kepada Lavina. Yang tampak sibuk mengedarkan pandangan, sangat kentara jika wanita itu tengah menghindarinya.
Abyan menarik napas pelan, mengontrol emosi yang bisa kapan saja meledak. Mengingat dirinya tengah begitu lelah sehabis kerja dan tinjau lapangan siang tadi.
“Lavina, apa kamu keberatan dengan perjodohan ini?" Pertanyaan itu akhirnya lolos dari bilah bibir Abyan dengan sempurna. Tak lagi peduli akan sebuah basa-basi.
Dengan refleks Lavina menoleh ke arah Abyan. Tanpa memberikan ekspresi berlebih, wanita itu menatap lurus pria yang dijodohkan dengannya.
“Kenapa lo terima perjodohan ini dengan pasrah?" Lavina membalas pertanyaan Abyan dengan sebuah pertanyaan dengan keterbalikannya.
“Saya sebelumnya sudah pernah menikah dengan orang pilihan saya sendiri. Berharap pilihan saya akan bisa menjadi pelabuhan terakhir bagi saya, dengan dasar saling suka dan cinta ... dulunya,” tutur Abyan tenang, bahkan terlihat sangat santai. “Nyatanya, pernikahan tak semudah itu dijalani, bahkan saya hanya bisa mempertahankan dalam waktu yang sangat singkat. Selama tiga tahun ini saya bertanya-tanya, apa yang salah? Lalu saya teringat akan restu orang tua saya yang sebelumnya sulit didapat. Singkatnya, saya percaya restu orang tua sebuah hal yang penting, karena firasat orang tua ada benarnya. Orang tua saya menjodohkan saya dengan kamu, berarti ada hal baik di balik itu semua. Jadi, tak ada alasan untuk saya menolak,” sambungnya diakhiri senyuman tipis.
Lavina terdiam mendengar penjelasan Abyan dan hanya ada dua perspektif yang terlintas di dalam kepalanya malam itu. Abyan sosok yang naif atau pria itu benar-benar sosok yang dewasa?
***
Suka tidak suka, mau tidak mau pernikahan tetap harus terlaksana. Tiada hentinya Lavina menghela napas kasar sedari dia bangun tidur sampai saat ini yang sudah dirias sebagai seorang pengantin. Diluar sana, terdengar suara pria yang dengan tegasnya mengambil tanggung jawab atas dirinya dari sang ayah.
Air mata yang sedari tadi susah payah dia tahan pada akhirnya meluncur dengan mudahnya. Kini, dia sudah sah menjadi seorang istri dari Abyan. Duda yang masih belum bisa dia terima kehadirannya. Namun, dia sudah tak memiliki jalan mundur.
Tok! Tok!
"Adek, ayo turun. Kita temui suamimu dan keluarga besar." Arumi—sang ibu datang menampilkan senyuman cerahnya, seolah memamerkan kebahagiaan. Berbanding terbalik dengan perasaan Lavina yang terasa redup.
Ibu dan anak itu turun dan Lavina langsung diantarkan ke tempat Abyan berada. Meski enggan dan terpaksa menerima pernikahan itu, tetap saja Lavina harus bersikap baik. Terlebih, sekarang dia berada di tengah-tengah keluarga besar.
"Saya harap kamu bisa nyaman dan bahagia bersama saya selayaknya kamu hidup bersama orang tua kamu sebelumnya," bisik Abyan begitu Lavina menyalami tangannya. Dan tanpa Abyan tahu, Lavina tertegun mendengarnya.
Apa yang kamu harapkan dengan pernikahan yang dipaksa ini, Abyan?
*
*
Kembali lagi sama author
Semoga kalian suka dan betah yaa
See you 😉