NovelToon NovelToon
Zeline Racheline

Zeline Racheline

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Murni
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: happypy

Rayan dan rai, sepasang suami-istri, pasangan muda yang sebenarnya tengah di karuniai anak. namun kebahagiaan mereka di rampas paksa oleh seorang wanita yang sialnya ibu kandung rai, Rai terpisah jauh dari suami dan anaknya. ibunya mengatakan kepadanya bahwa suami dan anaknya telah meninggal dunia. Rai histeris, dia kehilangan dua orang yang sangat dia cintai. perjuangan rai untuk bangkit sulit, hingga dia bisa menjadi penyanyi terkenal karena paksaan ibunya dengan alasan agar suami dan anaknya di alam sana bangga kepadanya. hingga di suatu hari, tuhan memberikannya sebuah hadiah, hadiah yang tak pernah dia duga dalam hidupnya dan hadiah itu akan selalu dia jaga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happypy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

sepuluh

Di kota kencana, di dalam salah satu unit apartemen, suasana tampak mencekam. Seorang wanita bernama dina berusaha menenangkan rai, yang terisak dengan gelisah. Air mata mengalir di pipi rai, sementara tangannya terus memegang dadanya, seolah merasakan sebuah beban yang tak terdefinisi kan.

Dina, bingung dan panik, berlari ke dapur dan segera mengambil segelas air putih. Dengan penuh harapan, dia kembali menghampiri Rai "Rai, minum dulu " ujarnya lembut, berusaha menciptakan suasana tenang. Namun, Rai menggelengkan kepalanya, dan keringat bercucuran di keningnya, menunjukkan betapa tidak nyamannya ia saat ini.

"Kak, kenapa perasaanku gelisah? Apa yang terjadi? Kak, dadaku sakit " suara rai lirih, penuh kecemasan yang menggetarkan hati dina. Dia duduk di lantai, bersandar pada ranjangnya, seolah mencari dukungan dalam posisinya yang rentan.

Dina menghapus air mata rai dengan lembut, mencoba memberi ketenangan meskipun hatinya sendiri dipenuhi rasa cemas.

"Tidak ada yang terjadi rai, semuanya baik-baik saja " katanya dengan keyakinan yang dipaksakan. Namun, dalam benaknya, Dina sendiri merasakan ketidakpastian yang sama, merasa terperangkap dalam perasaan gelisah yang sulit dijelaskan.

Dia ingin meyakinkan rai, tetapi pada saat yang sama, kegelapan yang membayangi pikiran mereka berdua mulai terasa semakin mendekat. Momen ini seakan menggambarkan sebuah harapan yang rapuh di tengah kecemasan yang menghimpit.

Rai tiba-tiba menatap dina dengan mata penuh air mata, suaranya bergetar saat dia mengungkapkan kegelisahannya. "Kak, aku merasakan seperti ada yang memanggilku. Kak, anakku memanggilku " ucapnya, nada suaranya penuh keputusasaan. Dalam sekejap, semangatnya yang terpuruk menggantikan harapan, dan tanpa ragu, dia bangkit, bertekad untuk mencari anaknya.

Dengan cepat, Rai melangkah keluar dari kamar, mencari ke setiap sudut unit apartemennya. Dina, yang tidak ingin meninggalkannya sendirian, ikut bangkit dan mengikuti langkah rai. Mereka bergerak ke dapur, ke balkon, dan ke setiap ruang yang ada, tetapi tidak ada tanda-tanda anak kecil yang dicari rai.

Rai, dalam keadaan seperti orang yang kehilangan akal, terus memanggil anaknya " adek di mana? Adek kenapa nak? Bunda di sini sayang. Adek lapar ya? mau susu ya sini sama bunda ya nak ya!" Suaranya semakin nyaring, mencerminkan ketidakpastian yang menyelimuti hatinya.

Dina merasa hatinya hancur melihat rai dalam keadaan seperti itu. Dia dengan lembut memeluk rai, mencoba menahan langkahnya, berusaha menyadarkannya bahwa tidak ada yang bisa ditemukan.

"Rai, sudah, tidak ada racheline di sini " lirih dina, suaranya penuh kasih sayang.

Mereka akhirnya terduduk lemah di lantai, terjatuh ke dalam keputusasaan yang mendalam. Dina memeluk rai erat-erat, membiarkannya menangis di pelukannya. Di dalam pelukan itu, Rai mengeluarkan semua kesedihannya, sementara dina hanya bisa berdoa agar rai segera menemukan kedamaian. Momen hening ini menyatukan mereka dalam kepedihan yang sama, saling memberikan dukungan dalam kegelapan yang melingkupi hidup mereka.

