"Kita sudah ditakdirkan untuk bertemu. Kamu adalah milikku. Kita akan bersatu selamanya. Maukah kamu menjadi ratu dan permaisuri ku, Lia?" ucap Mahesa.
Dia di lamar oleh Mahesa. Pemuda tampan itu dari bangsa jin. Seorang pangeran dari negeri tak terlihat.
Bagimana ini...?
Apa yang harus Lia lakukan...?
Apakah dia mesti menerima lamaran Mahesa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minaaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.14. Pesugihan
Dengan tergesa - gesa Lia bergegas keluar dari dapur menuju ke luar.
Sampai di depan pintu, langkah Lia tiba - tiba terhenti. Ia terlonjak kaget melihat pemandangan di depan matanya.. !
Suasana pagi hari itu memang cerah. Banyak pengunjung yang datang ke rumah makan ini untuk sarapan pagi.
Namun hal yang membuat Lia kaget adalah bukan hanya pengunjung rumah makan yang banyak tapi juga kehadiran makhluk halus.
Astaghfirullah hal a'zim.....
Lia berkali kali mengucap istighfar.
Di hadapan Lia, dia melihat ada banyak penampakan pocong dengan wajah yang hancur dan berbau busuk. Sangat mengerikan sekali. Bahkan Lia merasa jijik ketika pocong - pocong itu menghampiri wadah nasi yang ada di meja.
Liur mereka yang bercampur dengan nanah dan lendir busuk jatuh menetes di atas nasi tersebut.
Bukan hanya itu, Lia juga melihat ada beberapa anak kecil hanya memakai celana dalam saja, dengan wajah yang sangat aneh dan menyeramkan.
Wajah mereka bengkak - bengkak dan penuh totol - totol. Mereka menundukkan kepalanya di atas piring yang berisi sayur dan lauk pauk yang tadi di gorengnya. Mereka menjilati sayur dan lauk pauk tadi dengan mulutnya yang penuh lendir.
Lia mengusap keringat dingin yang menetes di keningnya. Perut nya mendadak mual. Namun ia hanya mematung melihat pemandangan yang benar-benar menjijikan itu. Kakinya seolah tak bisa di gerakkan.
Parahnya lagi,... para makhluk halus itu seolah-olah mengetahui jika Lia bisa melihat keberadaan mereka.
Kini para makhluk halus itu semua menatap ke arah Lia dengan tatapan mengancam.
Tiba-tiba,...
Puk,..!
Ada yang menepuk pundak Lia berkali - kali.
"Lia, kamu kenapa?" tanya Iteung yang baru saja menepuk pundak Lia.
Iteung yang baru datang dari belakang merasa heran melihat Lia yang bertingkah aneh. Gadis itu berdiri mematung menatap kerumunan pengunjung yang sedang makan dengan tatapan kosong.
Maka melihat sikap aneh temannya itu Iteung bergegas menghampiri Lia. Selain karena khawatir pada Lia, Iteung juga takut sikap Lia itu dianggap mengganggu oleh rekan kerja, pengunjung atau lebih parah lagi Pak Karso yang tiba-tiba datang.
Iteung juga tak mau jika temannya itu di pecat padahal baru sehari bekerja di sana. Apalagi Lia masih baru bekerja di sana. Pasti gerak gerik nya akan di awasi oleh atasannya itu.
"Lia,...kamu kenapa sih?", tanya Iteung dengan nada khawatir.
"Eh, i-iya..." Lia tersadar dan baru bisa menggerakkan anggota tubuhnya ketika Iteung menepuk pundaknya.
"Kamu kenapa?" sekali lagi Iteung mengulangi pertanyaannya.
"Eh,.. itu,..anu. Aku nggak papa kok, teung," ucap Lia berbohong.
"yakin nggak papa?" tanya Iteung.
"Iya,... yakin. Benaran nggak papa," jawab Lia.
"Ngomong ngomong, kamu mau kemana?" tanya Iteung.
"Aku mau beli bubur. Kata mbak Nah ada penjual bubur di depan," ujar Lia. Dia mencoba pura - pura tidak melihat penampakan sosok - sosok yang mengerikan yang ada di sekitarnya yang kini sudah mengelilingi dirinya.
"Ohh, ya udah. Cepetan sana beli gih. Jangan lama-lama, takutnya nanti pak Karso datang dan kamu bakal di marahin," ujar Iteung.
"Iya, nggak lama kok, ya udah aku ke sana dulu," ujar Lia.
Cuaca pagi hari itu sudah lumayan terik. Lia buru - buru melangkah keluar dari rumah makan. Ia sungguh merasa tak habis pikir, bagaimana mungkin dia bisa melihat penampakan hantu di pagi hari yang terik ini.
"Mas,... beli bubur sumsum nya," ujar Lia.
"Iya, sebentar ya neng. Abang ambilin," ucap Abang tukang bubur.
"Ini, neng, " ucap penjual bubur sambil menyerahkan sebungkus bubur sumsum kepada Lia.
"Berapa, Mas?"
"Lima ribu, neng," jawab penjual bubur.
