Kanesa Alfira, yang baru saja mengambil keputusan berani untuk mengundurkan diri dari Tano Group setelah enam tahun dedikasi dan kerja keras, merencanakan liburan sebagai penutup perjalanan kariernya. Dia memilih pulau Komodo sebagai destinasi selama dua minggu untuk mereguk kebebasan dan ketenangan. Namun, nasib seolah bermain-main dengannya ketika liburan tersebut justru mempertemukannya dengan mantan suami dan mantan bosnya, Refaldi Tano. Kejadian tak terduga mulai mewarnai masa liburannya, termasuk kabar mengejutkan tentang kehamilan yang mulai berkembang di rahimnya. Situasi semakin rumit dan kacau ketika Kanesa menyadari kenyataan pahit bahwa dia ternyata belum pernah bercerai secara resmi dengan Refaldi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jojo ans, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3
Entah sudah berapa lama kucoba untuk memejamkan mata namun sama sekali tidak hisa tidur. Padahal biasa setelah pulang kerja aku langsung mengantuk. Mungkinkah karena keberadaan Mas Adi di sebelahku.
Astaga, cobaan apalagi ini?
"Kamu nggak bisa tidur?" Terdengar suara Mas Adi namun aku enggan menoleh. Ya, posisiku berada di kanan kasur dan memunggunginya. Aku juga meletakan guling di antara kami, menjaga jarak aman dari lelaki itu.
"Fira, kalau malam itu Aku tidak bersama Tatiana apakah kamu tetap percaya?" Kali ini aku menoleh.
Pertanyaan Mas Adi cukup menarik. perhatianku.
Aku tersenyum remeh lalu berkata, "Kalau malam itu saya tidak melihat pemandangan itu, saya pasti akan menyesal seumur hidup karena
mempercayai seorang pengkhianat." "Kamu benar-benar tidak percaya padaku?" tanya Mas Adi dengan nada lirih. Entah nada itu sengaja dia buat atau memang benar adanya.
Aku diam.
"10 Tahun kita saling mengenal
dan kamu sepertinya masih tidak benar-benar mengenalku." Setelah berucap seperti itu, Mas Adi kemudian berbalik memunggungiku.
"Tidurlah, besok Aku nggak akan ganggu kamu lagi."
Ucapan itu, entah kenapa membuat sudut hatiku terasa nyeri. Bukankah ini yang ku inginkan?
Aku mengusap pelan mataku saat merasa cahaya matahari sudah menyinar begitu terang, sepertinya gorden kamar sudah dibuka. Aku
mengedarkan pandangan ke segala arah, Mas Adi tidak ada. Kuputuskan untuk turun dari ranjang dan mengambil ponselku di atas nakas. Pukul 09.30 WIB
Astaga. Sudah hampir siang ternyata. Selama 2 bulan ini aku tak pernah bangun tidur sampai sesiang ini.
Mungkin karena aku tidur di kasur empuk milik salah satu konglomerat terkenal di Indonesia? Sudahlah, aku tak ingin ambil pusing.
Pak Direktur
Aku udah buatin sarapan dan untuk uang pesangon kamu, sudah aku email. Kamu sudah bisa cek hari ini.
Pesan dari Mas Adi. Dengan cepat aku membuka email
dan langsung terlonjak kaget melihat.
nominal pesangonku. Gila. Tano Group terlalu royal.
Aku tidak mengira pesangon seorang manager sampai sebegini banyak. Kalau tahu begitu aku sudah resign dari jauh-jauh hari. Eh tidak aku. bercanda.
Pukul 1 siang aku sampai di kantor, rencananya hari ini aku membereskan beberapa barangku di kantor serta berpamitan dengan rekan kerja dan
menaktrir anggota divisiku.
"Selamat Siang Bu Nesa," sapa Aryo,
salah satu satpam di kantor. "Selamat Pagi juga Yo," balasku sembari mengulas senyum.
"Mbak Nes." teriak Intan heboh. Perempuan yang sudah 3 tahun terakhir bekerja di bagian resepsionis
itu menatapku dengan bibir sedikit
mencebik. "Beneran udah resign?" tanyanya.
Ku anggukkan kepala, hal itu sontak membuatnya langsung memelukku erat.
"Ihh nggak ada lagi yang ngajak aku
minum cappuccino di depan kantor hanya untuk melihat hamparan cogan."
Aku terkekeh mendengar ucapannya. "Entar mbak rekomendasiin Lilis buat nemanin kamu," tuturku sembari mengusap pundaknya.
Setelah beberapa saat berbincang dengan Intan, aku lalu memutuskan naik ke lantai 6, di mana divisiku berada.
Sekitar sejam aku membereskan beberapa barang dan mengirimnya ke
apartemen.