Setelah beberapa saat, Rai akhirnya mulai tenang. Matanya yang sembab terlihat semakin berat, menunjukkan bahwa rasa kantuk mulai menguasainya. Dina, dengan lembut, membantunya berdiri dan menuntunnya kembali ke kamar. Rai menyerah pada kelelahan, membiarkan dina membaringkannya di tempat tidur. Dina mengusap dahi rai sejenak, memastikan bahwa rai nyaman sebelum akhirnya keluar dari kamar.

Duduk di sofa, Dina termenung, matanya memandang kosong ke arah depan. Pikirannya berputar-putar, mencari cara untuk membantu Rai agar bisa kembali ceria. Namun, beban yang dirasakan rai begitu besar, membuat dina merasa tak berdaya.

Dia mengeluarkan ponselnya, berharap bisa menemukan sesuatu yang dapat mengalihkan pikirannya. Saat dia membuka sosial media, pandangannya tertuju pada sebuah foto—foto seorang gadis kecil yang kemarin mereka lihat. Dina menatap foto itu dengan lebih dalam, ada sesuatu yang mengusik perasaannya.

“Rai pernah bercerita kalau suaminya dulu penjual kue, dan gadis ini anak pemilik toko kue ” gumam Dina, mengingat kembali cerita rai. Pikirannya mulai berputar. Seakan ada benang merah yang mulai terhubung, meski masih samar.

Dina bergumam lagi, kali ini dengan nada lebih serius. “Benarkah ini hanya sebuah kebetulan? Tapi kenapa hati kecilku merasa tidak demikian?” Dia menggigit bibirnya, cemas, tak tahu kepada siapa harus berbagi kebingungan ini. Seperti ada sesuatu yang salah, tapi dia tidak bisa menyingkapkan apa itu.

Dengan ponsel di tangannya, Dina terus termenung. Ada rasa curiga yang perlahan tumbuh di dalam dirinya, namun dia belum bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Dan di dalam kesunyian itu, Dina hanya bisa bertanya pada dirinya sendiri, menunggu jawaban yang mungkin belum siap diungkapkan.

Singkat waktu, Sore hari yang tenang tiba-tiba pecah oleh dering ponsel Rai, membangunkannya dari tidur yang tak sepenuhnya nyenyak. Rai mengerjap, meraba ponsel di samping bantal, lalu melihat nama ibunya terpampang di layar. Dengan suara yang masih berat, dia mengangkat panggilan itu.

“Rai, datang ke rumah sebentar ya. Mama butuh bantuan ” suara ibunya terdengar jelas dari seberang. Rai mengangguk kecil, meskipun ibunya tidak bisa melihat.

“Iya maa, aku akan datang beberapa menit lagi ” jawab rai singkat sebelum menutup telepon.

Saat keluar dari kamar, dia mendapati ruangan itu sepi. Dina tak terlihat di mana-mana. Rai menatap ponselnya lagi, dan melihat pesan yang masuk ternyata dina sudah pulang saat dia masih terlelap. Rai menghela napas, merasa sedikit lega tapi juga hampa, lalu melangkah menuju kamar mandi.

Disana, dia membasuh tubuhnya, membiarkan air dingin menyapu lelah yang masih melekat. Setelah itu, dia mengenakan pakaian santai, tanpa banyak upaya untuk tampil menarik. Penampilannya biasa saja, seakan dia hanya ingin menjalani hari tanpa banyak usaha. Dengan langkah tenang, dia berangkat menuju rumah ibunya, siap menghadapi apapun yang menunggunya di sana.

Sesampainya di rumah ibunya, Rai keluar dari mobil dengan ponsel di genggamannya. Langkahnya terasa ringan, namun pandangannya tertuju pada sebuah mobil asing yang terparkir di halaman. “Ini mobil siapa?” gumamnya, keningnya berkerut. Namun, tak ingin terlalu banyak berpikir, Rai memutuskan untuk tidak ambil pusing dan langsung masuk ke dalam rumah.

“Mama!” panggil Rai begitu melewati pintu masuk. Suara ibunya, Maharani, terdengar samar dari arah dapur.

“Rai, kemarilah, bantu kami memasak ” kata maharani dengan nada ceria. “Kami?” pikir rai, bingung. Jadi ada orang lain di sini selain ibunya?