Lia merogoh saku celananya dan mengeluarkan uang pecahan dua puluh ribuan.
"Ini mas uangnya," Lia menyerahkan uang tersebut pada penjual bubur dan mengambil bubur pesanan nya.
"Tunggu bentar kembaliannya ya neng," ujar penjual bubur sambil merogoh tas pinggangnya.
"Ini neng," ujar penjual bubur.
"Makasih, mas," ucap Lia. Dia pun pergi dari sana.
"Terima kasih kembali, Neng," ujar si penjual bubur.
Lia masuk kembali ke rumah makan dengan menundukkan kepalanya dan berusaha untuk tidak memperhatikan isi rumah makan.
Lia langsung ke dapur menemui mbak Nah yang sedang membuat capcay sayuran.
"Mbak,... Mbak Nah sudah sarapan?" tanya Lia pada Mbak Nah.
"Sudah,... kamu buruan sarapan, gih. Nanti selesai sarapan bantu Mbak masak. Mbak juga mau ke toilet," ujar mbak Nah.
"Iya, Mbak," Lia duduk dan mulai sarapan. Lia menyelesaikan sarapan nya dengan cepat.
"Sini, Mbak. Aku sudah selesai sarapan," Lia mengambil alih pekerjaan mbak Nah yang mau ke toilet.
"Lia, mbak ke toilet dulu ya sebentar," ucap mbak Nah.
"Oke, mbak.."
Lia melanjutkan memasak capcay sayuran sampai selesai. Setelah itu dia mematikan kompor dan memindahkan capcay sayuran itu ke piring.
"Capcay nya udah mateng kah, mbak Nah?" tanya Iteung yang baru masuk ke dapur.
"Capcay nya kan? Ini sudah matang," Lia menunjuk ke piring tempat dia meletakkan capcay tersebut.
"Oke! Loh,...mbak Nah mana?" tanya Iteung.
"Ke toilet sebentar," jawab Lia.
"Ohh, oke. Oh iya, ada pesanan cah kangkung satu lagi, Lia," ucap Iteung sembari meletakkan piring capcay ke dalam nampan.
"Oke siap," ujar Lia.
Setelah Iteung pergi, Lia kembali sibuk memasak cah kangkung pesanan Iteung.
Saat sedang fokus memasak, tiba-tiba Lia dikejutkan dengan sosok kepala yang melayang - layang di depan mata. Sosok kepala itu menatap Lia dengan sorot mata tajam yang mencorong merah dengan mulut yang menyeringai lebar mengeluarkan darah yang berwarna hitam dan berbau busuk.
Jantung Lia berdegup kencang ketika kepala itu memandangi Lia yang hanya berjarak dua jengkal dari tempat dia berdiri.
Lia menguatkan dirinya dengan pura - pura fokus memasak dan seolah-olah tak melihat makhluk itu. Setengah mati dia menahan mual di perut nya karena tak tahan dengan bau busuk dari kepala itu.
Entah apa yang dipandang hantu itu. Sepertinya dia ingin memastikan satu hal, apakah dia melihat mereka semua, hanya itu yang Lia mampu fahami.
Setelah fokus pada pekerjaan nya, akhirnya pesanan cah kangkung Iteung selesai juga. Lia ingin memindahkan cah kangkung tersebut ke dalam piring saji.
Lia segera mematikan kompor dan menaruh sebuah piring di atas meja.
Tangan Lia bergetar ketika hendak meletakkan cah kangkung ke dalam piring. Bagaimana tidak, kepala yang tadi dia lihat
sudah berada di atas piring.
Mau tak mau, Lia terpaksa menaruh cah kangkung tersebut ke dalam piring.
Anehnya, meskipun cah kangkung tersebut melewati kepala tersebut tetapi liur dan lendir yang keluar dari mulut kepala itu membaur dan menyatu dengan cah kangkung tersebut.
Lia menelan ludah kasar.
Sumpah mati, dia jijik sekali melihat hal itu.
Namun dia pura pura saja tidak melihat hal itu.
"Lia," Panggil Iteung.
"Hah,.." Lia tersentak dan menoleh ke Iteung.
"Aku panggil kamu dari tadi nggak nyahut - nyahut." ujar Iteung.
"Oh,... aku. ... aku " Lia menjawab terbata - bata.
"Kamu lapar?" tanya Iteung. Dia bertanya seperti itu karena melihat Lia yang sejak tadi menatap tak berkedip ke arah cah kangkung.
"Nggak kok, ini udah mateng. Silahkan di bawa. Apa ada lagi?" ucap Lia sambil tersenyum manis.
Bagaimana mungkin dia lapar? Dia saja sangat jijik melihat liur kepala hantu itu menetes dan menyatu dengan cah kangkung tadi.
"Oh, aku kira kamu lapar. Ya udah, aku keluar dulu," ucap Iteung tersenyum menatap wajah sahabatnya itu. Dia melenggang keluar membawa pesanan cah kangkung.
Sementara kepala hantu itu masih berada di atas piring yang di bawa Iteung.
Serem banget, kan??
oiya kapan2 mampir di ceritaku ya..."Psikiater,psikopat dan Pengkhianatan" makasih...