"Mbak, tahu nggak?'t anya Miranda. Sudah tak heran aku akan
keberadaannya, perempuan itu pasti mengajak rumpi lagi. "Kenapa? Gosip apa lagi kali ini?" tanyaku tanpa menoleh.
Saat ini aku sedang membuat cappuccino yang kebetulan sudah tersedia di pantri. Hari ini Egal tidak masuk dan aku tidak bisa meminum
kopi buatan OB atau OG yang lain.
"Mbak Tatiana mau tunangan.
Tanganku yang sedang mengaduk kopi
terhenti begitu saja. Aku menoleh.
"Iya Mbak, si Mak lampir mau
tunangan tapi nggak sama pak Adi.
Aneh kan?"
Entah kenapa aku malah lega
mendengarnya. Tapi kenapa? Selama
ini orang kantor tahu bahwa mereka
berdua itu ada affair apalagi setelah perceraianku dengan Mas Adi. "Ya udahlah bukan urusan kita, doain
aia semoga tunangannya kali ini bukan
suami orang."
Miranda malah terbahak-bahak setelah mendengar ucapanku.
"Iyalah, yang udah pengalaman
dipelakorin." Sialan bocah itu. Sebelum aku mengamuk dia malah melengos pergi.
"Nes, Pak Daud manggil ke ruangannya."
Tiba-tiba suara Mas Gibran, kepala.
divisiku terdengar.
"Bapak Mertua manggil tuh Mbak,"
ejek Deon.
"Mantan ya Mantan," teriakku kesal. Sementara orang-orang yang ada di sana hanya terbahak, memangnya sangat menyenangkan ya membuatku
kesal.
"Selamat siang Pak," sapaku sopan.
"Selamat siang Nesa, bagaimana kabar.
kamu? Istri saya lagi rindu masakan
kamu," tuturnya.
Aku tersenyum canggung.
Bagaimanapun Pak Daud pernah
menjadi mertua kesayanganku. Beliau
dan istrinya memperlakukanku begitu.
baik sampai Gisha yang merupakan anak bungsu mereka kadang merasa iri dengan cara mereka menyayangiku.
Sayangnya, hubungan antara mantu
dan mertua harus berakhir dua bulan
lalu. Saat itu, ketika ku putuskan meminta izin untuk pulang ke rumah. orang tuaku, Mami Deasy bahkan sampai berlutut di kakiku memohon
agar aku tidak gegabah mengambil
keputusan.
Aku kadang sedih ketika
memikirkannya, tapi mau bagaimana.
Aku juga tidak bisa bertahan
dengan hidup penuh kesakitan dan.
pengkhianatan.
"Waduh, nanti kalau ada waktu saya
ke sana dan masak untuk beliau."
"Nes, Papi tahu kamu dan Adi udah
nggak sama-sama. Tapi Papi mohon
kamu untuk tetap menganggap papi
sama mami orang tua kamu.
Aku adalah orang yang dasarnya
jarang menangis, tapi kalau orang
tua laki-laki sudah berbicara padaku
dengan nada sesedih ini. Aku tidak
bisa menahannya. Air mataku tumpah
ruah di depan Papi.
"Maafin Nesa Pi," ucapku sembari
terisak hebat.
"Kamu nggak salah Nesa, anak Papi.
Anak Papi yang salah."
Papi malah ikut menangis membuatku semakin mengeraskan tangisan, untungnya ruangan Papi ini sedikit kedap suara sehingga suara isakkan
karni tidak terlalu terdengar.
"Pokoknya setelah ini kamu harus
hidup dengan sehat ya Nes, Jangan
lupa untuk sering-sering datang ke rumah Mami dan Papi. Jangan kuatir masalah Adi, Papi bakal usahain kamu
nggak ketemu sama dia."
Aku mengambil tisu dan mengusap
wajahku sembari menganggukkan
kepala.
"Iya Pi, papi sama Mami juga
sehat-sehat ya."
"Oh iya nomor rekening kamu masih
yang
lalu kan? Papi ada sedikit hadiah
buat kamu.
"Enggak nggak usah Pi," seruku.
Tadi pagi aku baru saja mendapatkan
pesangon yang sangat-sangat cukup
dan kali ini mantan mertuaku
itu
malah hendak memberi hadiah lagi. "Enggak apa-apa, anggap ini hadiah
dari mami sama papi," ucap pria paruh
baya itu sembari mengusap puncak
kepalaku.
"Makasih ya Pi
Setelah beberapa saat, akhirnya aku pamit keluar dari ruangan itu. Saat di lift, bunyi notifikasi ponselku terdengar.
3 digit?
Aku shok. Papi baru saja mengirimkan
hadiah yang dia maksud tadi dengan jumlah yang membuat kakiku lemas. Kok sepertinya hari ini aku lagi sangat-sangat beruntung.