Langkah Rai terhenti seketika saat mendengar suara tangis bayi. Suara itu datang begitu tiba-tiba, membuat hatinya berdetak lebih cepat. Dengan cepat, Rai mencari asal suara tersebut, langkahnya sedikit tergesa. Akhirnya, dia sampai di ruang TV, dimana dia menemukan seorang bayi kecil sedang menangis dalam ayunan.

Rai terdiam sejenak, pandangannya tertuju pada bayi itu. Perlahan, dia mengulurkan tangan, lalu menggendong bayi tersebut ke dalam pelukannya. “Hei, kenapa kamu menangis?” bisiknya lembut, berusaha menenangkan. Saat menatap wajah polos bayi itu, memori tentang anaknya yang sudah meninggal dunia mendesak ke permukaan. Hatinya terasa perih, namun ada kehangatan yang menjalari tubuhnya. Bayi ini, dengan tangisannya yang melengking, mengingatkannya pada sesuatu yang hilang sesuatu yang sangat dia rindukan.

Tiba-tiba, seorang pemuda datang dari belakang Rai, membuatnya berbalik dengan ekspresi bingung. Rai tidak mengenal pemuda itu, yang tak lain adalah Brian. Brian datang bersama ibunya, dan bayi yang berada dalam gendongan Rai ternyata adalah keponakannya, anak dari adiknya. Brian menatap bayi itu dengan lembut, matanya penuh perhatian. Rai, yang juga menunduk melihat bayi tersebut, bertanya pelan “ Dia bayimu?”

Brian tersentak, menoleh cepat ke arah Rai dan mengangguk secara refleks. Namun, begitu sadar dengan apa yang dia katakan, dia langsung tergagap, “Maksudku, dia keponakanku.” Brian menjawab dengan gugup, merasakan detak jantungnya semakin cepat. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya dia berbicara dengan Rai, sosok yang diam-diam telah menjadi cinta pertamanya.

Rai mengangguk perlahan, masih menggendong bayi yang masih menangis. “Dia menangis, ibunya di mana?” tanya Rai, mencoba mencari tahu. Brian menelan ludah dan menjawab dengan suara yang lebih stabil,

“Ibunya tidak ikut, tapi aku membawa susunya. Sebentar ya.” Tanpa menunggu lama, Brian langsung melangkah cepat menuju dapur, meminta ibunya untuk menyiapkan susu untuk bayi itu. Beberapa detik kemudian, dia kembali lagi, membawa botol susu dan menyerahkannya kepada rai.

Dengan penuh kelembutan, Rai mengambil botol susu itu dan mulai menyusui bayi tersebut. Dalam diam, Brian memperhatikan setiap gerakan rai, hatinya penuh debar. Baginya, pemandangan ini seperti mimpi, Rai, sosok yang ia kagumi selama ini, sedang berada di dekatnya, bahkan menggendong keponakannya. Di sudut hatinya, terselip harapan dan rasa kagum yang semakin dalam.

Rai menatap bayi di gendongannya dengan penuh kasih sayang, senyumnya lembut. “Hei, kamu haus ya?” katanya sambil mengajak bayi itu bicara, meski tahu bayi itu tak bisa menjawab. Namun, dalam hatinya, Rai membayangkan bahwa bayi ini adalah anaknya sendiri. Matanya mulai berkaca-kaca, perasaan rindu pada anaknya kembali membuncah. “Pelan-pelan ya...” bisiknya penuh kelembutan, tangannya mengatur posisi botol agar nyaman bagi si bayi. Setiap gerakan rai penuh perhatian, seperti seorang ibu yang sedang menyusui anak kandungnya.

Di sudut ruangan, Brian memperhatikan dengan perasaan campur aduk. Mendengar suara lembut rai membuat senyum kecil tersungging di bibirnya, sementara wajahnya mulai memerah karena salah tingkah. Suara rai yang menenangkan itu seperti musik di telinganya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Saking gugupnya, Brian memutuskan untuk mundur sejenak, berjalan cepat menuju dapur memberi ruang pada rai.

Di dapur, Brian menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya yang masih salah tingkah. Wajah dan telinganya masih merah, tapi di dalam hatinya, dia tak bisa menahan kebahagiaan kecil yang muncul hanya karena melihat rai bersama keponakannya. Sementara itu, di ruang TV, Rai terus berbicara lembut pada bayi itu, sesekali mengusap-usap punggungnya dengan penuh kasih, tenggelam dalam bayangan tentang anaknya yang terus ia impikan.

1
Nikmah dara Puspa saragih
🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!